Merenungi
Banyaknya Kematian Ibu Melahirkan
Agus Widjanarko, KEPALA BIDANG KESEHATAN KELUARGA DAN PROMOSI KESEHATAN
DI DINAS KESEHATAN KOTA PASURUAN
Sumber
: KORAN TEMPO, 7 Januari 2012
Dalam Laporan Pencapaian Tujuan Milenium
(MDGs) Indonesia Tahun 2010 ditegaskan, penurunan angka kematian ibu melahirkan
(AKI) merupakan sasaran MDGs yang telah menunjukkan kecenderungan kemajuan yang
baik, tapi masih memerlukan kerja keras untuk mencapai sasaran yang ditetapkan
pada 2015. Memang AKI menurun dari 390 pada 1991 menjadi 228 per 100 ribu
kelahiran hidup pada 2007. Tapi, bila mengingat target sasaran pada 2015
sebesar 102 per 100 ribu kelahiran hidup, tampaknya bukan pekerjaan mudah untuk
mencapainya.
Bila disimak definisi yang banyak
disepakati (ICD X), kematian ibu adalah kematian perempuan yang terjadi selama
masa kehamilan atau 42 hari setelah berakhirnya kehamilan, tanpa melihat usia
dan lokasi kehamilan, oleh setiap penyebab yang berhubungan dengan atau
diperberat oleh kehamilan atau penanganannya, tapi bukan oleh kecelakaan
insidental (faktor kebetulan).
Dari definisi ini, tampak adanya
hubungan temporal dan kausal antara kehamilan dan kematian. Sejatinya, pada
titik-titik temporal ataupun kausal tersebut telah banyak dilakukan intervensi
program sebagai daya ungkit untuk menurunkan AKI. Namun pengalaman
bertahun-tahun menunjukkan kenyataan yang sungguh tidak mudah. Berbagai program
telah diupayakan, tapi tingkat penurunannya belum mengisyaratkan tanda yang
menggembirakan.
Data empiris memperlihatkan 90
persen kematian ibu terjadi pada saat persalinan. Hal ini terjadi karena masih
banyak ibu tidak mampu yang persalinannya tidak dilayani oleh tenaga kesehatan
dan fasilitas kesehatan yang baik lantaran terhambat masalah biaya. Maka, untuk
menghilangkan hambatan finansial bagi ibu hamil untuk mendapatkan pelayanan
pemeriksaan kehamilan, persalinan, dan pelayanan selama masa nifas inilah
kebijakan jaminan persalinan (Jampersal) digulirkan.
Dalam Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2010, yang melakukan survei terhadap perempuan usia 10-59 tahun
berstatus kawin, diperoleh gambaran mengenai pelayanan kesehatan yang mereka
peroleh dari kejadian kehamilan, kelahiran, dan nifas lima tahun terakhir serta
anak terakhir yang dilahirkan. Pemeriksaan kehamilan kepada tenaga kesehatan
dilaporkan 83,8 persen, masih ada 6 persen yang tidak pernah memeriksakan
kehamilan, dan 3,2 persen yang pergi ke dukun. Tenaga yang memeriksa kehamilan
adalah bidan (71,4 persen), dokter kandungan (19,7 persen), dan dokter umum
(1,7 persen).
Belum lagi bila mencermati fakta
persalinan. Penolong persalinan oleh tenaga kesehatan pada ibu melahirkan
sebesar 82,2 persen. Angka ini terus membaik jika dibandingkan dengan Susenas
1990, yaitu 40,7 persen, dan pada 2007, yaitu 75,4 persen. Pada 2010,
kesenjangan penolong persalinan oleh tenaga kesehatan berdasarkan tempat
tinggal cukup lebar, yaitu 91,4 persen di perkotaan dan 72,5 persen di
pedesaan. Demikian juga menurut status sosial-ekonomi, keluarga dengan tingkat pengeluaran
terendah (sangat miskin) memperoleh penolong persalinan dari tenaga kesehatan
hanya 69,3 persen dibanding keluarga dengan tingkat pengeluaran tertinggi,
yaitu 94,5 persen.
Jampersal
Sambil menunggu dilaksanakannya
Undang-Undang tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang
direncanakan efektif 1 Januari 2014 untuk BPJS Kesehatan, ada baiknya
mencermati salah satu praktek jaminan pelayanan kesehatan di lapangan yang
sudah dilakukan. Perspektif jaminan kesehatan yang cakupan kepesertaannya sudah
bersifat semesta (universal coverage 100 persen) adalah Jampersal yang
dikelola pemerintah--walaupun sumber pendanaannya masih berwujud bantuan
sosial, belum mengikuti kaidah asuransi sosial.
Jampersal adalah suatu bantuan
sosial yang disediakan untuk semua ibu di Indonesia--yang belum memiliki
jaminan apa pun--yang memerlukan pemeriksaan saat kehamilan, membutuhkan
pertolongan persalinan hingga pelayanan kesehatan pascapersalinan, tanpa
memandang jumlah anak yang telah dilahirkan. Jampersal sesungguhnya merupakan
muara dari kegelisahan panjang akan sulitnya upaya menurunkan angka kematian
ibu di Indonesia. AKI negeri ini masih berada di atas AKI negara-negara Asia
Tenggara.
Ledakan Jumlah Penduduk?
Terlepas dari mekanisme penjaminan
yang masih banyak diperdebatkan--merujuk pada UU Sistem Jaminan Sosial Nasional
ataukah sebaliknya--Jampersal memang bisa jadi sangat dibutuhkan oleh hampir 20
persen ibu bersalin yang belum mampu mengakses pelayanan persalinan oleh tenaga
kesehatan. Pada titik ini, peluang menekan AKI diharapkan dapat dicapai bila
penolong persalinan oleh tenaga kesehatan dapat lebih dimaksimalkan. Rujukan
secara berjenjang memang wajib diterapkan sehingga, ketika para bidan atau
puskesmas mengalami kendala dalam menolong persalinan karena terdapat indikasi
penyulit, keterlambatan merujuk ke rumah sakit harus dihindari demi keselamatan
ibu dan bayinya.
Jika kemudian muncul tengara bahwa
Jampersal yang bersifat semesta ini akan memicu ledakan jumlah penduduk karena
kemudahan pelayanan dan pembebasan biaya yang diberikan bagi ibu hamil dan
melahirkan, hal itu bisa dimaklumi. Persepsi yang berkembang selama ini adalah
keluarga enggan merencanakan banyak anak karena kesulitan dalam pembiayaan
persalinan. Dengan dibebaskannya biaya tersebut, dikhawatirkan keluarga tidak
lagi berupaya mengendalikan kehamilan. Begitu sederhanakah nilai seorang anak?
Riskesdas 2010 menemukan penggunaan
kontrasepsi pada perempuan usia 10-49 tahun yang berstatus kawin hanya 55,85
persen. Penggunaan alat kontrasepsi pada 2010 ini sebenarnya mengalami
penurunan jika dibandingkan dengan 2007 (Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia/SDKI) pada kelompok perempuan yang sama (berstatus kawin) usia 15-49
tahun, yaitu dari 61,4 persen menjadi 55,86 persen. Begitu juga penggunaan alat
kontrasepsi pada perempuan 15-49 tahun berstatus pernah kawin, yaitu dari 57,9
persen (SDKI 2007) menjadi 53,73 persen (Riskesdas 2010).
Menilik fakta ini, kecenderungan
penurunan penggunaan kontrasepsi sebenarnya telah terjadi pada tahun-tahun belakangan.
Tidak mustahil penurunan ini akan terus berlanjut pada masa mendatang bila daya
ungkit program untuk meningkatkannya tidak berubah secara bermakna. Akses yang
semakin mudah bagi ibu hamil dan bersalin pada sarana pelayanan kesehatan
seturut diberlakukannya Jampersal justru dimungkinkan dapat menjadi media
penyampaian pesan-pesan promotif-preventif dalam mencegah kehamilan setelah
mereka bersalin, sehingga mampu meningkatkan penggunaan kontrasepsi yang dapat
berimplikasi pada pengendalian jumlah penduduk.
Bagaimanapun, kematian ibu bukan
hanya refleksi suatu peristiwa dalam satu tahap kehidupan dari masa kehamilan
sampai nifas. Kondisi ini jelas menggambarkan serangkaian alur kehidupan
perempuan sejak masa kanak-kanak. Karena itu, selain intervensi pada kondisi
penyebab kematiannya, diperlukan penanganan yang komprehensif sesuai dengan
fitrahnya sebagai perempuan dari usia anak-anak hingga berakhirnya masa
reproduktif. Tentu salah satunya dengan mengupayakan kelahiran yang terencana,
dan di sisi lain tidak pernah lelah untuk mendorong diwujudkannya jaminan
sosial yang paripurna. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar