Sabtu, 07 Januari 2012

Sistem Campuran Paling Ideal


WAWANCARA
Sistem Campuran Paling Ideal
Hadar Gumay, DIREKTUR EKSEKUTIF CENTRAL FOR ELECTORAL REFORM (CETRO)
Sumber : SUARA KARYA, 7 Januari 2012


Pemilu 2014 masih dua tahun lagi, tapi perangkat untuk penyelenggaraan pesta akbar lima tahunan rakyat Indonesia ini sudah mulai dipersiapkan. Antara lain via penyusunan UU Pemilu.

Undang-undang yang sangat krusial ini, kini tengah memasuki pembahasan serius, utamanya berkaitan dengan sistem pemilu. Ada fraksi yang menginginkan sistem proporsional terbuka, ada yang minta sistem proporsional tertutup. Dan, Partai Golkar mengambil jalan tengah, mengusulkan agar pada Pemilu 2014 nanti digunakan sistem kombinasi.

Lantas, apa kata Direktur Eksekutif Central for Electoral Reform (Cetro) Hadar Gumay menanggapi usulan-usulan sejumlah fraksi di DPR itu? Kepada wartawan Suara Karya Kartoyo DS, Hadar memaparkan panjang lebar seputar seluk-beluk sistem pemilu yang tengah dibahas DPR.

Menurut Anda, pemilu 2014 lebih ideal menggunakan sistem apa, proporsional terbuka atau tertutup?

Yang ideal menggunakan sistem campuran, proporsional terbuka dan tertutup, yang sistem induknya tetap pada sistem proporsional. Sistem ini dikenal dengan sistem MMP (Mixed Member Proportional). Pembagian kursi perolehan parpol menggunakan sistem proporsional. Namun, pengisian kursi atau penetapan calon terpilihnya menggunakan dua jalur, yaitu sebagian dengan suara terbanyak di dapil-dapil berwakil tunggal (Single Member District), dan sebagian lagi atau sisanya berdasarkan nomor urut.

Kenapa?

Dengan sistem ini, proporsionalitas dan keterwakilan akan lebih baik karena perhitungan perolehan kursi atas wilayah yang lebih besar, provinsi bukan dapil. Kemudian, akuntabilitas wakil rakyat akan lebih mungkin tercipta karena suatu dapil akan diwakili oleh seorang wakil rakyat. Masyarakat akan mudah mengenali wakil rakyatnya dan sebaliknya mereka tidak bisa menghindar dari konstituennya. Komunikasi diantara mereka akan lebih mudah tercipta.

Dengan satu dapil satu kursi, maka kompetisi antar calon dari satu parpol tidak akan terjadi. Bahkan sebaliknya hubungan baik parpol dan calonnya akan lebih baik. Persaingan kotor dengan penggunaan uang dan perilaku curang akan lebih sedikit terjadi.

Dalam sistem ini, sebagian calon akan ditetapkan terpilih berdasarkan nomor urut dari daftar calon yang disiapkan oleh parpol bagi setiap provinsi. Dengan demikian parpol juga bisa menyiapkan calon berkualitas mereka yang mungkin tidak populer, melalui mekanisme pencalonan ini.

Partai Golkar juga mengusulkan sistem kombinasi, apa bedanya?

Jelas berbeda. Kalau sistem yang dimaksudkan oleh FPG di DPR, yaitu sistem proporsional di mana pembagian kursinya dibagi dalam dua blok: sebagian (70% kursi DPR) dipilih dengan sistem proporsional daftar calon terbuka seperti sekarang; dan sebagian sisanya (30% kursi DPR) ditetapkan terpilih berdasarkan suara nomor urut (nasional) dengan menggunakan dasar pembagian proporsional berdasarkan total sisa suara masing-masing parpol dari seluruh dapil.

Sistem ini akan membuat proporsionalitas lebih baik dari sistem yang ada. Namun, tidak bisa mengambil keuntungan dari sistem campuran yang umumnya ada, yaitu keuntungan dari dua sistem yang berbeda yang diterapkan bersamaan.

Apa positif dan negatifnya jika kita menggunakan sistem ini?

Positifnya telah saya sampaikan di atas. Namun, negatifnya, seperti sistem yang kita gunakan sekarang (proporsional dengan daftar calon terbuka), masih akan menyulitkan pemilih karena pilihan calon masih teralu banyak dalam kertas suara yang besar. 

Persaingan yang sering kali tidak sehat antarcalon dari satu parpol dalam satu dapil masih akan banyak terjadi. Konsekuensinya sengketa akan tetap banyak terjadi. Dengan dapil yang masih ber-magnitudo besar (banyak kursi), daerah yang luas, akan dibutuhkan banyak dana bagi calon untuk berkampanye dan kerja serta membangun komunikasi pada pasca pemilu dengan konstituennya.

Banyak partai menginginkan sistem proporsional terbuka, apa sebenarnya kelebihan dan kekurangannya?

Kelebihan sistem proporsional terbuka, masyarakat betul-betul dapat menggunakan haknya untuk menentukan sendiri, yang mereka yakini sebagai wakil rakyat yang pas. Mereka tidak perlu menggantungkan kepercayaan penuh pada parpolnya. Masyarakat pemilih akan dapat berusaha lebih mengenal calon yang akan dipilihnya. Akuntabilitas lebih mungkin terjadi, karena wakil rakyat merasa mendapatkan kepercayaan langsung dari konsituennya.

Kekurangannya, persaingan antar-calon dari satu parpol akan sangat ketat. Dalam situasi parpol tidak dapat mengontrol dan mengkoordinasikan mereka, serta para calon yang tidak berintegritas, maka 'sikut-sikutan' antar-calon, permainan uang dan praktik curang akan banyak terjadi. Sengketa banyak terjadi. Sangat mungkin parpol tidak berlaku adil terhadap calon-calonnya.

Apakah sistem terbuka hanya menguntungkan calon populer?

Tidak ada masalah dengan calon populer terpilih. Yang menjadi masalah, orang populer tersebut tidak punya cukup kualitas untuk menjadi wakil rakyat yang mampu menjalankan tugasnya seperti seharusnya.

Kesalahan ada pada parpol yang memasang calon-calon populer ini. Semua calon yang ada dalam daftar calon setiap dapil hasil proses pencalonan parpol. Nama mereka ada dalam surat suara adalah dari parpol. Banyak parpol menaruh mereka dalam list lebih diharapkan karena hanya sebagai vote getter sehingga parpol dapat memperoleh kursi sebanyak mungkin tanpa peduli bagaimana kerja mereka setelah terpilih nanti. Jadi, permasalahan ini lebih merupakan kekeliruan parpol daripada masyarakat pemilih.

Tapi, PDIP minta sistem proporsional tertutup seperti Pemilu 2004. Kenapa seperti itu?

Banyak pemilih PDIP adalah kalangan wong cilik yang tidak ingin terlalu pusing atau bahkan tidak cukup mampu memilih-milih yang terbaik di antara banyak calon. Banyak pemilih tradisional mereka yang diyakini mempercayai sepenuhnya pada parpol. Jadi, dipilih karena memang sistem ini memudahkan pemilih. Hanya memberi tanda pada tanda gambar parpol saja.

Baik sistem proporsional terbuka maupun tertutup tampaknya tetap memberikan peluang money politics. Benarkah?

Tidak tepat kesimpulan itu. Money politic bukan karena sistemnya tetapi karena kita belum punya pengaturan sistem keuangan kampanye yang memadai. Demikian pula dengan sistem pengawasan dan penegakannya. Permainan uang akan terjadi di mana saja, kalau mentalitas bangsa ini masih rendah. Bahkan permainan uang terjadi banyak dalam parpol sendiri dalam menempatkan nomor urut daftar calon. Bukankah salah satunya karena alasan ini kita berubah ke sistem proporsional terbuka walaupun masih sangat terbatas terbukanya saat itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar