Evolusi
Intensionalitas Politik
Nova Riyanti Yusuf, ANGGOTA KOMISI IX DPR RI DARI FRAKSI PARTAI
DEMOKRAT
Sumber
: SINDO, 9 Januari 2012
Sebuah program intensif yang sangat
menarik bertajuk“Enhancing Legislative Constituent Relations and Outreach”
pernah diselenggarakan Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat (AS).
Program ini dibiayai Pemerintah AS sebagai salah bentuk kerja sama hubungan bilateral kedua negara. Peserta pun terbatas,sesuai dengan selera Washington DC untuk memilih siapa yang akan menjadi saksi sistem politik AS di 5 kota besar dan kecil AS, yaitu dari pantai timur, pegunungan, hingga pantai barat. Di AS telah diberlakukan upaya integratif yang profesional dan transparan untuk menyediakan rumah aspirasi (district offices/DO) dengan postur anggaran cukup besar.
Misalnya, satu DO terletak di Washington DC dan 4 DO tersebar di daerah pemilihannya.Sementara di Indonesia, ide untuk mendirikan rumah aspirasi sudah almarhum setelah menjalani terapi berupa penolakan keras oleh berbagai elemen masyarakat (yang tersampaikan deras melalui media massa) sehingga upaya ini pun diurungkan. Namun dengan diurungkannya penganggaran khusus untuk rumah aspirasi, tidak sedikit anggota DPR RI yang mendirikan rumah aspirasi dengan mengorganisasi sendiri tanpa harus menengadahkan tangan untuk mendapatkan “subsidi tambahan” dalam upaya melakukan pendekatan (outreach).
Dengan langkah itu ia dapat menjalankan fungsi representatif secara sistematis dan responsif terhadap berbagai aspirasi yang disampaikan melalui rumah aspirasi tersebut. Pola berpikir gotong-royong juga dapat dirasakan pada saat seorang anggota parlemen di AS memperjuangkan undangundang tertentu.Kalangan masyarakat yang berkepentingan atas undang-undang tersebut melaksanakan fundraising atau penggalangan dana melalui asosiasi-asosiasi terkait untuk amunisi perjuangan.
Ada rasa memiliki di sana dan ada sebuah “sekutu” dalam kebaikan yang sifatnya juga tergambarkan di gedung parlemen negara lain, yaitu di Brasil. Oscar Niemeyer selaku arsitek mendesain gedung parlemen yang diapit oleh satu kubah menengadah dan satu kubah telungkup yang artinya memberi dan menerima.
Isu Distortif dan Volatile
Jika pemberitaan terkait rumah aspirasi termasuk substantif, tetapi tidak sedikit isu volatile yang mudah menguap lantas menghilang turut beredar. Tidak jarang sifatnya cukup distortif dan menyebabkan antiklimaks sehingga ada kalanya anggota DPR yang sedang menangani kasus serius harus tiba-tiba terhenyak dengan pertanyaan di luar domainnya yang justru mementahkan perjuangannya seperti pertanyaan seputar toilet.Apalagi notabene toilet dikatakan untuk-“nya”, padahal beredarnya angka renovasi toilet memang belum terverifikasi dan tidak pada tempatnya karena“ nyelonong” pada masa reses di mana semua anggota DPR turun ke daerah pemilihannya.
Media massa tidak punya pilihanlainkecualikreatifmenyajikan berita dari berbagai sudut pandang, termasuk dengan gaya serius, kritis konstruktif sehingga satire dan juga bernuansa komedi hitam. Media massa perlu berbangga hati karena peran mereka begitu besar untuk mendidik bangsa Indonesia sehingga tentunya ingin memberikan yang terbaik untuk masa depan generasi penerus bangsa Indonesia. Mengingat peran messianic media massa, jadi teringat pidato Franklin D Roosevelt pada saat mendeklarasikan perang dengan Jepang tanggal 9 Desember 1941.Roosevelt sukses menggiring AS untuk merasa antusias karena pidatonya.
Roosevelt pun sukses menarik pemilihnya untuk berangkat ke bilik pemilihan. Berita karismatik yang mampu memancing emosi positif—seperti upaya penyampaian Roosevelt dalam pidatonya—tentu akan menumbuhkan perasaan yang positif seperti semangat dan harapan. Sebab emosi sifatnya “menular” dan ini dibuktikan melalui penelitian yang disebut dengan sistem saraf “kaca” sehingga keresahan jiwa juga bisa muncul karena salah asupan.
Mindset dan Intensionalitas Politik
Dalam kesempatan kunjungan ke AS,saya berkunjung ke SMA Rio Americano di Sacramento,AS,dan berdialog dengan sekitar 50 murid SMA yang tergabung dalam program ekstrakurikuler pendidikan politik.
Sang guru menjelaskan bahwa sejak duduk di bangku SMP, tidak sedikit murid yang ikut dalam program ekstrakurikuler tersebut. Mereka digembleng setiap hari dengan pendidikan dasar tentang ilmu politik, public-speaking,melakukan kerja komunitas, dan menjalankan program magang untuk melihat langsung kerja politisi sehingga tidak bergantung murni pada pemberitaan media massa atau doktrin orang tua saja. Program komprehensif melalui jalur pendidikan formal sekolah mempertegas peran penting dari politisi sebagai ujung tombak pembuatan kebijakan di setiap negara.
Atas kesadaran ini, sedini mungkin diberikan medium pembinaan kepada generasi penerus bangsa agar terbentuk mindset yang tepat sehingga intensionalitas politik pun akan perlahan mengalami evolusi. Jalur politik jelas bukan jalur untuk menuju hedonisme duniawi. Harus ada dekonstruksi intensionalitas sehingga kelak saat memutuskan terjun ke dalam dunia politik, para pemuda/i memiliki intensionalitas politik yang tepat. Dan bahwa partai politik yang senantiasa menjamur seperti mal bukanlah semata “klub” untuk hang out atau berkumpul.
Titik berat jangan melulu pada partai politik sebagai mesin yang tidak punya roh dan nyawa dari para individu yang berada di dalamnya.Drew Westen dalam bukunya The Political Brain:The Role of Emotion In Deciding The Fate of The Nation menjelaskan tentang political intelligence yang merupakan konstelasi dari kualitas multidimensional.
Kesemuanya adalah kemampuan memanfaatkan emosi dengan tepat, empati, merasa nyaman dengan dirinya sendiri dan inteligensia. Kualitas-kualitas tersebut tidak terlahir instan,tetapi membutuhkan penggemblengan berupa pendidikan partisipasi politik sedini mungkin. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar