Sabtu, 07 Januari 2012

Tegakkan HAM “Aja” Kok Repot!


Tegakkan HAM “Aja” Kok Repot!
Usman Hamid, AKTIVIS KONTRAS
Sumber : KOMPAS, 7 Januari 2012


Andai Gus Dur belum wafat. Umat beragama se-Tanah Air yang kini kesusahan tengah begitu membutuhkannya. Ilmu pengetahuan, agama, dan politiknya adalah untuk menolong sesama. Melindungi manusia dari segala penindasan dan sektarianisme serta berjuang melawan keterbelakangan dan kemiskinan.

KH Abdurrahman Wahid (1940-2009) atau Gus Dur adalah edisi istimewa Indonesia dan terpandang di dunia. Memperjuangkan nilai kemanusiaan dan membangun spirit kebangsaan dengan menjaga hak kaum lemah dan tertindas, baik oleh kekuasaan maupun oleh massa beringas berkedok agama. Saat menjadi presiden, sikapnya tak berubah.

Apa sumbangsih pemerintahannya terhadap HAM? Berkembangkah penegakan HAM sesudahnya, misalnya pemerintahan sekarang? Masalah-masalah yang diperhatikan Gus Dur kini justru mengalami kemerosotan.

Yang terbaru, rumah dan pesantren warga Syiah di Sampang, Jawa Timur, dibakar massa, menyusul serangan terhadap warga Ahmadiyah di Cikeusik, penusukan umat Kristiani di Cikeuting, pembakaran masjid di Medan, penyerangan gereja di Temanggung, peledakan bom di Gereja Kepunton, Solo, serta pelarangan terhadap Gereja Yasmin (meski MA membolehkan).

Penindakan terhadap terorisme begitu represif didukung dana masif, tetapi intoleransi kian marak. Belum lagi penembakan dan penyiksaan di Papua, ditambah adanya 66 tahanan politik terkait insiden tarian cakalele Maluku dan pengibaran bendera Papua, yang dihukum 15 tahun.

Pemenjaraan politik dihapuskan di era Gus Dur dan Habibie. Mulai dari yang dituding ekstrem kiri hingga ekstrem kanan, kasus Talangsari 1989, Priok 1984, 1965/1966, PRD, hingga pro-kemerdekaan Timor Timur.

Pemerintahan sekarang mengklaim demokratis, tetapi memenjarakan orang karena politik nonkriminal. Aneh sekali!

Juga aneh mengklaim tak ada pelanggaran HAM berat selama pemerintahannya, tetapi enggan mendayagunakan jaksa agung dan hakim Pengadilan HAM untuk memeriksa laporan-laporan Komnas HAM. Bagaimana bisa memperoleh kesimpulan pelanggaran HAM berat jika penyelesaiannya di pengadilan militer? Sekejam apa pun penyiksaan oknum militer, termasuk menyulut api ke alat kelamin saat menginterogasi, mustahil disimpulkan pelanggaran HAM berat oleh Hukum Pidana Militer yang tak mengaturnya. Amandemen UU ini ditelantarkan.

Kelembagaan HAM

Kepresidenan Wahid mendukung kelembagaan HAM. Penyelidikan-penyelidikan Komnas HAM ditindaklanjuti, termasuk dengan mencopot pejabat atau jenderal yang terlibat pelanggaran HAM. Jaksa agung pilihannya memproses koruptor kakap dan pelanggar HAM. Keputusan diterbitkannya untuk memfungsikan Pengadilan HAM. Reformasi kelembagaan militer, intelijen, dan kepolisian jelas. Agus Wirahadikusuma, Baharuddin Lopa, Mahfud MD, dan lain-lain diangkat karena profesionalitas, bukan karena kedekatan, balas jasa, apalagi karena saudara ipar.

Konflik diselesaikan dengan bermartabat. Dari Jayapura, 30 Desember 1999, Presiden Wahid menyetujui perubahan Irian Jaya menjadi Papua, membolehkan pengibaran bendera bintang kejora sepanjang tak lebih tinggi dari Merah Putih. Ia menyumbang Rp 1 miliar untuk Kongres Rakyat Papua I (2000). Penguasa sekarang mengirimkan pasukan bersenjata yang merepresi peserta-peserta Kongres Rakyat Papua III (2011). Langkah Gus Dur tak memicu disintegrasi. Justru mendekatkan Papua dengan Jakarta yang kini menegang.

Dialognya melahirkan jalan tengah otonomi khusus dan tinggal dilaksanakan presiden sesudahnya, tanpa perlu khawatir Papua lepas dari Indonesia. Kenyataan sekarang ini memprihatinkan. Otonomi khusus dikembalikan. Pengadilan HAM serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KRR) Papua tak juga dibentuk. Papua dimekarkan sebelum pendirian Majelis Rakyat Papua yang sekarang dikebiri wewenangnya. Buruh Freeport mogok tiga bulan. Banyak warga sipil, termasuk tiga anggota TNI, tewas sia-sia.

Penumpukan Kasus

Kita melihat saat ini kasus HAM kian menumpuk. Setahun terakhir dalam laporan di Komnas HAM tercatat setidaknya ada 819 sengketa lahan, 451 sengketa industrial perburuhan, 300 kasus kepegawaian, 193 penggusuran paksa, 120 kasus lingkungan, 84 kasus kebebasan beragama, 79 kasus masyarakat adat, 75 kasus buruh migran, dan 50 kasus kesehatan.

Yang banyak dikeluhkan adalah menyangkut pihak kepolisian (1.503), perusahaan (1.119), pemda (779), pengadilan (544), BUMN (273), kejaksaan (264), dan TNI (223). Masalah utama adalah hak memperoleh keadilan (2.466), kesejahteraan (2.317), rasa aman (948), hak hidup (191), perempuan (126), anak (74), dan hak turut serta berpemerintahan (61). Kasusnya tersebar di Jakarta (1.211), Jawa Timur (758), Sumatera Utara (640), Jawa Barat (586), Sumatera Barat (364), Sumatera Selatan (204), Riau (282), dan Lampung (72).

Sengketa lahan tertinggi akibat strategi pembangunan neoliberal, memberi kepastian hukum tanah kepada segelintir pemodal daripada kepada sebagian terbesar penduduk. Demi ambisi pertumbuhan ekonomi, regulasi/kebijakan sektor migas, mineral, batubara, hingga yang terbaru pengadaan tanah dipercepat untuk kepentingan investasi dan modal asing. Menjauhi sumber hukum pertanahan nasional (UU Agraria) yang merombak stelsel hukum pertanahan kolonial. Ekonomi masyarakat yang hidup subsisten secara agraris hancur dan kerusakan ekologis kian menyengsarakan rakyat.

Upaya mewujudkan stabilitas melalui represi dominan dalam mengamankan bisnis tambang di Papua dan Bima hingga bisnis sawit di Mesuji. Pelanggaran HAM kian bertumpuk. Belum lagi kasus pembunuhan Munir.

Suatu hari, saya bercerita kepada Gus Dur betapa tidak jelasnya sikap pemerintah terhadap pelaku pembunuhan Munir. ”Apanya yang tak jelas?” Gus Dur bertanya balik dan menjawab, ”Itu Al Quran jelas mengatakan, ’Dan barangsiapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja maka balasannya adalah neraka jahanam, dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, dan melaknatnya, serta menyediakan azab yang besar baginya’.”

”Ya, Gus, itu kan hukuman nanti. Supaya hukumannya di dunia, bagaimana?” ”Oh kalau itu, harus ganti pemerintahan,” kata Gus Dur. ”Kalau ganti, siapa presidennya Gus?” ”Ya saya, siapa lagi kalau bukan saya,” jawabnya enteng. Cerita Gus Dur selalu memberikan semangat. Politiknya, agamanya, sepak bola, sastra, sampai humornya begitu membekas. Lebih dari itu, kita akan selalu mengenang kebaikannya, pikiran serta tindakannya yang cerdas, berani dan bersahaja, tak khawatir kehilangan harta, citra, atau jabatan. Tegakkanlah HAM, gitu aja kok repot!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar