Jumat, 13 Januari 2012

Sinetron (Tanpa) Wajah Indonesia


Sinetron (Tanpa) Wajah Indonesia
Veven Sp. Wardhana,  PENGHAYAT BUDAYA MASSA
Sumber : KORAN TEMPO, 13 Januari 2012


Fiksi memang bukan fakta, bahkan pun jika fiksi tersebut didasarkan pada fakta atau kenyataan. Namun, tetap, ada logika yang tak bisa difiksikan, ada pola pikir yang tak mungkin dipelintir. Contoh konkretnya, jika ada kisah sinema (salah satu ujud karya fiksi) yang berlokasi di Paris dan waktunya digambarkan bertepatan dengan Hari Valentine, 14 Februari, sementara dalam visualisasi tampak berseliweran sosok-sosok bule perempuan mengenakan pakaian berlengan cutung dan bule lelaki ber-casual clothing, selain berjajarnya meja dan kursi kafe di sepanjang trotoar, jelas di sini ada kontradiksi yang parah. Pasalnya, di Paris dan rata-rata bumi belahan Eropa, Februari itu termasuk musim dingin, sementara pakaian para bule dan jajaran kursi-meja di luar kafe hanya terjadi pada musim panas. Kesimpulannya: ada pemahaman yang salah dalam diri para sineas dalam berlogika--dan itu bukan sebatas persoalan teknis, melainkan perkara esensial.

Ini bersejajar dengan berderet sinetron yang terasa “tidak Indonesia banget” lantaran kisahnya diorder berdasarkan sinema dari bumi belahan lain yang bisa jadi terhitung “bumi belahan lain banget”. Bumi lain itu mungkin Korea atau Taiwan, yang sinemanya kerap dijadikan titik pijak adaptasi, yang galibnya justru adopsi belaka, karena tak ada perubahan dan pengubahan apa pun, terutama dari sisi kisah atau ceritera.

Jika belakang hari banyak ditayangkan film televisi (FTV) atawa sinetron sekali-tayang-langsung-usai dengan lokasi Bali atau Jawa namun para pemainnya bercakap dalam dialek Jakarta-an, itu juga bisa dijadikan contoh nyata perkara esensi atau isi kepala sineas. Belum lagi, atmosfer sesama Jawa pun punya perbedaan yang cukup signifikan antara, misalnya, Yogya, Solo, Purwokerto, Surabaya, Semarang, dan lainnya.

Sinema televisi Getar 2 Cinta (SCTV, 30 Desember 2011, pukul 10.00), berlokasi di Bali, berkisah tentang perempuan cantik Jannet yang makin gerah atas kelakuan ayahnya yang kian dekat dengan asistennya di kantor. Namun tak jelas benar, Jannet berada di Bali sebagai pelarian dari rasa gerah itu ataukah memang sejak awal dia berdomisili di Bali. Yang jelas, logat bicaranya berbahasa Jakarta. Demikian pula halnya keberadaan Janny, perempuan tukang parkir, bertampang sangat mirip Jannet, yang konon berasal dari Yogyakarta, cara omongnya juga seperti rata-rata anak-anak pasca-ABG Jakarta.

Karenanya, jangan pernah mencari wajah Indonesia dalam sinetron Indonesia, baik yang berformat serial (bersambungan dan bersebab-akibat), seri (yang masing-masing episodenya bisa dibolak-balik tak berurutan), miniseri, juga satu-kali-siar-langsung-bubar yang diistilahkan sebagai FTV. Tiadanya wajah Indonesia dalam kebanyakan sinema televisi bukannya tak disadari stasiun televisi. Salah satunya, sejak tahun 2010, SCTV memprogramkan mata tayangan “Sinema 20 Wajah Indonesia”, yang berisi 20 judul sinema televisi dengan persoalan yang terkait dengan latar belakang subkultur yang memang bertebaran dan bertaburan di segenap kawasan Indonesia. Ada yang ber-setting Papua (Mutiara Hitam), Jawa Tengah (Menir Si Proyek Gagal), Batak (Ulos Simalakama), Bugis-Makassar (Badik Titipan Ayah), ada pula setting lainnya.

Kenapa 20 judul? Ini disetarakan dengan ulang tahun ke-20 SCTV pada 24 Agustus 2010. Tahun 2011, jika stasiun televisi yang sama melanjutkan “Sinema Wajah Indonesia” dengan jumlah 13 judul sinetron lepas, tak penting angka 13 itu untuk memperingati apa, karena yang lebih penting adalah niatan SCTV untuk menyadari diri dan menyadarkan publik bahwa tlatah Indonesia menyimpan banyak hal dan modal untuk dijadikan materi kisah. Terbukti, dalam perhelatan Anugerah Komisi Penyiaran Indonesia 2011, 6 Desember 2011, sinetron lepas yang pantas dianugerahi adalah Papi, Mami, dan Tukang Kebun, salah satu judul dalam “Sinema 20 Wajah Indonesia 2010”. Sementara itu, pada 11 Desember 2011, dalam perhelatan Festival Film Indonesia, FTV yang ternilai sebagai terbaik, termasuk anasir sutradara, penulis skenario, aktris pendukung, dan tata artistik terbaik, disematkan pada Bakpao Pingping yang juga diproduksi PT Demigisela Citra Sinema, pembuat berderet sinema berwajah Indonesia itu.

Persoalannya sekarang, ada dua pertanyaan penting atas “wajah Indonesia” itu, terutama jika dikaitkan dengan masa-masa mendatang--dan itu tak semata terkait dengan paket milik SCTV itu. Pertama: sungguhkah yang ditampilkan itu subkultur sesuai dengan setting lokasi? Kedua: mau diapakan wajah subkultur tersebut dalam konteks kekinian? Badik Titipan Ayah sangat jelas sebagai sesuatu yang khas etnis Bugis-Makassar perihal persoalan siri’ atau harga diri sebagaimana harga diri ala masyarakat Madura, yang mengantarkan pada carok, duel satu lawan satu pakai celurit, sebagaimana tecermin dalam Bercanda dengan Nyawa (24 Juli 2011). Sama halnya dengan Mahasmara (23 April 2011), yang memunculkan mitos perihal pasangan hidup resmi seorang perempuan berlengan bak gandewa--busur panah--yang suaminya senantiasa meninggal saat menikah dalam entitas masyarakat Solo.

Namun, menyebut beberapa belaka, bagaimana dengan Undangan Kuning (10 September 2011), Pensiunan Monyet (18 Juni 2011), Wagina Bicara (2010), Wagina Bicara Lagi (4 Juni 2011), Tak Cukup Sedih (14 Mei 2011), Sang Mubaligh (2010), dan Pilihan Iman (2 Juli 2011)? Bisa dibilang, judul-judul ini bisa terjadi di mana saja, dalam makna tidak khas subkultur wilayah tertentu. Tanpa mengaitkan dengan kehendak “menggali dan menemukan dan memasyarakatkan wajah subkultur Indonesia”, judul-judul tersebut punya kualifikasi di atas rata-rata dibandingkan dengan kebanyakan sinetron yang pernah ditayangkan.

Lantas, terkait dengan persoalan kedua: mau diposisikan sebagai apakah kekhasan subkultur tersebut? Disunggi-sunggi tanpa henti dan disangga-sangga tanpa jeda tiada tara? Badik Titipan Ayah (2010) menyampaikan sebuah diskusi bahwa dalam beberapa hal implementasi siri’itu malah banyak menelan korban. Lalu, Wagina Bicara Lagi kurang jelas menunjukkan sikap--setelah menyatakan istri yang menggugat cerai dikatakan bikin repot banyak pihak, selain dianggap tidak jamak. Yang jamak, yang umum terjadi, adalah istri menunggu saja dimadu atau ditalak cerai suami.

Pahala Terindah (26 Desember 2011; dimaksudkan berlatar tradisi Lombok, namun sama sekali tak terasa nuansa Nusa Tenggara Barat), sekalipun dibungkus secara halus sebagai adegan mimpi atau impian sepasang suami-istri renta, kemungkinan berpoligami dengan menikah lagi dengan gadis yang lebih subur bahkan diwacanakan sebagai pahala luar biasa bagi sosok istri tua, tak peduli itu merupakan laku masokhistik.

Dalam tataran yang lebih luas, sinetron berwajah Indonesia ini bisa disejajarkan dengan kajian antropologis yang bisa dipetik saripatinya untuk rekomendasi bagi pemerintah (daerah maupun nasional) yang berkewajiban merumuskan dan menelurkan kebijakan untuk masyarakat banyak perihal--sebutlah--pemetaan sosio-kultur, sekalian membuhulkan pertanyaan: sungguh-sungguh punya strategi budayakah pemerintahan Indonesia-raya ini?

Kata kunci untuk jawaban ini adalah: tidak semua budaya itu berbudaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar