Sabtu, 07 Januari 2012

Seni Tradisi: Tangisan Pocong


Seni Tradisi: Tangisan Pocong
Arswendo Atmowiloto, BUDAYAWAN
Sumber : SINDO, 7 Januari 2012



Pemeran hantu pocong dari Sandiwara Sunda Miss Tjitjih, dalam lakon klasik Hantu Pocong Waru Doyong, mengeluhkan nasibnya: selama 30 tahun berperan sebagai hantu pocong, nasibnya tetap “gini-gini saja.”

Lalu setengah bertanya: saya harus berperan sebagai apa lagi? Pertanyaan yang menakutkan— lebih menakutkan dibandingkan keberadaan hantu itu sendiri— bagi berbagai bentuk seni tradisi. Di negeri yang mempunyai ratusan,atau ribuan bentuk seni tradisi yang bukan hanya seni panggung, ternyata mengidap gizi buruk, dan tak teperhatikan. Pemain ketoprak yang biasa memainkan peran raja di Balekambang Solo, siang hari bekerja sebagai penarik becak, dan kini kediaman di bawah panggung harus pindah.

Dalang kandha—dalang yang merangkap ilustrasi gamelan dengan suara mulut di daerah Banyumas, Jawa Tengah, yang biasa ngamen di pasar, kini menjadi penjual burung merpati yang dipasarkan melalui sepeda tua. Perkumpulan pencak silat di Madiun yang pernah tenar, kini berlatih diam-diam, tanpa promosi,karena dituduh melatih remaja yang nantinya akan tawuran.

Seorang penggiat seni di daerah Borobudur Magelang sudah lama berganti profesi menyewakan kain bagi pengunjung yang masuk candi kesohor.Wayang orang RRI Solo, setiap kali pentas, menyediakan kotak sumbangan suka rela yang pastilah tidak mencukupi untuk 80 pemain dan musisi— penabuh gamelan.

Grup lenong di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta memilih kerja lain yang sama sulitnya: mencari rumput untuk makanan kuda delman. Semua daerah budaya mempunyai kisah sedih,walau tak membuat senimannya patah hati. Diperlukan pendekatan strategis agar kekayaan budaya— yang di dalamnya ada tata nilai dan tata krama,ajaran, dan petuah—tidak makin tersingkir dan hilang.

Dua Kreativitas

Keterpinggiran seni tradisi menurut saya karena gagap dan gugup menerima perubahan media yang dihadapi. Baik dari unsur tokoh, pemahaman lokasi—baik lokasi tempat maupun lokasi waktu, serta konflik yang disajikan.Terutama sekali jika dikaitkan dengan generasi muda yang mempunyai pilihan lain begitu banyak, begitu mudah, dan begitu instan. Persoalan ini adalah wilayah seniman tradisi untuk menga k - tualkan kembali. Pergulatan kreativitas adalah bagiannya yang mutlak untuk tetap hadir.

Dalang wayang kulit Ki Nartosabdho yang kampiun itu membawa drum—dan bukan hanya satu,di antara alat musik kendang.Almarhum menciptakan gending atau partitur baru yang lagunya sampai sekarang masih dinyanyikan seperti Prau Layar, misalnya.Atau para dalang yang memainkan wayang kulit dengan pakeliran padhet, pertunjukan padat, hanya selama empat jam dan bukan semalam suntuk.

Atau jenis banjaran,penuturan secara biografis tokoh wayang,yang tak dijumpai sebelumnya. Atau beberapa sanggit—nama lain dari kreativitas unggul, yang membuat masyarakat tetap mengikuti dan terpesona. Dan sesungguhnya para empu, bahkan yang masih muda usia, mempunyai kemampuan untuk ini, karena bergelut setiap harinya. Kreativitas kedua adalah bagaimana proses kreativitas pertama bisa dipersembahkan ke masyarakat.

Apakah tempat pertunjukkan yang tetap, apakah kemudahan mendapatkan informasi kegiatan dan kontinuitasnya, dan atau sarana lain yang mendukung. Peran ini bisa diambil pemerintah yang mengetahui proses kreatif yang ada—dan bukan mengemas untuk kepentingan pariwisata semata,atau juga yang dikenal sebagai Maecenas, atau pelindung dan sekaligus penyandang dana. Peran ini yang dulu dimainkan oleh raja dan para bangsawan dan atau j u g a k e l a s m e n e - ngah.Tak akan lahir balet, orkes simfoni, pertunjukan teater, di negeri mana pun tanpa adanya pem e r a n kedua setelah proses kreatif berlangsung.

Duet Sanggar

Dalam bahasa kerja, perwujudannya bisa dimulai dengan adanya sanggar seni— bisa sanggar tari, sanggar keroncong, sanggar sastra, sanggar pencak silat, sanggar ukir, sanggar kriya—pada komunitas tertentu. Menghidupkan sanggar-sanggar sebagai pusat kegiatan kesenian menjadi tak terhindarkan. Karena di sinilah lokasi kegiatan, juga informasi, yang memetakan kegiatan yang ada.

Sekaligus mengundang dan menawarkan alternatif pilihan bagi para pemula.Dari sini diandaikan akan muncul seniman-seniman tradisi. Kalaupun tidak menjadi pemain aktif, paling tidak apresiasi budaya tradisi terkomunikasikan. Dan kalau saja sanggarsanggar ini bisa hidup dan saling duet atau kerja sama,yang terhimpun di dalamnya bukan hanya mereka yang tertarik dengan seni tradisi belaka, melainkan suatu komunitas budaya yang bisa berinteraksi dengan sendirinya.

Bukan tidak mungkin, atau ini sasaran lain, komunitas budaya ini juga mampu mencegah terjadinya konflik-konflik yang bisa mengganas. Rasa-rasanya komunitas budaya ini mampu mencegah terjadi salah paham, salah pengertian, salah perbedaan, dan jalan budaya adalah jalan pencegahan dini akan bentuk-bentuk anarki. Karena jalan budaya selalu mengedepankan dialog dibandingkan kekerasan, mendahulukan berkarya dan bukan hanya berwacana, serta tidak menganggap seninya yang paling benar dengan meniadakan yang lain.

Dengan bahasa yang lebih besar, kita bukan prihatin dan menangisi nasib pemeran pocong, juga bukan sekadar iba dan ingin menolong bentuk seni tradisi semata, melainkan dan yang terutama adalah bagaimana mengembangkan proses budaya yang sesungguhnya. Bagaimana kebersamaan itu menemukan bentuknya yang dinamis. Bagaimana menanamkan karakter, menanamkan pemahaman berkeluarga, bertetangga, bernegara, berbangsa, bahkan beriman.

Bagaimana mengembangkan sikap moral, bagaimana membedakan perbuatan jahat dengan baik.Kesenian, terlebih seni tradisi, bukan tidak mungkin justru lahir dari keinginan luhur ini. Saya bahkan kadang terpikir kegagalan berbangsa dan bernegara dengan maraknya tawuran antarkampung, antarmahasiswa,karena kita mengabaikan pendekatan budaya. Juga terjadinya kekerasan di Mesuji, Bima, Papua— untuk menyebut beberapa nama panas, karena budaya kekerasan dinomorsatukan, karena kuasa dan pendekatan materi menjadi tolok ukur keberhasilan.

Jalan budaya tidak meniadakan kuasa atau harta, tetapi memberi makna lebih manusiawi atas kekuasaan dan materi. Dengan cara kreatif, bukan pemaksaan dan peniadaan. Jalan budaya adalah jalan atau pendekatan manusia,dan barang kali itu yang membedakan dengan binatang yang hanya mengenal memangsa makhluk lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar