Korupsi
Politik
Sunny Tanuwidjaja, PENELITI DEPARTEMEN POLITIK DAN HUBUNGAN INTERNASIONAL CSIS; KANDIDAT
DOKTOR ILMU POLITIK NORTHERN ILLINOIS UNIVERSITY
Sumber : KOMPAS, 7 Januari 2012
Persoalan korupsi politik terus mengemuka.
Setelah rentetan kasus korupsi yang melibatkan politisi dari sejumlah parpol,
Badan Pemeriksa Keuangan beberapa waktu lalu mengungkapkan dana bantuan sosial
periode 2007-2010 yang mencapai Rp 300 triliun banyak diselewengkan untuk
kepentingan politik dan pribadi penguasa.
Ini menunjukkan korupsi politik sudah
mengakar dan bukan gejala baru. Sayangnya, sampai hari ini solusi yang
ditawarkan cenderung superfisial dan salah logika. Parpol dan politisi
menawarkan agar pembiayaan parpol ditambah dari anggaran negara, bahkan ada
yang mengusulkan agar partai diberi keleluasaan membangun badan usaha sendiri.
Solusi lain, bagaimana pembiayaan politik yang kian hari kian mahal bisa
ditekan.
Logika yang dibangun dari solusi-solusi di
atas adalah jika saja partai cukup didanai, baik dengan meningkatkan pembiayaan
maupun menekan pengeluaran, ia tidak lagi akan mengeruk uang yang bersumber
dari rakyat dan dari kekayaan negara. Logika ini terkesan sangat janggal karena
mengasumsikan korupsi politik terjadi hanya karena adanya tuntutan kebutuhan
untuk berpolitik dan bukan semata karena kerakusan individu.
Di sinilah duduk masalahnya. Faktanya hari
ini korupsi politik di Indonesia tidak serta-merta marak karena kebutuhan
politik (corruption by need), tetapi juga karena kerakusan (corruption by
greed). Oleh karena itu, berbagai solusi yang ditawarkan untuk memenuhi
kebutuhan dan menekan biaya politik memiliki risiko tersendiri, yaitu
bergesernya pemanfaatan uang hasil korupsi politik dari untuk pembiayaan
politik menjadi untuk membangun kekayaan individual.
Pembiayaan
Politik
Jika kita menelusuri sumber keuangan partai
dalam 10 tahun periode reformasi, terjadi penurunan pembiayaan publik atau
subsidi negara terhadap parpol. Di tahun 2001, almarhum Gus Dur mengeluarkan
peraturan pemerintah, di mana parpol memperoleh subsidi dari anggaran negara Rp
1.000 per suara yang diperoleh parpol di Pemilu 1999.
Tahun 2005, terjadi perubahan peraturan, di
mana penghitungan jumlah subdisi diatur berdasarkan jumlah kursi dan bukan
jumlah suara, dengan subsidi per kursi Rp 21 juta. Pemerintah di tingkat
provinsi dan kabupaten-kota secara umum mengikuti tingkat nasional meski tak
selalu demikian karena dalam beberapa kasus kapasitas keuangan pemda tidak
mampu mengikuti rumus subsidi di pusat. Perubahan aturan di tahun 2009 tidak
menambah atau mengurangi secara signifikan jumlah total subsidi negara terhadap
partai dibandingkan dengan tahun 2005.
Menurunnya subsidi negara untuk partai ini
dibarengi kian besarnya pembiayaan politik. Pembiayaan politik meningkat karena
maraknya tren profesionalisme kampanye dan kian apatisnya pemilih yang
menyebabkan makin merebaknya politik uang. Jangan lupa, partai juga perlu biaya
untuk menjalankan roda organisasi dalam keseharian mereka. Jika kita berharap
roda organisasi dijalankan secara profesional, perlu dana cukup untuk
menjalankannya.
Ini membuat tekanan keuangan terhadap partai
kian besar dan ujung-ujungnya, partai dituntut mencari alternatif pembiayaan di
luar sumber pembiayaan resmi, yaitu subsidi negara, iuran anggota, dan
sumbangan dari perusahaan atau individu tertentu.
Alternatif yang sering dijadikan celah partai
memperoleh dana tambahan selain dari pemilik modal besar, di antaranya, dari
anggota partai di parlemen, kader di kabinet atau ”simpatisan” di posisi
penting di pemerintahan, kandidat di pilkada ataupun caleg yang membutuhkan
kendaraan politik, calon yang butuh dukungan politik di DPR untuk menduduki
posisi penting di pemerintahan, serta lewat proses legislasi di parlemen.
Dengan kata lain, berkurangnya subsidi negara
terhadap partai yang diikuti kian tingginya biaya politik mendorong partai
mengoptimalkan jalan memperoleh dana tambahan yang sering kali dilakukan dengan
cara yang rentan terhadap praktik korupsi.
Melihat fakta di atas, tampaknya solusi
konvensional, seperti menambah pembiayaan partai dari anggaran negara ataupun
sekadar menekan biaya politik/kampanye, jadi masuk akal. Namun, ada fakta lain
yang patut jadi acuan. Ketika seorang kepala daerah atau politisi terlibat
tindak korupsi, sudah pasti kekayaan pribadi mereka meningkat berlipat ganda.
Ini menunjukkan korupsi politik tak serta-merta hanya untuk membiayai keperluan
politik atau memenuhi tuntutan setoran ke partai, tetapi juga untuk memperkaya
diri. Artinya, meski kebutuhan dan pembiayaan politik ditekan, korupsi politik
tak serta-merta hilang.
Apakah dengan demikian korupsi politik akan
berkurang? Patut diragukan. Kemungkinan korupsi politik justru akan tetap
marak, sementara uang hasil korupsi disalurkan bukan untuk pembiayaan politik,
melainkan masuk ke kocek pribadi. Kemungkinan ini membuat solusi konvensional
menekan korupsi politik terlihat sekadar parsial dan bahkan tidak menyentuh
akar masalah.
Solusi
Hukum
Korupsi politik adalah permasalahan politik
yang membutuhkan solusi hukum. Yang harus dijadikan perdebatan hari ini bukan
permasalahan kebutuhan dan pembiayaan politik, melainkan bagaimana melakukan
pengawasan penggunaan uang dalam politik, kelengkapan aturan terkait sanksi
yang berat, dan bagaimana optimalisasi penegakan hukum terkait kasus korupsi
politik. Jika ini bisa dioptimalkan, seberapa besar pun kebutuhan dan
pembiayaan politik yang muncul di era demokrasi yang kompetitif ini, partai dan
politisi akan berpikir dua-tiga kali untuk mencari dan menggunakan
sumber-sumber dana ilegal dan ikut dalam tindak korupsi. Solusi hukum inilah
yang harus jadi perhatian bersama dan perdebatan publik, bukannya
memperdebatkan di mana sumber dana yang tepat untuk partai atau bagaimana
menurunkan pembiayaan politik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar