Pasal
33, Freeport, dan Papua
Sri-Edi Swasono, GURU BESAR FAKULTAS EKONOMI UI
Sumber
: SINDO, 1 Januari 2012
Dasar hukum penanaman modal asing di
Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967.
Pada 1968, mahasiswa Indonesia di AS yang
tergabung dalam Permias dan dike- tuai Tony Agus Ardie menyambut positif UU No
1/1967. Bekerja sama dengan KBRI di Washington DC dan Konsulat Jenderal RI di
San Francisco, Permias mengadakan seminar ”Investment in Indonesia” untuk
mendorong pengusaha AS berinvestasi di Indonesia. Selaku Ketua Permias Cabang
Pittsburgh, saya menolak hadir. Merasa tak sreg. Insting saya: UU ini awal
kembalinya kapitalisme asing di Indonesia.
Mengapa UU No 1/1967 diteken Presiden
Soekarno, yang sebelumnya meneriakkan go to hell with your aid kepada
kapitalis-imperialis Barat, bahkan keluar dari keanggotaan di PBB?
Barangkali Presiden Soekarno ditekan atau
mungkin kompromistis karena Pasal 4, 5, dan 6 UU No 1/1967 masih menegaskan
bidang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak (Pasal 33 UUD
1945), yang secara eksplisit dinyatakan tertutup bagi modal asing, yaitu
pelabuhan; produksi, transmisi, dan distribusi listrik untuk umum,
telekomunikasi; pelayaran; penerbangan; air minum; kereta api umum; tenaga
atom; dan media massa.
Kemudian terbukti UU No 1/1967 menjadi awal
dominasi asing, ”dikasih hati, minta ampela pula”. Sejak 1982 merebak peraturan
perundang-undangan deregulasi ekonomi yang samar-samar melanggar Pasal 33 UUD
1945.
Selanjutnya PP No 20/1994 mulai terang-terangan
membabat nasionalisme ekonomi yang masih dipangku UU No 1/1967. Porsi pemilikan
saham Indonesia dicukupkan 5 persen dalam berpatungan dengan investor asing.
Indonesia sejak itu jadi lahan eksploitasi perusahaan asing.
Dan, 40 tahun kemudian, Tony Agus Ardie
selaku tokoh Kadin dan Hippi menolak RUU yang menyetarakan investor asing
dengan investor nasional. Kesetaraan sok imparsial ini justru diskriminatif
terhadap anak-negeri yang masih lemah. RUU itu jadi UU No 25/2007 yang
menggelar karpet merah buat investasi asing.
Catatan pribadi saya kepada Tony Agus Ardie
dan almarhum Hartojo Wignjowijoto tentang kehadiran Presiden Obama di Kampus UI
tahun lalu, ”Bung, meski saya tak bilang mereka mirip inlander, kalian dan saya
boleh heran, ketika Presiden Obama mengawali uluk salamnya ’Pulang kampung
nih’, kok mereka berlebihan bersorak-sorai kegirangan. Namun, tak semua ramah
murah macam itu. Ada sekelompok mahasiswa menyiapkan spanduk bertuliskan
’Please no double standard Mr Obama, your Freeport destroys our environment’.
Ini sopan dan intelektual.”
Kelengahan Ideologis
Derasnya investasi asing ke Indonesia memang
problematik. Dikaitkan dengan Pasal 33 UUD 1945, UU No 4/2009 tentang Mineral
dan Batubara tak sekadar mewajibkan para investor asing dalam pertambangan
mineral merenegosiasi kontrak kerja, tetapi juga wajib melaksanakan perintah
UU. UU No 4/2009 menyebutkan enam isu strategis: luas wilayah kerja,
perpanjangan kontrak, penerimaan negara, kewajiban divestasi, kewajiban
pengolahan dan pemurnian, serta kewajiban penggunaan barang dan jasa dalam
negeri.
Kontrak kerja generasi I tahun 1967 dengan PT
Freeport Indonesia (FI) diperbarui dengan kontrak kerja generasi II pada 1991.
Namun, pembaruan tak optimal keuntungannya bagi Indonesia. Kita lengah melulu.
UU No 4/2009 mengamanatkan perlunya negosiasi ulang kontrak semua perusahaan
tambang asing.
Saham PT FI 90,64 persen dikuasai Freeport
McMoran Copper and Gold dan 9,36 persen dikuasai Pemerintah Indonesia. Terkait
UU No 4/2009, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada akhir September
2011 mengakui 65 persen dari 118 perusahaan tambang setuju dan 35 persen masih
dalam tahap negosiasi, salah satunya PT FI yang terang-terangan ogah-ogahan.
Bahkan diberitakan, Direktur PT FI Armado Mahler dan Juru Bicara PT FI Ramdani
Sirait menegaskan tak ada yang salah dalam kontrak kerja: sudah cukup adil bagi
sesama pihak.
Kelengahan ideologis DPR dan pemerintah
sebagai pembuat UU plus rakusnya imperialisme korporasi PT FI, sebagai wujud
baru kolonialisme Eropa abad-abad lalu, tak saja telah mengakibatkan tak ber-
akhirnya kepedihan hidup dan ”keterting- galan” saudara-saudara kita di Papua,
tetapi juga merupakan pembiaran atas compang-campingnya kedaulatan negara.
Mestinya pemerintah malu telah lalai
menyejahterakan rakyat sendiri di sekitar lokasi pertambangan PT FI di
Pegunungan Ertsberg dan Grasberg yang superkaya logam mulia. Tindakan
ekstraordinari penyejahteraan dan pembahagiaan rakyat Papua harus segera
dibuktikan hasilnya. Kekerasan terhadap rakyat Papua harus distop. Salah
asuhkah aparat kita yang semena-mena melakukan kekerasan terhadap rakyat demi
apa dan demi siapa? SBY jadi sangat tak populer karena kelakuan aparat dan
pembiaran seperti ini.
Teringat pada pertemuan saya dengan PM Xanana
Gusmao pada 2010 di pesang- grahannya, saya menasihatinya mengemban doktrin
kemerdekaan nasional agar benar-benar menjadi master (tuan) di negeri sendiri.
Jawabnya, ”Tentu, jangan kita sekadar menjadi master of ceremony.”
Ia benar. Jangan kita hanya mengantar
tuan-tuan asing duduk di kursi VIP, mengedarkan daftar hidangan, mengobral SDA,
dan menyilakan memilih hutan mana, tambang apa, lahan di mana, serta
infrastruktur apa. Korupsi telah menyebar ke segala tingkat birokrasi pusat dan
daerah. Artinya, rezim merampok negara.
Meningkatkan Pemilikan Saham
Negosiasi ulang kontrak kerja harus
berdasarkan Pasal 33 UUD 1945. Kita tak anti-asing. Kita batasi investasi asing
agar tak mendominasi ekonomi nasional. Arah negosiasi ulang adalah meningkatkan
bertahap pemilikan saham untuk cabang produksi yang penting bagi negara:
minimal Indonesia 51 persen. Jadi, idiom ”dikuasai oleh negara” akan mangkus
terwujud.
Jangka waktu kontrak kerja dipendekkan,
mengakhiri model konsesi, lalu mengubahnya menjadi kontrak bagi hasil. Selama
kontrak kerja berjalan, royalti ditingkatkan dua kali lipat. Peran menentukan
manajer Indonesia ditingkatkan. Pengelolaan perusahaan dan proses produksi
harus transparan.
Mahkamah Konstitusi perlu lebih memahami roh
dan misi kemerdekaan Indonesia. Konstitusi tak sekadar rentetan kata-kata.
Kecanggihan jangan tereduksi sikap the King can do wrong. Komisi Hukum Nasional
harus proaktif nasionalistis. Demikian pula ISEI: tak berpang- ku tangan jadi
organisasi yang terkesan abai terhadap imperativisme ekonomi konstitusi. Jangan
sampai ISEI memilih berpedoman pada silabus ruang kelas yang penuh dengan
hegemoni akademis. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar