Tinggalkan
Pendekatan Instan dan Pencitraan
Siti Maimunah, BADAN PENGURUS JARINGAN ADVOKASI TAMBANG (JATAM)
Sumber
: KOMPAS, 3 Januari 2012
Langkah investigasi dan pembentukan tim
pencari fakta seolah menjadi jurus sakti Presiden SBY menghadapi kasus-kasus
konflik agraria dan sumber daya alam, yang meningkat dari tahun ke tahun.
Terakhir, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
membentuk Tim Pencari Fakta Kasus Mesuji (Kompas, 15/12/2011), dan menjawab
kasus Bima dengan perintah investigasi mengusut penyebabnya (Kompas, 26/12).
Jawaban instan dan berbau pencitraan itu dijamin tak akan menyelesaikan
masalah, apalagi mengurangi konflik serupa.
Konflik agraria dan pengelolaan sumber daya
alam berpangkal paradigma memandang tanah dan sumber daya alam sebagai
komoditas dagang, penghasil devisa. Akibatnya, kawasan-kawasan kaya sumber daya
alam, baik kaya bahan tambang, migas, perikanan, maupun kayu, dibuka
seluas-luasnya untuk dieksploitasi. Setiap periode pemerintahan seolah berlomba
melakukan ”keruk habis, jual cepat” sumber daya alam. Dari sinilah akar
ketimpangan struktur agraria terjadi.
Kebijakan yang dikeluarkan menjadi pintu
masuk perlombaan itu. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan
Batubara (Minerba), misalnya, menggantikan UU lama yang berlaku 42 tahun
sebelumnya, tak banyak memberi harapan. Pesan utama UU Minerba adalah keluarkan
izin pertambangan sebanyak-banyaknya, jika perlu dengan mengkriminalisasi
warga. Padahal, kawasan-kawasan berizin itu juga ruang hidup dan sumber mata
pencarian warga.
Salah
Urus
Segala cara digunakan untuk mengeksploitasi
sumber daya alam, di antaranya mengundang investasi asing, kemudahan
mengeluarkan izin konsesi, dan menjadikan perusahaan tambang sebagai obyek
vital nasional. Tindakan ini tak hanya menghasilkan karut-marut perizinan, juga
konflik, pemiskinan, dan pelanggaran HAM.
Di sektor pertambangan saja, Jaringan
Advokasi Tambang (Jatam) mencatat, hingga 2011 setidaknya ada 8.263 izin
pertambangan mineral dan batubara. Sebagian besar keluar pada masa Kabinet
Indonesia Bersatu. Pemerintah mengumumkan 6.000 izin itu tumpang tindih dengan
peruntukan lainnya (Kompas, 26/5). Kementerian Kehutanan dan Satuan Tugas
Pemberantasan Mafia Hukum bahkan mengungkap 1.236 unit perusahaan tambang di
Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat beroperasi tanpa
izin. Melihat karut-marut ini, langkah moratorium seluruh perizinan eksploitasi
sumber daya alam untuk penataan yang lebih adil dan bermartabat tak bisa lagi
menunggu.
Bagaimana dengan konflik? Konflik jadi
keniscayaan di kawasan kaya sumber daya alam Tahun ini, Jatam mencatat
sedikitnya terjadi 153 konflik pertambangan. Sementara Sawit Watch mengumumkan
setidaknya 663 konflik terjadi dalam lima tahun terakhir di perkebunan besar
sawit. Jenis konflik beragam, mulai dari kriminalisasi, penggusuran, pemecatan
buruh, pencemaran lingkungan, kekerasan, hingga penembakan seperti di Mesuji
(Lampung dan Sumatera Selatan), Tiaka (Sulawesi Tengah), Bima (Nusa Tenggara
Barat), dan kasus Freeport di Timika, Papua.
Celakanya, di banyak konflik, polisi dan
tentara bukannya jadi penengah, apalagi melindungi rakyat, justru pelindung
perusahaan. Nyawa warga justru melayang di tangan polisi, setidaknya pada kasus
Freeport, Tiaka, Mesuji, dan Bima.
Salah satu penyebabnya adalah pemerintah
mengistimewakan perusahaan tambang sebagai obyek vital nasional sehingga perlu
diamankan. Pengamanan tentu tak gratis. Siapa yang mau bayar, dia yang aman.
Pada November 2011, sekitar 176 perusahaan
tambang telah menandatangani nota kesepakatan (MOU) dengan polisi untuk
pendanaan pengamanan obyek vital nasional. Dana itu digunakan untuk pembelian
pengamanan Polri guna mengamankan obyek vital nasional di sektor pertambangan.
Jika ini terus berlangsung, reformasi di tubuh kepolisian yang digagas sejak
1999 jelas akan sia-sia.
Pelembagaan Penyelesaian
Kasus Mesuji dan Bima hanya kepingan puncak
gunung es dari salah urus agraria dan sumber daya alam sejak masa Soeharto.
Sepanjang 1970 hingga 2001, Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat sengketa
agraria 1.753 kasus, tersebar di 2.834 desa dan kelurahan. Tanah yang disengketakan
mencapai 10,9 juta hektar dan hampir 1,2 juta keluarga menjadi korban.
Konflik-konflik itu tak pernah diselesaikan
dengan adil dan memadai. Korbannya bahkan bertambah setiap tahun, bersama
naiknya jumlah kegiatan industri ekstraktif di masa Presiden SBY.
Kini, lebih dari 79 juta hektar tanah
dikuasai perusahaan kayu, perkebunan besar sawit, dan pertambangan, belum
termasuk tambang migas. Sementara lebih dari 32 juta rumah tangga petani kita
tak bertanah dan berlahan sempit (BPS, 2003). Salah urus dan pembiaran terhadap
ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan, serta pengelolaan tanah dan
sumber daya alam ini akan terus menyuburkan konflik.
Pembentukan panitia nasional penyelesaian
konflik yang saat ini dituntut masyarakat sipil sebenarnya disuarakan sejak 10
tahun lalu. Sayangnya, gagasan pembentukan Komisi Penyelesaian Konflik Agraria
yang dimandatkan Tap MPR-RI No IX Tahun 2001 kandas di tangan Presiden
Megawati, juga SBY. Keduanya menolak gagasan itu. Sejak itu, upaya-upaya
pengungkapan kebenaran pelanggaran HAM dalam pengelolaan sumber daya alam,
apalagi pemulihan korban, seolah jalan di tempat.
Presiden SBY harus menyudahi pendekatan
instan dan pencitraan di ujung tahun ini. Mari membuat 2012 sebagai tahun
harapan dengan menyegerakan tindakan sistematis memperbaiki salah urus agraria
dan pengelolaan sumber daya alam. Jika tidak, Mesuji dan Bima yang lain
menunggu di depan pintu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar