Sisi
Lain RUU Kamnas
Romli Atmasasmita,
GURU BESAR EMERITUS UNIVERSITAS PADJADJARAN (UNPAD), ANGGOTA DEWAN PAKAR
PARTAI NASDEM
Sumber
: SINDO, 18 Januari 2012
Sejak era Reformasi, bahkan jauh
sebelum Reformasi, situasi dan kondisi objektif di negara ini belum
mencerminkan stabilitas sosial, ekonomi, politik di tengah-tengah heterogenitas
kehidupan masyarakat yang mendiami wilayah yang terpisahkan oleh selat dan
lautan serta kondisi objektif daerah terpencil di dalam wilayah NKRI.
Fluktuasi dan intensitas serta eskalasi konflik sosial baik yang bersifat horizontal maupun vertikal mewarnai dinamika kehidupan bangsa ini selama 65 tahun sejak kemerdekaannya. Satu-satunya solusi dan harapan bangsa ini sejak kemerdekaan sampai saat ini selalu bertumpu pada kebijakan legislasi yang dicita-citakan bersumber pada Pancasila dan UUD 1945.
Kebijakan legislasi dalam setiap pergantian pemerintahan selalu berubah-ubah mengikuti selera pemimpin nasional sehingga faktor kesinambungan dan konsistensi fungsi dan peranan legislasi melemah dan dalam praktik telah memunculkan egoisme sektoral dalam penyusunan program legislasi nasional (prolegnas).
Salah satu penyebab dari inkonsistensi dan ketidaksinambungan tersebut adalah dihapuskannya GBHN sebagai garis besar haluan negara dan direduksinya wewenang MPR RI sebatas menetapkan dan mengubah UUD dan melantik presiden dan wakil presiden. Dampak dari keadaan tersebut, kebijakan legislasi ren-tan terhadap perubahan-perubahan yang sering bias arah dan tujuannya, bahkan ditengarai hanya demi kepentingan tujuan pemegang kekuasaan dan bersifat ad hocsemata-mata.
Kenyataan perkembangan kebijakan legislasi sedemikian harus dihentikan karena akan menjadi beban sejarah generasi bangsa di masa depan. RUUKeamananNasional(Kamnas) yang diperlukan bangsa ini adalah RUU yang dapat memayungi seluruh langkah presiden sebagai kepala negara untuk mencegah dan mengantisipasi (bukan menindak) ancaman dan gangguan yang dapat membahayakan dan merugikan kepentingan bangsa di masa mendatang. RUU Kamnas yang diperlukan harus merupakan ius constituendum dan tidak sematamata diperankan sebagai ius constitutum.
Tidak juga diperankan sebagai UU yang memiliki kewenangan operasional untuk segera mengambil tindakan yang dianggap perlu, melainkan sebagai UU yang memberikan payung hukum yang kuat untuk mengikat koordinasi antara lembagalembaga penegak hukum dan TNI sesuai dengan ketentuan perundang-undangannya.
RUU Kamnas yang diperlukan harus dapat menghasilkan kebijakan (policy) pertahanan dan keamanan, baik kini dan masa mendatang, sehingga dapat segera menangkal ancaman baik dari luar maupun dari dalam terhadap keutuhan NKRI.
RUU Kamnas tidak boleh diharamkan karena hampir semua negara memiliki undangundang semacam itu walau dengan pola pendekatan dan karakteristik yang berbedabeda satu sama lain sesuai dengan keperluan lingkungan strategis tiap negara dan cara pandang masing-masing terhadap ancaman dan gangguan tersebut.
Tanpa Grey Area
Untuk mengisi keperluan RUU Kamnas Indonesia sebagai Umbrella Act,RUU Kamnas harus dapat dengan jelas membedakan dua keadaan yang penting dan relevan bagi keutuhan NKRI, yaitu keadaan masa damai (normalcy), termasuk masa krisis (crisis) ,dan keadaan masa darurat (emergency).RUU Kamnas tidak boleh menyisakan celah bagi wilayah abu-abu (grey-area) karena wilayah ini potensial menjadikan rakyat sipil menjadi korban sia-sia.
Dalam keadaan damai, perlu menyusun secara akurat kriteria yang disebut crisis in normalcy.Untuk ini UU Prp No 23 Tahun 1959 dapat dijadikan rujukan sekalipun masih memerlukan kajian hukum mendalam. Penetapan kriteria yang jelas mengenai dua keadaan tersebut akan memudahkan presiden selaku kepala negara melakukan tindakantindakan yang segera diperlukan untuk mengatasi dua keadaan tersebut dan mencegah peningkatan eskalasi konflik sosial baik bersifat horizontal maupun vertikal.
Penetapan kriteria dua keadaan tersebut harus seoptimal mungkin merujuk ketentuan UUD 1945.Atau jika tidak cukup, penetapan kriteria tersebut tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan Pembukaan UUD 1945, yaitu menciptakan perdamaian dan keamanan serta kesejahteraan sosial bangsa ini.
Oren Gross mengusulkan penggunaan “Extra-Legal Measures Model” yang membedakan tiga hal. Pertama, keadaan darurat yang menuntut tindakan luar biasa (extra-ordinary measures) dari pemerintah. Kedua, pernyataan keadaan darurat yang tidak bertentangan dengan UUD. Ketiga, tindakan luar biasa dari pemerintah yang akan melanggar sistem hukum yang berlaku setelah keadaan darurat tersebut diberlakukan.
Dalam dua keadaan (keadaan darurat dan krisis dalam keadaan normal), Dicey, ahli hukum tata negara (1959),menyatakan bahwa antara lain bahwa ada saatnya ketika negara dalam keadaan darurat atau menghadapi invasi, demi kepentingan hukum itu sendiri, prinsip rule of law harus dilanggar, tetapi harus diawasi dan direviu ketat oleh parlemen.
Merujuk pada usulan Dicey, pengambilan langkah-langkah oleh presiden dalam dua keadaan tersebut merupakan kekuasaan diskresi yang dikontrol oleh parlemen dan layak dilaksanakan oleh setiap kepala negara di dalam masyarakat beradab.
RUU Kamnas belum mencerminkan pandangan di atas dan masih terkungkung oleh seberapa besar kewenangan ekstrakonstitusional yang dapat digunakan serta tidak membedakan secara jelas keadaan dalam masa damai, krisis dalam masa damai, dan keadaan darurat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar