Proporsional
Terbuka vs Tertutup
Rusmin Effendy, TENAGA AHLI DPR RI
Sumber
: SUARA KARYA, 3 Januari 2012
Revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) No.10/2008 tentang Pemilihan
Umum Angota DPR, DPD, dan DPRD (Pemilu Legislatif) yang ditargetkan selesai
Maret 2012, tampaknya bakal menemukan banyak persoalan. Hingga saat ini,
fraksi-fraksi di DPR belum mencapai kesepakatan mengenai beberapa poin yang
dianggap krusial, antara lain besaran ambang batas parlemen (parliamentary
threshold/PT) antara 4-5 persen, alokasi kursi per daerah pemilihan antara 3-8
kursi, penggunaan sistem proporsional terbuka atau tertutup, mekanisme
penghitungan suara dan konversi alokasi kursi per dapil atau provinsi serta
penggunaan sistem contreng atau pencoblosan.Salah satu yang menarik dikaji
adalah wacana PDIP untuk kembali pada sistem proporsional tertutup (closed list
system) atau yang lebih populer disebut sistem nomor urut dari daftar calon
anggota legislatif (caleg).
Logika politik kembali ke sistem nomor urut ini dianggap lebih
demokratis ketimbang pelaksanaan sistem proporsional terbuka (open list system)
akibat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 22 dan 24/PUU-VI/2008 yang
mengabulkan permohonan uji materiil Pasal 214 UU No 10/2008 tentang Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, mengubah sistem Pemilu legislatif dari sistem proporsional
terbuka (Pasal 5 ayat 1 UU No 10 Tahun 2008) dengan suara terbanyak. Sayangnya,
putusan MK tersebut bukan merupakan terobosan politik yang pantas diapresiasi
sebagai wujud keterwakilan rakyat, karena putusan itu tidak serta merta diikuti
dengan pelaksanaan teknis bahkan menimbulkan kekosongan hukum pada proses
penetapan caleg berdasarkan suara terbanyak. Karena MK juga tidak menjelaskan
secara rinci apakah suara terbanyak dalam arti mayoritas atau pluralitas.
Jika suara terbanyak, dalam arti mayoritas menetapkan caleg
terpilih berdasarkan jumlah perolehan suara pemenang yang melebihi kombinasi
jumlah perolehan suara calon lain. Sedangkan pluralitas menetapkan caleg
terpilih berdasarkan jumlah perolehan suara pemenang melebihi jumlah suara tiap
calon. Akibatnya, putusan MK yang oleh sebagian kalangan dianggap sebagai wujud
keterwakilan rakyat justru menghasilkan Pemilu 2009 menjadi pemilu yang
terburuk dalam sepanjang sejarah karena banyak menyisakan persoalan
penghitungan kursi seperti sehingga melahirkan "kursi haram" para
wakil rakyat yang sampai sekarang tidak jelas penyelesaiannya. Terbuka Vs
Tertutup. Salah satu terobosan dari reformasi politik adalah pelaksanaan Pemilu
2004-2009, karena parpol telah menyaratkan pencalonan wakil rakyat yang dianggap
paling representatif melalui sistem proporsional terbuka (open list system)
dengan cara memberikan keleluasaan pada pemilih untuk memilih secara langsung
nama calon, sehingga dengan cara seperti itu diharapkan pemilih (rakyat) dapat
menentukan sendiri pilihannya sesuai yang diinginkan.
Oleh sebagian kalangan sistim proporsional terbuka dianggap paling
ideal sebagai wujud keterwakilan rakyat, menciptakan kompetisi antar sesama
caleg partai untuk bersaing, bahkan dianggap lebih demokratis di internal partai,
mengkikis sistem oligarki partai, dan mendapatkan calon terpilih yang lebih
akuntabel kepada konstituennya. Karena, melalui sistem ini hanya caleg yang
meraih dukungan rakyat penuh yang bisa duduk di kursi legislatif.
Kelemahan dari sistem proporsional terbuka justru tidak mendidik
masyarakat karena terbuka peluang praktik money politics, biaya kampanye yang
semakin mahal, menjadikan kader partai yang tidak memiliki idiologi serta
kepedulian terhadap partai. Juga, terjadinya persaingan antar caleg dan
berpotensi memicu konflik, baik antar caleg satu partai maupun caleg beda
partai serta kesulitan dalam rekapitulasi hasil pemilu. Sedangkan pada sistem
proporsional tertutup (closed list system) terjadi penguatan institusi partai,
proses rekrutmen caleg lebih terfokus bahkan bisa mengurangi persaingan yang
tidak fair antar caleg di satu partai maupun persaingan antar caleg dengan
partai lain.
Pengalaman Pemilu 2009, persaingan antar caleg cenderung liberal
(bebas) dan disinyalir menggunakan segala cara termasuk politik uang untuk
memperoleh suara terbanyak. Selain itu, sistem proporsional tertutup
dikhawatirkan memicu sikap apatis rakyat untuk ikut pemilu, karena sistem nomor
urut menyuburkan kolusi kader dengan pengurus partai. Peluang bagi orang baru di
partai untuk menjadi caleg tertutup.
Dengan demikian dapat dipahami, setiap sistem memiliki kelebihan
dan kelemahan. Sistem pemilu proporsional tertutup dengan mencontreng tanda
gambar partai atau sistem pemilu proporsional terbuka dengan mencoblos nama caleg
sama-sama memiliki keunggulan dan kelemahan. Namun, pengalaman membuktikan
sistem proporsional tertutup jauh lebih baik, jauh lebih demokratis. Ini bukan
hanya karena pertimbangan pragmatis, tapi juga idealisme, yakni nilai-nilai
demokrasi yang hendak dicapai. Sistem nomor urut memperkuat kepartaian,
memperkuat kaderisasi, mencegah korupsi dan kolusi yang lebih masif yang
langsung merugikan rakyat, dan membuat demokrasi lebih berkualitas. Yang paling
penting bagi rakyat adalah dalam penyusunan nomor urut caleg, faktor
kapabilitas dan integritas caleg benar-benar menjadi pertimbangan utama.
Perlu dicatat, di negara-negara yang dianggap paling demokratis
pun, tidak ada sistem pemilu yang sempurna mewujudkan keterwakilan rakyat.
Akhirnya, sistem apa yang hendak diadopsi sepenuhnya tergantung pada tujuan
akhir yang ingin dicapai dari pengambil kebijakan. Paling tidak, pelaksanaan
sistem pemilu dengan repsetentasi proporsional dianggap lebih adil dibandingkan
representasi mayoritarian karena perimbangan kursi yang diperoleh dalam pemilu.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar