Mengamankan
RUU Keamanan Nasional
J. Kristiadi, PENELITI SENIOR CSIS
Sumber
: KOMPAS, 3 Januari 2012
Pergantian tahun kali ini disikapi publik
dengan perasaan mendua. Di satu sisi masyarakat mendambakan tahun depan
kehidupan lebih aman dan sejahtera, tetapi di sisi lain masyarakat dihadapkan
realitas berupa gangguan rasa aman karena terjadinya kekerasan, baik vertikal
(antara aparat dan warga) maupun horizontal (sesama warga).
Rentang wilayah
mulai dari Aceh sampai Papua; puluhan korban tewas. Bahkan, akhir 2011,
kekerasan dirasakan semakin meningkat dan membuat miris, antara lain di
Kecamatan Mesuji, Sumatera Selatan; Kabupaten Mesuji, Lampung; Sape, Bima, Nusa
Tenggara Barat; dan Kabupaten Sampang, Jawa Timur (antara penganut Syiah dan
Sunni). Spektrum penyebabnya beragam dan bertali-temali: konflik pilkada,
perebutan lahan, toleransi masyarakat yang merosot, tekanan ekonomi, rasa
ketidakadilan, dan lain sebagainya.
Angan-angan masyarakat dapat menikmati
kehidupan bebas dari rasa cemas, takut, dan sejenisnya bukan tanpa harapan.
Peluang muncul karena draf regulasi yang menjamin rasa aman dan hidup
sejahtera— setelah lebih kurang satu dekade diperdebatkan—yaitu Rancangan
Undang-Undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas), akhirnya diselesaikan pemerintah.
RUU ini sangat penting. Pertama, mengatur secara komprehensif regulasi yang
dapat menjadi sarana mewujudkan Indonesia yang aman dan sejahtera di tengah
persaingan global yang intensitasnya semakin sengit. Kedua, garda perangkat
lunak yang diharapkan dapat mengamankan kepentingan nasional (national
interest) bangsa Indonesia dari berbagai ancaman yang spektrumnya amat luas,
kompleks, dan multidimensi, mulai dari ancaman keamanan dan ketertiban dalam
negeri sampai dengan ancaman militer asing. Eksistensi dan survivalitas bangsa
sangat tergantung dari komitmen seluruh komponen bangsa menyusun RUU Kamnas
yang berkualitas.
Harapan juga semakin besar karena beberapa
hal. Pertama, keterlibatan publik tidak hanya menghasilkan beberapa gagasan
cemerlang, tetapi juga melakukan pendidikan publik mengenai isu-isu sekitar
keamanan nasional pada rezim sebelumnya yang dianggap tabu. Lainnya adalah
prinsip-prinsip RUU Kamnas, selain menjaga keutuhan NKRI dan negara hukum,
dilengkapi pula dengan asas-asas hak-hak asasi manusia, lingkungan hidup,
keutuhan NKRI, demokrasi, serta hukum internasional. Cakupan keamanan nasional
juga meliputi keamanan insani (human
security) dengan segala hak kodrati yang melekat kepadanya.
Kedua, tercapainya kesepakatan judul RUU
adalah Keamanan Nasional. Sebelumnya terjadi perdebatan panjang untuk
menentukan pilihan antara terminologi Keamanan Negara dan Keamanan Nasional.
Perdebatan menjadi lebih kompleks karena berkaitan dengan tataran kewenangan
TNI dan Polri. Sumbernya adalah ”kecelakaan sejarah” karena UUD 1945 dan Tap
MPR secara simplistis memisahkan secara kategoris pertahanan adalah wilayah
TNI, sementara keamanan dan ketertiban umum wewenang Polri. Sejumlah kalangan
Polri sejak awal khawatir dengan istilah Keamanan Nasional akan mereduksi kedudukan
dan kewenangan Polri dalam melaksanakan tugas keamanan dan ketertiban umum.
Rasa khawatir mungkin trauma masa lalu Polri sebagai anak bungsu keluarga ABRI,
sebagai konsekuensi Polri bagian dari ABRI. Sejalan dengan kesepakatan di atas,
pembentukan Dewan Keamanan Nasional juga bukan lagi isu yang krusial. Semula
pembentukan Dewan Keamanan Nasional menjadi isu krusial karena berkaitan dengan
keberadaan Dewan Pertahanan Nasional dan Sekretaris Jenderal Ketahanan
Nasional.
Namun, harapan tersebut masih harus
diperjuangkan dengan gigih, mengingat ancaman yang paling besar terhadap RUU
Kamnas adalah nafsu self
interest (kepentingan pribadi/kelompok) elite politik jauh melampaui komitmen
mereka untuk lebih mengedepankan national
interest. Tidak terlalu berlebihan kalau bangsa Indonesia saat ini dikepung
berbagai ancaman yang disebabkan oleh korupsi dan transaksi politik yang
sistemis dalam proses politik, jaringan mafia bertebaran di setiap sektor
kehidupan bernegara sehingga negara menjadi amat lemah, kredibilitas negara di
mata publik terus merosot. Tingkat efikasi politik, kepercayaan publik terhadap
kemampuan dirinya memengaruhi kebijakan publik, amat rendah. Demikian pula
kelas menengah menjadi semakin apatis. Modal sosial, rasa saling percaya di
antara penyelenggara negara dan antarwarga, juga merosot.
Oleh sebab itu, keberhasilan menyusun RUU
Kamnas tergantung dari beberapa hal. Pertama, para pembuat regulasi harus
benar-benar sadar dan meyakini bahwa UU Kamnas adalah regulasi yang sangat
penting untuk mengamankan kepentingan nasional. Ini harga mati. Maka, mereka
harus mewujudkan komitmen dengan sungguh-sungguh, tekad, serta niat yang sangat
kuat dan luhur. Selain itu, regulator juga harus meningkatkan paradigma dari
reformasi sektor keamanan nasional menjadi transformasi sektor keamanan
nasional, mengingat tantangan dan kompleksitas ancaman yang semakin rumit.
Pertaruhan kegagalan menyusun UU Kamnas adalah keberadaan dan kelangsungan
hidup bangsa dan negara.
Kedua, kesediaan elite politik memanfaatkan gagasan
dan kajian masyarakat mengenai reformasi sektor keamanan nasional. Hal itu
perlu dilakukan karena draf yang disampaikan pemerintah belum sepenuhnya
menyerap aspirasi publik.
Ketiga, dibentuk semacam tim pendamping yang
terdiri atas berbagai unsur, terutama yang selama ini mendalami kajian tentang
reformasi keamanan nasional. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar