Problem
Agraria dan Kapitalisme
Idham Arsyad, SEKRETARIS
JENDERAL KONSORSIUM PEMBARUAN AGRARIA (KPA)
Sumber
: SINAR HARAPAN, 2 Januari 2012
Muchammad Tauchid (1952) dalam bukunya,
Masalah Agraria, mengingatkan, persoalan agraria adalah persoalan hidup dan
penghidupan manusia, karena tanah adalah asal dan sumber makanan.
Perebutan tanah berarti perebutan makanan,
perebutan tiang hidup manusia. Untuk itu orang rela menumpahkan darah,
mengorbankan segala yang ada untuk mempertahankan hidup selanjunya.
Pengalaman hidup di era kolonialisme
menjadikan Tauchid menyelami persoalan agraria yang mengakibatkan rakyat
sengsara dan menderita. Demikian halnya para pembuat Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA).
Hasilnya, UUPA menjadi mesin operasi untuk
menghentikan ketidakadilan agraria akibat kolonialisme dan feodalisme.
Kesadaran inilah yang tidak diwarisi pemimpin kita saat ini.
Akibatnya, terjadi insiden pembantaian warga
di Mesuji, aksi jahit mulut warga Pulau Padang Riau di depan DPR, dan
penembakan yang mengakibatkan tewasnya tiga warga di Kecamatan Lambu, Kabupaten
Bima NTB. Namun ini sama sekali tak menggerakkan hati dan pikiran para pemimpin
bangsa ini untuk mengambil tindakan nyata melindungi rakyatnya yang membutuhkan
tanah.
Konflik Struktural
Harus dipahami, konflik agraria yang
berlangsung saat ini adalah konflik agraria yang bersifat struktural, yakni
konflik yang melibatkan penduduk setempat berhadapan dengan kekuatan modal dan
atau instrumen negara.
Umumnya konflik agraria bermula dari proses
kebijakan pemerintah yang “me-negara-isasi” tanah-tanah milik komunitas.
Kemudian di atas tanah yang diberi label
“tanah negara” tersebut, pemerintah menguasakan kepada badan usaha milik swasta
maupun pemerintah dalam berbagai hak pemanfaatan, seperti Hak Guna Usaha, Izin
Usaha Pemanfaatan Hutan, Izin Usaha Pertambangan, dan sebagainya (Fauzi,
2003).
Konflik agraria yang bersifat struktural ini
telah berlangsung sepanjang pemerintahan Orde Baru berkuasa. Konflik dan
kekerasan yang menyertainya mencapai ribuan kasus.
KPA mencatat, rentan waktu 1970-2001 jumlah
konflik agraria mencapai 1.753 berlangsung di 286 kabupaten/kota. Luas tanah
yang disengketakan mencapai 10.892.203 hektare dan telah mengakibatkan tidak
kurang 1.189.482 keluarga menjadi korban.
Sayangnya, pascareformasi konflik tersebut
dibiarkan tanpa ada proses penyelesaian yang memberi keadilan kepada korban.
Bahkan yang terjadi, konflik yang disertai kekerasan masih terus berulang. Pada
2011 saja, sekurang-kurangnya telah terjadi 163 konflik yang terliput di media.
Luas tanah yang disengketakan mencapai
472.480,44 hektare dan melibatkan 69.975 keluarga. Terdapat 22 orang meninggal,
279 orang ditahan, 34 orang tertembak, dan 147 orang yang mengalami
penganiayaan (KPA, 2011).
Perluasan Kapitalisme
Maraknya konflik agraria akhir-akhir ini erat
kaitannya dengan meningkatnya perampasan tanah (land grabbing). Perampasan
tanah adalah gejala global yang dipicu akuisisi lahan skala luas untuk
kebutuhan pangan global.
Melonjaknya harga pangan dunia karena krisis
finansial mendorong perubahan strategi negara-negara kaya tapi miskin pangan
dalam memenuhi kebutuhan pangan domestik.
Mereka tidak lagi megimpor bahan pangan,
tetapi melancarkan pembelian dan penyewaan lahan di negara-negara berkembang
yang mempunyai lahan luas. Studi GRAIN menunjukkan bahwa antara 2006-2009
gelombang akuisisi lahan transaksinya mencapai hampir 37-49 juta hektare.
Selain itu, perampasan tanah menjadi bagian
penting dari perluasan usaha kapitalisme. Melalui pemberlakuan hukum agraria
baru yang mengatur usaha-usaha perkebunan, kehutanan, dan pertambangan,
perusahan-perusahan kapitalis dapat memperoleh akses eksklusif atas tanah dan
kekayaan alam.
Rakyat yang notabene sebagai pemilik awal
dari tanah dan kekayaan alam dikeluarkan dari wilayah tersebut melalui
pemberlakuan hukum, penggunaan kekerasan, pemegaran wilayah secara fisik, serta
penggunaan simbol-simbol baru yang menunjukkan, bukan lagi rakyat yang memiliki
wilayah tersebut.
Penting untuk disadari, perampasan tanah
tidak hanya mengakibatkan konflik agraria semakin tinggi karena adaya proses
perlawanan dari para korban, tetapi dalam jangka panjang menjadi proses
pembunuhan petani dan dunia perdesaan secara sistematis.
Proses ini disebut Karl Marx sebagai upaya
paksa menciptakan orang-orang yang tidak terikat pada tanah, tetapi hanya
mengandalkan tenaga kerja yang melekat pada dirinya saja, lalu menjadi pekerja
bebas (Fauzi, 2011).
Akar Persoalan
Konflik agraria merupakan akibat. Sementara
perluasan kapitalisme merupakan penyebab. Sebanyak 71,1 persen luas daratan
Indonesia masuk dalam kawasan hutan. Ada lebih 25 juta hektare dikuasai HPH,
lebih 8 juta hektare dikuasai HTI, dan 12 juta hektare dikuasai perkebunan
besar sawit. Sementara 85 persen petani kita adalah petani tak bertanah dan
gurem (berlahan sempit).
Negara telah salah urus! Pembiaran terhadap
ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pengelolaan tanah, serta
sumber daya alam di dalamnya hanya melahirkan dan menyuburkan konflik dan
sengketa agraria di negeri ini.
Pemerintah dan aparatnya serta DPR seharusnya
menjadi kekuatan sosial yang mengurus dan mewujudkan keadilan sosial bagi petani
miskin, rakyat tak bertanah di perdesaan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar