Selasa, 03 Januari 2012

Tinggalkan Pendekatan Instan dan Pencitraan


Tinggalkan Pendekatan Instan dan Pencitraan
Siti Maimunah, BADAN PENGURUS JARINGAN ADVOKASI TAMBANG (JATAM)
Sumber : KOMPAS, 3 Januari 2012


Langkah investigasi dan pembentukan tim pencari fakta seolah menjadi jurus sakti Presiden SBY menghadapi kasus-kasus konflik agraria dan sumber daya alam, yang meningkat dari tahun ke tahun.

Terakhir, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk Tim Pencari Fakta Kasus Mesuji (Kompas, 15/12/2011), dan menjawab kasus Bima dengan perintah investigasi mengusut penyebabnya (Kompas, 26/12). Jawaban instan dan berbau pencitraan itu dijamin tak akan menyelesaikan masalah, apalagi mengurangi konflik serupa.

Konflik agraria dan pengelolaan sumber daya alam berpangkal paradigma memandang tanah dan sumber daya alam sebagai komoditas dagang, penghasil devisa. Akibatnya, kawasan-kawasan kaya sumber daya alam, baik kaya bahan tambang, migas, perikanan, maupun kayu, dibuka seluas-luasnya untuk dieksploitasi. Setiap periode pemerintahan seolah berlomba melakukan ”keruk habis, jual cepat” sumber daya alam. Dari sinilah akar ketimpangan struktur agraria terjadi.

Kebijakan yang dikeluarkan menjadi pintu masuk perlombaan itu. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba), misalnya, menggantikan UU lama yang berlaku 42 tahun sebelumnya, tak banyak memberi harapan. Pesan utama UU Minerba adalah keluarkan izin pertambangan sebanyak-banyaknya, jika perlu dengan mengkriminalisasi warga. Padahal, kawasan-kawasan berizin itu juga ruang hidup dan sumber mata pencarian warga.

Salah Urus

Segala cara digunakan untuk mengeksploitasi sumber daya alam, di antaranya mengundang investasi asing, kemudahan mengeluarkan izin konsesi, dan menjadikan perusahaan tambang sebagai obyek vital nasional. Tindakan ini tak hanya menghasilkan karut-marut perizinan, juga konflik, pemiskinan, dan pelanggaran HAM.

Di sektor pertambangan saja, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat, hingga 2011 setidaknya ada 8.263 izin pertambangan mineral dan batubara. Sebagian besar keluar pada masa Kabinet Indonesia Bersatu. Pemerintah mengumumkan 6.000 izin itu tumpang tindih dengan peruntukan lainnya (Kompas, 26/5). Kementerian Kehutanan dan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum bahkan mengungkap 1.236 unit perusahaan tambang di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat beroperasi tanpa izin. Melihat karut-marut ini, langkah moratorium seluruh perizinan eksploitasi sumber daya alam untuk penataan yang lebih adil dan bermartabat tak bisa lagi menunggu.

Bagaimana dengan konflik? Konflik jadi keniscayaan di kawasan kaya sumber daya alam Tahun ini, Jatam mencatat sedikitnya terjadi 153 konflik pertambangan. Sementara Sawit Watch mengumumkan setidaknya 663 konflik terjadi dalam lima tahun terakhir di perkebunan besar sawit. Jenis konflik beragam, mulai dari kriminalisasi, penggusuran, pemecatan buruh, pencemaran lingkungan, kekerasan, hingga penembakan seperti di Mesuji (Lampung dan Sumatera Selatan), Tiaka (Sulawesi Tengah), Bima (Nusa Tenggara Barat), dan kasus Freeport di Timika, Papua.

Celakanya, di banyak konflik, polisi dan tentara bukannya jadi penengah, apalagi melindungi rakyat, justru pelindung perusahaan. Nyawa warga justru melayang di tangan polisi, setidaknya pada kasus Freeport, Tiaka, Mesuji, dan Bima.

Salah satu penyebabnya adalah pemerintah mengistimewakan perusahaan tambang sebagai obyek vital nasional sehingga perlu diamankan. Pengamanan tentu tak gratis. Siapa yang mau bayar, dia yang aman.

Pada November 2011, sekitar 176 perusahaan tambang telah menandatangani nota kesepakatan (MOU) dengan polisi untuk pendanaan pengamanan obyek vital nasional. Dana itu digunakan untuk pembelian pengamanan Polri guna mengamankan obyek vital nasional di sektor pertambangan. Jika ini terus berlangsung, reformasi di tubuh kepolisian yang digagas sejak 1999 jelas akan sia-sia.

Pelembagaan Penyelesaian

Kasus Mesuji dan Bima hanya kepingan puncak gunung es dari salah urus agraria dan sumber daya alam sejak masa Soeharto. Sepanjang 1970 hingga 2001, Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat sengketa agraria 1.753 kasus, tersebar di 2.834 desa dan kelurahan. Tanah yang disengketakan mencapai 10,9 juta hektar dan hampir 1,2 juta keluarga menjadi korban.

Konflik-konflik itu tak pernah diselesaikan dengan adil dan memadai. Korbannya bahkan bertambah setiap tahun, bersama naiknya jumlah kegiatan industri ekstraktif di masa Presiden SBY.

Kini, lebih dari 79 juta hektar tanah dikuasai perusahaan kayu, perkebunan besar sawit, dan pertambangan, belum termasuk tambang migas. Sementara lebih dari 32 juta rumah tangga petani kita tak bertanah dan berlahan sempit (BPS, 2003). Salah urus dan pembiaran terhadap ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan, serta pengelolaan tanah dan sumber daya alam ini akan terus menyuburkan konflik.

Pembentukan panitia nasional penyelesaian konflik yang saat ini dituntut masyarakat sipil sebenarnya disuarakan sejak 10 tahun lalu. Sayangnya, gagasan pembentukan Komisi Penyelesaian Konflik Agraria yang dimandatkan Tap MPR-RI No IX Tahun 2001 kandas di tangan Presiden Megawati, juga SBY. Keduanya menolak gagasan itu. Sejak itu, upaya-upaya pengungkapan kebenaran pelanggaran HAM dalam pengelolaan sumber daya alam, apalagi pemulihan korban, seolah jalan di tempat.

Presiden SBY harus menyudahi pendekatan instan dan pencitraan di ujung tahun ini. Mari membuat 2012 sebagai tahun harapan dengan menyegerakan tindakan sistematis memperbaiki salah urus agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Jika tidak, Mesuji dan Bima yang lain menunggu di depan pintu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar