Menelisik
Akar Konflik Agraria
Sukirno, DOSEN HUKUM ADAT DAN ANTROPOLOGI HUKUM FH UNDIP
Sumber
: KOMPAS, 9 Januari 2012
Konflik lahan di Mesuji, baik di Kabupaten
Mesuji, Lampung, maupun di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, dan
terakhir di Bima, NTB, baru puncak gunung es. Masih banyak kasus konflik lahan
di Tanah Air yang tak terekam media.
Komnas HAM melalui komisionernya, Nur Kholis,
menyebutkan telah menerima 700-800 kasus konflik lahan antara perusahaan dan
masyarakat lokal. Berdasarkan data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN),
setidaknya pernah terjadi 530 konflik lahan di wilayah masyarakat adat.
Sementara Norman Jiwan dari Sawit Watch menyebutkan bahwa pihaknya telah
menangani 663 kasus sengketa antara perusahaan perkebunan sawit dan masyarakat.
Konflik yang muncul ke permukaan itu sebagian
besar karena perluasan perkebunan kelapa sawit yang semakin merajalela tanpa
memperhatikan lingkungan, ketahanan pangan, dan kesejahteraan masyarakat lokal.
Selain itu, ekstensifikasi sawit juga sudah merambah kawasan konservasi alam.
Berbagai konflik yang ada dapat
diidentifikasi dan diklasifikasi menjadi tiga macam konflik. Pertama, konflik
lahan antara masyarakat adat dan perusahaan perkebunan ataupun pengusahaan
hutan. Umumnya akibat ketidakjelasan status hukum tanah yang dikuasai oleh masyarakat
adat dalam kacamata hukum agraria nasional. Kedua, konflik lahan berkaitan
perambahan oleh masyarakat lokal ataupun pendatang. Ketiga, konflik yang
berkaitan dengan lingkungan hidup, berkaitan dengan penambangan yang
dikhawatirkan mematikan sumber air untuk pertanian.
Bertolak dari klasifikasi konflik tersebut,
akar konflik yang harus dibenahi setidaknya ada tiga. Pertama, ketegasan
pemerintah untuk mengakui tanah hak ulayat dalam peraturan perundangan tanpa
syarat tertentu. Kedua, pemerintah segera melaksanakan land-reform berupa
redistribusi tanah untuk petani gurem dan petani tanpa lahan. Ketiga, membangun
visi penambangan berwawasan lingkungan.
Perlindungan
Tanah Ulayat
Secara yuridis, tanah ulayat diakui dengan
syarat dalam Pasal 3 UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
(UUPA). Pemerintah mengakui setengah hati terhadap tanah hak ulayat karena
dilakukan dengan empat syarat, yaitu (1) sepanjang menurut kenyataannya masih
ada, (2) sesuai dengan kepentingan nasional, (3) berdasarkan atas persatuan
bangsa, (4) tidak boleh bertentangan dengan UU dan peraturan-peraturan lain
yang lebih tinggi.
Pengakuan secara kondisional terhadap
masyarakat hukum adat (MHA) dan hak-hak tradisionalnya juga terdapat dalam UUD
1945, khususnya Pasal 18 B Ayat (2). Pasal itu juga mengakui hak ulayat sebagai
bagian dari hak-hak tradisional MHA dengan empat syarat, yaitu (1) sepanjang
masih hidup, (2) sesuai perkembangan masyarakat, (3) sesuai prinsip NKRI, dan
(4) diatur dalam UU.
Pasal 3 UUPA kemudian dilaksanakan dengan
berpedoman pada Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional No 5/1999 (Permeneg Agraria No 5/1999) tentang Pedoman Penyelesaian
Masalah Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Dalam peraturan itu pengakuan terhadap
tanah ulayat juga tak mudah. Hanya sedikit daerah yang sudah melaksanakan
Permeneg tersebut dan mengakui keberadaan tanah hak ulayat.
Selain Badan Pertanahan Nasional, Kementerian
Kehutanan juga punya kriteria tersendiri mengenai MHA sebagai subyek tanah hak
ulayat. Kementerian Pertanian melalui UU No 18/2004, khususnya dalam penjelasan
Pasal 9 Ayat (2), juga punya kriteria yang berbeda. Demikian pula penjelasan
Pasal 6 Ayat (3) UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air serta Pasal 1 angka 31 UU
No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Melihat pengakuan dengan syarat dan setiap
instansi membuat peraturan sendiri-sendiri akan menimbulkan kebingungan dan
tabrakan kepentingan pada aras pelaksanaannya. Bukan hanya pada pemerintah
daerah, melainkan juga tabrakan antarinstansi pemerintah. Misalnya, banyak
pengusaha perkebunan kelapa sawit yang belum memiliki izin HGU sudah
mengoperasikan kebunnya hanya berbekal izin lokasi dan izin usaha dari
kabupaten (Kompas, 2 November 2009). Lebih parah lagi, banyak pemerintah daerah
tidak lagi mengakui keberadaan tanah hak ulayat.
Untuk menghindari klaim sepihak dari
investor, beberapa MHA dengan bantuan LSM mengadakan pemetaan partisipatif.
Inisiatif ini patut didukung karena hingga saat ini belum ada data dan peta luasan
penguasaan tanah yang akurat dan lengkap yang bisa dipakai sebagai acuan
tunggal. Setiap instansi pemerintah mempunyai peta sendiri-sendiri.
Redistribusi
Tanah
Penyerobotan lahan perkebunan oleh masyarakat
lokal dan perambahan hutan sebenarnya dipicu oleh ketiadaan lahan garapan bagi
petani gurem ataupun buruh tani. Solusi mengenai masalah ini sebenarnya sudah
digulirkan sejak adanya UUPA dengan land-reform dengan redistribusi tanah bagi
rumah tangga petani yang tidak memiliki lahan pertanian.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam
beberapa pidato juga mengatakan hal yang sama. Kenyataannya hingga kini program
itu tak jalan sehingga rakyat mencari jalannya sendiri dengan cara penyerobotan
dan perambahan hutan.
Para penyelenggara negara sepertinya sudah
lupa pada tujuan negara dan haluan negara yang tertuang dalam pembukaan dan
batang tubuh UUD 1945. Tujuan negara dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945
menyebutkan, antara lain, bahwa Pemerintah Negara Indonesia melindungi segenap
bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan melaksanakan keadilan
sosial berdasar Pancasila.
Realitas di lapangan menunjukkan semangat
materialisme dan kapitalisme semakin menghegemoni para pejabat negara. Mereka
tidak lagi melindungi, mengayomi, dan menyejahterakan rakyat, tetapi justru
mengingkari tugasnya. Rakyat dibiarkan berjuang hidup sendirian.
Wawasan
Lingkungan
Era otonomi daerah telah melahirkan salah
persepsi yang kebablasan. Sumber daya alam dan mineral dieksploitasi
serampangan. Kegiatan eksplorasi, eksploitasi, dan operasi pertambangan di
sejumlah daerah tak lagi peduli pada kelestarian lingkungan. Aktivitas
pertambangan yang tidak peduli restorasi, reklamasi, dan rehabilitasi ini
justru tidak dilarang oleh pemerintah daerah.
Peraturan perundang-undangan pun sudah dibuat
serapi-rapinya, baik dalam UU Mineral dan Batubara maupun UU Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun, lemah di tingkat implementasi dan
penegakan hukum. Tidak hanya di ranah eksekutif, di ranah yudikatif juga tidak
ada dukungan terhadap kelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.
Lengkap sudah rentetan masalah lingkungan hidup. Jika sudah begini, kepada
siapa rakyat mengadu? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar