Gus
Dur dan Penghormatan atas Perbedaan
Fajar Kurnianto, PENELITI
PUSAT STUDI ISLAM DAN KENEGARAAN (PSIK)
UNIVERSITAS PARAMADINA JAKARTA
Sumber
: SINAR HARAPAN, 2 Januari 2012
Tanggal 30 Desember, dua tahun lalu, KH
Abdurrahman Wahid, atau yang akrab disapa Gus Dur wafat. Seluruh elemen
masyarakat bangsa kehilangan salah satu putra terbaiknya yang telah berjuang
sepanjang hidupnya demi cintanya pada bangsa dan agamanya.
Spirit yang terus ia jaga warisan dari
mendiang kakeknya, KH Hasyim Asy’ari, tokoh pendiri Jam’iyah Nahdlatul Ulama
(NU). Ia telah menghadap Tuhan, tapi pemikirannya tentang keislaman dan
keindonesiaan akan terus membumi di negeri ini. Pemikiran yang didasari etos
penghormatan atas perbedaan.
Pemikiran Keislaman
Terkait dengan pemikiran keislaman Gus Dur,
beliau pernah mengatakan Islam itu ibarat hutan belantara. Dari jauh terlihat
seragam, satu warna, berwarna hijau, tapi jika dilihat lebih dekat ternyata ada
banyak pohon yang bermacam-macam.
Inilah gambaran Islam menurut Gus Dur; satu
nama, tapi ada beraneka ragam tafsir di dalamnya. Penafsiran tentang Islam
tidak homogen, tetapi heterogen. Semuanya dalam bingkai Islam, dan Islam
sesungguhnya memayungi heterogenitas tafsir tentangnya.
Dalam khazanah pemikiran Islam, setidaknya
ada dua model tafsir. Ada tafsir yang disebut dengan tafsir “bir ra’yi”, tafsir
yang menggunakan atau berdasarkan logika akal.
Ada pula tafsir yang disebut dengan tafsir
“bil ma’tsur”, tafsir yang berdasarkan pada teks-teks suci lainnya; menafsirkan
ayat Alquran dengan ayat Alquran lain, dengan hadis Nabi, perkataan sahabat
Nabi, pengikut sahabat (tabiin), dan pengikut tabiin (tabiut tabiin).
Dua model tafsir ini adalah kekayaan khazanah
Islam yang menurut Gus Dur harus dihargai. Tidak ada perlunya memaksakan satu
model tafsir atas model tafsir lainnya, karena secara metodologi memang
berbeda, dan tidak ada monopoli tafsir.
Gus Dur amat mengecam upaya-upaya pemaksaan
atas satu tafsir dan kemudian merasa tafsirnya paling benar. Ini karena
hakikatnya, masing-masing orang berbeda dalam sudut pandang dan pemikiran,
tidak mungkin dipaksa untuk ikut pada satu tafsir.
Pemaksaan terhadap satu tafsir menurut Gus
Dur adalah tindakan otoriter dalam beragama. Otoritarianisme dalam agama sama
tidak produktifnya dengan otoritarianisme dalam politik atau kehidupan
berbangsa dan bernegara yang pluralistik.
Masyarakat Islam sifatnya pluralistik dalam
hal pemahaman. Menurut Gus Dur, memaksakan agama pada orang yang berlainan
agama saja tidak boleh, apalagi memaksakan satu pemahaman pada tubuh masyarakat
Islam sendiri.
Gus Dur amat menjunjung tinggi pluralitas
pemahaman dalam masyarakat Islam. Pluralitas ini bukanlah halangan dan
penghambat dalam Islam, tetapi justru aset berharga untuk memajukan Islam dan
umat Islam.
Dalam pluralitas masyarakat Islam,
masing-masing pemahaman tentang Islam dihargai dan dijunjung tinggi. Dengan
pluralitas pemahaman yang dihargai ini, diskursus tentang Islam akan terus dan
semakin hidup, sehingga pemahaman atas Islam semakin inklusif, tidak eksklusif.
Islam hakikatnya bersifat inklusif, selalu
terbuka untuk ditafsirkan sesuai dengan perkembangan zaman, dengan tetap tidak
kehilangan roh sejatinya yang toleran dan menyampaikan pesan-pesan damai.
Pemikiran Keindonesiaan
Indonesia adalah bangsa yang pluralistik,
multikultural, multietnik, dan multiagama. Menurut Gus Dur, tugas kita semua,
terutama negara, adalah menjamin kehidupan yang multi ini agar tetap rukun,
damai, dan tidak terjadi konflik. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah
asas tunggal yang menjadi landasan bersama untuk itu.
Negara ini bukan negara agama, tetapi juga
bukan negara atheis. Artinya, agama melandasi kehidupan berbangsa dan bernegara
bukan dalam pengertian formalisme agama, tetapi agama menjadi roh kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Gus Dur sangat mengutamakan integrasi dan
persatuan bangsa di atas segalanya. Karena itu, segala upaya yang mengarah pada
disintegrasi bangsa harus dicegah. Gus Dur sangat membela kaum minoritas, salah
satu dasarnya adalah agar integrasi bangsa tetap terjaga.
Ini pemikiran cemerlang dari Gus Dur yang
hampir-hampir langka dipraktikkan para pemimpin di negeri ini, yang kebanyakan
lebih cenderung pada suara mayoritas. Etnis Tionghoa sangat berterima kasih
pada sosok Gus Dur yang memberikan kebebasan pada mereka untuk mempraktikkan
ibadah mereka secara tenang, hal yang tidak pernah terjadi pada masa rezim Orde
Baru.
Munculnya berbagai kelompok dalam masyarakat
Indonesia yang bergaris keras amat dikecam Gus Dur. Kelompok-kelompok ini
menurutnya tidak menguntungkan bangsa, tetapi justru merugikan bangsa secara
keseluruhan.
Menurut Gus Dur, mayoritas bukan untuk
menindas dan berbuat seenaknya sendiri. Mayoritas seharusnya melindungi dan
mengayomi minoritas.
Ini karena hakikatnya, semua berada dalam
lingkungan satu bangsa satu negara, Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
hak-haknya dijamin penuh. HAM dengan demikian amat dijunjung tinggi Gus Dur.
Setiap pelanggar HAM harus ditindak tegas, tanpa pandang bulu.
Saat ini, Indonesia sedang dan terus-menerus
membangun demokrasinya. Gus Dur sudah jauh-jauh hari memperjuangkannya, bahkan
ketika rezim Orde Baru berkuasa. Gus Dur yakin, hanya dengan Indonesia yang
semakin demokratis, kehidupan berbangsa dan bernegara akan jauh lebih baik dan
maju.
Kehidupan demokratis yang menjamin kebebasan
berpendapat, berkarya, dan bereskpresi, tanpa dihalang-halangi gaya rezim yang
otoriter. Falsafah Pancasila menyebutkan Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda
suku, agama, ras, dan agama tetapi tetap satu, yaitu Indonesia. Indonesia akan
tetap eksis jika demokrasi sejati hidup. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar