Salah
Makna Subsidi BBM
Ichsanuddin Noorsy, EKONOM,
DEKLARATOR ASOSIASI EKONOMI-POLITIK
INDONESIA (AEPI)
Sumber
: SINDO, 9 Januari 2012
Tidak enak rasanya melihat prediksi
menjadi kenyataan.
Sejak bahan bakar minyak (BBM)
dinaikkan pada Mei 2005 disertai dengan suap politik melalui Bantuan Langsung
Tunai (BLT)— yang sekarang menjadi Program Keluarga Harapan (PKH)—hingga
diskusi di Universitas Trisakti dengan mitra pembicara lain Emil Salim,
KetuaWantimpres,Indonesian Mining Association, pejabat Kementerian ESDM) pada
Desember 2011, saya tetap menyatakan, pencabutan subsidi BBM bukan sekadar
Indonesia menjadi net importer.
Yang terpenting dari rencana itu adalah bagian dari desakan IMF, USAID, Bank Dunia,ADB, dan OECD agar Indonesia segera mencabut subsidi BBM. Prediksi saya adalah, harga BBM pasti sesuai dengan harga pasar dan itu berarti hapus subsidinya. Soal pencabutan subsidi ini, berkat penelitian Bank Dunia, pejabat Indonesia, politisi DPR, teknokrat, dan akademisi sepakat bahwa subsidi BBM salah sasaran, yakni dinikmati oleh orang kaya.
Siapa orang kaya? Mereka yang punya mobil,tidak peduli apakah mobil murahan dengan membeli secara kredit atau mobil mewah yang diimpor secara utuh (completely build up).Lalu siapa orang miskin? Mereka yang mobilitasnya menggunakan angkutan umum. Uraian di atas membuktikan adanya empat masalah dalam soal BBM,yaitu pengertian subsidi dalam pengelolaan energi, industri automotif dan keuangan, serta moda transportasi. Sejak dulu saya memahami bahwa pengertian subsidi yang disampaikan “orang-orang hebat” itu adalah harga pasar dikurangi dengan harga yang ditetapkan pemerintah.
Pengertian ini bersumber dari manajemen produksi dan akuntansi. Kata kuncinya pada harga yang dibentuk dari biaya-biaya yang dikeluarkan.Di mana kita bisa menemukan kata harga pasar dalam regulasi di Indonesia? Kita tidak akan menemukannya karena para pejabat tinggi, birokrat, dan teknokrat itu mengganti harga pasar dengan istilah harga keekonomian.
Pragmatisme
Dalam diskusi saya dengan berbagai kalangan birokrat eselon II atau I,bahkan dengan Menteri ESDM yang waktu itu dijabat Purnomo Yusgiantoro, saya bertanya, apa yang mereka maksud dengan harga dan harga keekonomian dalam masalah energi? Dalam kesempatan yang beda, dengan waktu dan tempat yang juga berbeda, mereka memahami harga dalam pengertian teknis belaka. Kalau menyangkut barang yang umum diperdagangkan, pengertian teknis itu, sepanjang tidak bermuatan serakah, bisa diterima. Tapi soalnya adalah BBM bukanlah barang komersial biasa.
Departemen Energi AS pernah menegaskan bahwa energi adalah daya dan darah kehidupan dan karenanya mereka sangat risau dengan ketergantungan pasokan asing. Di Indonesia, soal energi adalah soal hajat hidup orang banyak sebagaimana diatur Pasal 33 UUD 1945. Nah, begitu bicara Pasal 33 UUD 1945,nyaris semua pejabat, teknokrat, dan birokrat bersikap sama: lebih baik kita bicara yang praktis- praktis saja.Saya sangat heran mendengar jawaban mereka. Kenapa? Karena rupanya sumpah jabatan sesuai dengan Pasal 9 UUD 1945 cuma diucapkan saja tanpa berkewajiban menjalankannya.
Sementara, menurut Stiglitz saat berdiskusi dengan Boediono dan para ekonom dari ISEI di Jakarta tiga tahun lalu, sikap praktis itu juga menunjukkan filosofi yang mereka anut dan laksanakan, yakni pragmatisme. Padahal, upaya menerapkan, bahkan menegakkan,ekonomi konstitusi, termasuk menjalankan Pasal 33 UUD 1945, bukan melulu soal praktis, tapi bagaimana mengelola sumber daya energi yang Indonesia kuasai bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Perintah konstitusi ini justru melahirkan pertanyaan, apakah dengan menerapkan harga keekonomian pada BBM lantas berdampak pada kemakmuran rakyat Indonesia menjadi meningkat? Bukankah melepas harga BBM menurut harga pasar sama dengan memberi kemakmuran pada industri kartel perminyakan?
Akar Masalah
Di sini muncul masalah apakah sumber daya BBM memenuhi kebutuhan domestik sebesar 1,2 juta barel per hari? Jika tidak, bagaimana memadu harga antara BBM yang kita hasilkan sendiri dengan BBM impor? Pertanyaan ini harus dijawab dengan struktur produksi BBM dan struktur konsumsi disertai biaya masingmasing. Untuk menjawab pertanyaan ini, pemerintah hanya menegaskan bahwa pada 2011 konsumsi BBM bersubsidi mencapai 40,49 juta kiloliter. Jumlah ini pasti bertambah pada 2012 karena penjualan mobil tahun 2012 diduga mendekati 1 juta unit.
Hubungan produksi, termasuk impor BBM ini,dengan konsumsinya menunjukkan tidak mungkin membahas subsidi BBM tanpa mengkaji sistem kontrak produksi di hulu, industri hilir energi, sistem moda transportasi publik, industri keuangan dan industri automotif. Saya tidak bermaksud menyulitkan pembahasan. Tapi hanya dengan mengatakan kita net importer energi sebenarnya tidak menunjukkan good governance. Itu juga menunjukkan tidak patuh atas perintah konstitusi.
Lalu semuanya berteriak, subsidi BBM di APBN membengkak. Daripada dibakar percuma,lebih baik diberikan kepada yang berhak, yakni orang miskin.Kenapa mereka tidak berteriak bahwa pinjaman program dan proyek lebih menggerus APBN dibandingkan dengan subsidi energi dan pangan? Sudah lebih dari jari tangan saya menyampaikan perbandingan subsidi itu di hadapan orang-orang cerdas dan hebat. Mereka hanya diam, tidak membantah.Tapi tetap saja berteriak, subsidi BBM salah sasaran. Ini bukti kekerasan simbolik sudah terjadi.
Jika mereka bilang akan terjadi penghematan belanja sekitar Rp50 triliun,mereka lupa bahwa penghematan itu berarti biaya bagi masyarakat dan belanja itu berarti keuntungan bagi asing serta inflasi. Lalu apakah uraian di atas menunjukkan lingkaran setan kebijakan publik? Jawabannya, tidak! Suatu kebijakan publik pasti bermakna sebagai hukum besi, terlepas apakah kebijakan itu baik, benar atau tepat waktu atau tidak. Suatu kebijakan ekonomi selalu bermakna, siapa yang sesungguhnya lebih diuntungkan. Dalam perspektif ini sejak 4 September 2008 saya mengusulkan renegosiasi kontrak.
Bahkan sejak 2006 saya mengusulkan dibangunnya kilang minyak 300.000 ribu barel dan 1 juta kiloliter tangki penyimpanan. Usul saya akan meningkatkan ketahanan energi dari 21 hari menjadi 29 hari. Sisi lain, saya mengusulkan pembangunan infrastruktur kereta api dan industri pelayaran dan pelabuhan, bukan pembangunan jalan tol, termasuk bagaimana pengaturan industri automotif.
Tapi mereka lebih berkuasa ketimbang saya yang hanya mantan anggota DPR atau mantan staf khusus menteri atau sekadar narasumber kementerian dan lembaga pemerintahan. Mereka lupa, kebijakan ini justru merupakan sumber kegaduhan utama.Maka salah makna subsidi BBM adalah salah langkah penegakan konstitusi. ●
Yang terpenting dari rencana itu adalah bagian dari desakan IMF, USAID, Bank Dunia,ADB, dan OECD agar Indonesia segera mencabut subsidi BBM. Prediksi saya adalah, harga BBM pasti sesuai dengan harga pasar dan itu berarti hapus subsidinya. Soal pencabutan subsidi ini, berkat penelitian Bank Dunia, pejabat Indonesia, politisi DPR, teknokrat, dan akademisi sepakat bahwa subsidi BBM salah sasaran, yakni dinikmati oleh orang kaya.
Siapa orang kaya? Mereka yang punya mobil,tidak peduli apakah mobil murahan dengan membeli secara kredit atau mobil mewah yang diimpor secara utuh (completely build up).Lalu siapa orang miskin? Mereka yang mobilitasnya menggunakan angkutan umum. Uraian di atas membuktikan adanya empat masalah dalam soal BBM,yaitu pengertian subsidi dalam pengelolaan energi, industri automotif dan keuangan, serta moda transportasi. Sejak dulu saya memahami bahwa pengertian subsidi yang disampaikan “orang-orang hebat” itu adalah harga pasar dikurangi dengan harga yang ditetapkan pemerintah.
Pengertian ini bersumber dari manajemen produksi dan akuntansi. Kata kuncinya pada harga yang dibentuk dari biaya-biaya yang dikeluarkan.Di mana kita bisa menemukan kata harga pasar dalam regulasi di Indonesia? Kita tidak akan menemukannya karena para pejabat tinggi, birokrat, dan teknokrat itu mengganti harga pasar dengan istilah harga keekonomian.
Pragmatisme
Dalam diskusi saya dengan berbagai kalangan birokrat eselon II atau I,bahkan dengan Menteri ESDM yang waktu itu dijabat Purnomo Yusgiantoro, saya bertanya, apa yang mereka maksud dengan harga dan harga keekonomian dalam masalah energi? Dalam kesempatan yang beda, dengan waktu dan tempat yang juga berbeda, mereka memahami harga dalam pengertian teknis belaka. Kalau menyangkut barang yang umum diperdagangkan, pengertian teknis itu, sepanjang tidak bermuatan serakah, bisa diterima. Tapi soalnya adalah BBM bukanlah barang komersial biasa.
Departemen Energi AS pernah menegaskan bahwa energi adalah daya dan darah kehidupan dan karenanya mereka sangat risau dengan ketergantungan pasokan asing. Di Indonesia, soal energi adalah soal hajat hidup orang banyak sebagaimana diatur Pasal 33 UUD 1945. Nah, begitu bicara Pasal 33 UUD 1945,nyaris semua pejabat, teknokrat, dan birokrat bersikap sama: lebih baik kita bicara yang praktis- praktis saja.Saya sangat heran mendengar jawaban mereka. Kenapa? Karena rupanya sumpah jabatan sesuai dengan Pasal 9 UUD 1945 cuma diucapkan saja tanpa berkewajiban menjalankannya.
Sementara, menurut Stiglitz saat berdiskusi dengan Boediono dan para ekonom dari ISEI di Jakarta tiga tahun lalu, sikap praktis itu juga menunjukkan filosofi yang mereka anut dan laksanakan, yakni pragmatisme. Padahal, upaya menerapkan, bahkan menegakkan,ekonomi konstitusi, termasuk menjalankan Pasal 33 UUD 1945, bukan melulu soal praktis, tapi bagaimana mengelola sumber daya energi yang Indonesia kuasai bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Perintah konstitusi ini justru melahirkan pertanyaan, apakah dengan menerapkan harga keekonomian pada BBM lantas berdampak pada kemakmuran rakyat Indonesia menjadi meningkat? Bukankah melepas harga BBM menurut harga pasar sama dengan memberi kemakmuran pada industri kartel perminyakan?
Akar Masalah
Di sini muncul masalah apakah sumber daya BBM memenuhi kebutuhan domestik sebesar 1,2 juta barel per hari? Jika tidak, bagaimana memadu harga antara BBM yang kita hasilkan sendiri dengan BBM impor? Pertanyaan ini harus dijawab dengan struktur produksi BBM dan struktur konsumsi disertai biaya masingmasing. Untuk menjawab pertanyaan ini, pemerintah hanya menegaskan bahwa pada 2011 konsumsi BBM bersubsidi mencapai 40,49 juta kiloliter. Jumlah ini pasti bertambah pada 2012 karena penjualan mobil tahun 2012 diduga mendekati 1 juta unit.
Hubungan produksi, termasuk impor BBM ini,dengan konsumsinya menunjukkan tidak mungkin membahas subsidi BBM tanpa mengkaji sistem kontrak produksi di hulu, industri hilir energi, sistem moda transportasi publik, industri keuangan dan industri automotif. Saya tidak bermaksud menyulitkan pembahasan. Tapi hanya dengan mengatakan kita net importer energi sebenarnya tidak menunjukkan good governance. Itu juga menunjukkan tidak patuh atas perintah konstitusi.
Lalu semuanya berteriak, subsidi BBM di APBN membengkak. Daripada dibakar percuma,lebih baik diberikan kepada yang berhak, yakni orang miskin.Kenapa mereka tidak berteriak bahwa pinjaman program dan proyek lebih menggerus APBN dibandingkan dengan subsidi energi dan pangan? Sudah lebih dari jari tangan saya menyampaikan perbandingan subsidi itu di hadapan orang-orang cerdas dan hebat. Mereka hanya diam, tidak membantah.Tapi tetap saja berteriak, subsidi BBM salah sasaran. Ini bukti kekerasan simbolik sudah terjadi.
Jika mereka bilang akan terjadi penghematan belanja sekitar Rp50 triliun,mereka lupa bahwa penghematan itu berarti biaya bagi masyarakat dan belanja itu berarti keuntungan bagi asing serta inflasi. Lalu apakah uraian di atas menunjukkan lingkaran setan kebijakan publik? Jawabannya, tidak! Suatu kebijakan publik pasti bermakna sebagai hukum besi, terlepas apakah kebijakan itu baik, benar atau tepat waktu atau tidak. Suatu kebijakan ekonomi selalu bermakna, siapa yang sesungguhnya lebih diuntungkan. Dalam perspektif ini sejak 4 September 2008 saya mengusulkan renegosiasi kontrak.
Bahkan sejak 2006 saya mengusulkan dibangunnya kilang minyak 300.000 ribu barel dan 1 juta kiloliter tangki penyimpanan. Usul saya akan meningkatkan ketahanan energi dari 21 hari menjadi 29 hari. Sisi lain, saya mengusulkan pembangunan infrastruktur kereta api dan industri pelayaran dan pelabuhan, bukan pembangunan jalan tol, termasuk bagaimana pengaturan industri automotif.
Tapi mereka lebih berkuasa ketimbang saya yang hanya mantan anggota DPR atau mantan staf khusus menteri atau sekadar narasumber kementerian dan lembaga pemerintahan. Mereka lupa, kebijakan ini justru merupakan sumber kegaduhan utama.Maka salah makna subsidi BBM adalah salah langkah penegakan konstitusi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar