Rabu, 18 Januari 2012

Anak Bajang Menggiring Celeng (Bagian Kedua)


Anak Bajang Menggiring Celeng (Bagian Kedua)
Hajriyanto Y. Thohari, WAKIL KETUA MPR RI
Sumber : SINDO, 18 Januari 2012



Korupsi di negeri ini telah menyebarkan sinisme dan apatisme yang luar biasa dahsyat di tengah masyarakat.Barangkali saking apatisnya tokoh reformasi Amien Rais, yang sekarang lebih banyak diam itu,menyebut para pejabat negara dan pemerintahan Indonesia itu seperti khetek yang sedang berebut makanan.

Namanya saja kethek, maka lihat saja ketika dikritik sebagai korup tetap saja bergeming seolah tidak mendengar, malah cuma tengak-tengok saja ke kanan ke kiri persis kethek ditulup. Bahkan ketika mereka disidik, dijadikan tersangka,divonis,dan dimasukkan penjara sekalipun, masih juga bisa tersenyum plengah-plengeh saja.Pasalnya, mereka itu merasa biasa saja karena temannya banyak dan semuanya juga korup, hanya nasibnya saja yang tidak seapes dirinya yang lebih dulu tertangkap.

Tak aneh kalau tokoh senior Adnan Buyung Nasution mengatakan pemimpin Indonesia sekarang ini tak ubahnya seperti bebek pincang: tidak maju, tidak juga mundur. Lebih memiriskan hati saya lagi adalah apa yang dikatakan rohaniwan kondang Sindhunata (Kompas, 31 Mei 2011) bahwa Republik Indonesia sudah menjadi negeri para celeng atawa babi ngepet alias koruptor.

Bahkan saking banyaknya celeng di negeri ini, katanya, yang terjadi tidak lain adalah lengji lengbeh, celeng siji celeng kabeh.Manusia telah menjadi celeng bagi manusia lainnya.Homo homini celeng! Perhatikan betapa kerasnya ungkapan yang mereka gunakan sekarang ini: kethek, bebek,dan celeng! Demikianlah nasib rakyat di negeri ini.

Sudah direwangi prihatin esuk awan sore,prihatin nganti tekan seprene, dengan menganut paham mesianisme atau milenarianisme selama berabad-abad menunggu datangnya satrio piningit yang akan menjadi noto-pinandito, toh sampai sekarang sang Ratu adil,Satrio Piningit,Satrio Pinandito,atau apa pun namanya itu, tidak kunjung muncul juga.

Barangkali negara yang koruptif seperti ini tampaknya tidak begitu tepat menunggu kehadiran Ratu Adil atau Satrio Piningit, toh tidak akan mampu mengatasi masalah. Yang lebih cocok untuk Indonesia sekarang ini adalah bocah atau anak bajang. Tapi bukan anak bajang menggiring angin, seperti kata Sindhunata, melainkan anak bajang menggiring celeng.

Bangsa ini menunggu anak belia yang cerdas, cerdik, sedikit nakal, bandel, tetapi berkarakter dan hidupnya bersih. Bukan anak muda tanggung yang ingin cepat kaya dengan mentalitas menerabas dan korup seperti yang marak pada 2011 ini.

Bangsa ini menunggu anak bajang yang sanggup menggiring celeng dan menceburkannya ke laut selatan (segoro kidul) mumpung laut selatan sedang kosong karena— jangan ketawa—Nyai Roro Kidul,penghuninya selama ini, konon sudah pindah ke laut utara (segoro lor).

Tuhan Maha Tahu, tapi Dia Menunggu

Rakyat berharap untuk kali ini anak-anak bajang yang akan muncul ini tidak lagi bermetamorfosis menjadi celengceleng baru seperti yang terjadi selama ini. Bukankah negeri ini selalu mengalami repetisi sejarah lama, bahkan replika masa lalu persis seperti berputarnya siklus tesisantitesis- sintesis. Rezim korup digulingkan,tetapi penggulingnya menjadi koruptor baru setelah berkuasa.

Kaderisasi dan regenerasi koruptor berjalan dengan sangat baik dan lancar. Walhasil proses pembeliaan koruptor terus melaju dengan cepat mengikuti deret ukur, sementara pencegahan dan pemberantasan korupsi sangatlah lamban mengikuti deret hitung. Harapan memang tinggal pada anak bajang itu.

Bukan pada politik, apalagi partai politik. Partai-partai politik justru dipersepsikan oleh publik— benar atau salah—sebagai menjadi bungker koruptor sekaligus ujung tombak penyelewengan keuangan negara. Demikian juga halnya dengan birokrasi. Birokrasi direformasi katanya untuk menjadi pelaksana fungsi pelayanan rakyat yang sangkil dan mangkus, tetapi ternyata justru menjalankan fungsi kapal keruk uang negara.

Jika dalam lakon Ramayana anak-anak priyayi yang berebut Cupu Manik Astagina dikutuk oleh para dewa sehingga menjadi kera (kethek), yaitu Sugriwo, Subali, dan Dewi Anjani, maka di negeri ini mereka yang berebut mengeruk uang negara bukannya dikutuk menjadi kethek,melainkan opo tumon justru terpilih menjadi pemimpin yang kedudukannya makin menjulang tinggi di lembaga-lembaga negara.

Bahkan ada yang digadang-gadang menjadi satrio pinandito yang akan memayu hayuning bawono dengan menegakkan kejujuran dan keadilan! Padahal mereka itu tak ubahnya petruk dadi ratu, kalau bukannya malah kere munggah bale. Tak anehe jika sikap cuek bebek (Jawa: mekengkeng, mbeguguk nguto waton) menggejala di kalangan penguasa. Kritik dianggap angin lalu dan dikategorikan sebagai suara sumbang dari para pecundang.

Bahkan kritik dari para purnawirawan dan rohaniwan dianggap permusuhan. Padahal jika ada harimau turun dari gunung,itu haruslah dibaca dalam ngelmu ngalamat: isyarat telah terjadi apa-apa di atas gunung sana.Dan juga,seperti ungkapan Arab, kafa lil ‘aqil alisyarah (cukuplah bagi orang yang berakal sebuah isyarat).

Berhati-hatilah ketika apatisme mulai ada isyarat mengarah ke sinisme.Pesimisme telah berkembang menjadi apatisme dan apatisme sudah mulai ada tanda-tanda mengarah menjadi sinisme. Lihat saja, tokoh-tokoh agama dan rohaniwan yang mengritik pemerintah malah dituduh sebagai gagak hitam pemakan bangkai. Padahal mestinya turun gunungnya para agamawan haruslah dibaca sebagai bagian dari isyarat jaman.

Jika harimau turun dari gunung itu isyarat ada apa-apa di puncak gunung sana. Ilmu isyarat ini rupanya tidak ditangkap oleh pemimpin negara. Padahal ada ungkapan Arab kafa lil ‘aqil al-isyarah, cukup bagi orang yang berakal sebuah isyarat.Kalau orang besar sudah tidak lagi memahami isyarat zaman,maka apalah untuk mengerti mereka itu perlu didupak?

Hati-hati dengan isyarat Prof.Azzumardy Azra (Kompas, 9 Juli 2011) bahwa negeri ini di ambang krisis. Waspadai wantiwanti politikus senior Sugeng Sarjadi yang membuat hati miris itu (Kompas,14 Juli 2011).

Negeri ini memang sedang menunggu datangnya bocah bajang yang akan menggiring celeng dan mendupaknya ke laut kidul! Kapan anak bajang itu akan datang? Kata Leo Tolstoy: “Tuhan Maha Tahu, tapi Dia menunggu...”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar