Senin, 02 Januari 2012

Gus Dur dan Penghormatan atas Perbedaan


Gus Dur dan Penghormatan atas Perbedaan
Fajar Kurnianto, PENELITI PUSAT STUDI ISLAM DAN KENEGARAAN (PSIK)
UNIVERSITAS PARAMADINA JAKARTA
Sumber : SINAR HARAPAN, 2 Januari 2012


Tanggal 30 Desember, dua tahun lalu, KH Abdurrahman Wahid, atau yang akrab disapa Gus Dur wafat. Seluruh elemen masyarakat bangsa kehilangan salah satu putra terbaiknya yang telah berjuang sepanjang hidupnya demi cintanya pada bangsa dan agamanya.

Spirit yang terus ia jaga warisan dari mendiang kakeknya, KH Hasyim Asy’ari, tokoh pendiri Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Ia telah menghadap Tuhan, tapi pemikirannya tentang keislaman dan keindonesiaan akan terus membumi di negeri ini. Pemikiran yang didasari etos penghormatan atas perbedaan.

Pemikiran Keislaman

Terkait dengan pemikiran keislaman Gus Dur, beliau pernah mengatakan Islam itu ibarat hutan belantara. Dari jauh terlihat seragam, satu warna, berwarna hijau, tapi jika dilihat lebih dekat ternyata ada banyak pohon yang bermacam-macam.

Inilah gambaran Islam menurut Gus Dur; satu nama, tapi ada beraneka ragam tafsir di dalamnya. Penafsiran tentang Islam tidak homogen, tetapi heterogen. Semuanya dalam bingkai Islam, dan Islam sesungguhnya memayungi heterogenitas tafsir tentangnya.

Dalam khazanah pemikiran Islam, setidaknya ada dua model tafsir. Ada tafsir yang disebut dengan tafsir “bir ra’yi”, tafsir yang menggunakan atau berdasarkan logika akal.
Ada pula tafsir yang disebut dengan tafsir “bil ma’tsur”, tafsir yang berdasarkan pada teks-teks suci lainnya; menafsirkan ayat Alquran dengan ayat Alquran lain, dengan hadis Nabi, perkataan sahabat Nabi, pengikut sahabat (tabiin), dan pengikut tabiin (tabiut tabiin).

Dua model tafsir ini adalah kekayaan khazanah Islam yang menurut Gus Dur harus dihargai. Tidak ada perlunya memaksakan satu model tafsir atas model tafsir lainnya, karena secara metodologi memang berbeda, dan tidak ada monopoli tafsir.
Gus Dur amat mengecam upaya-upaya pemaksaan atas satu tafsir dan kemudian merasa tafsirnya paling benar. Ini karena hakikatnya, masing-masing orang berbeda dalam sudut pandang dan pemikiran, tidak mungkin dipaksa untuk ikut pada satu tafsir.
Pemaksaan terhadap satu tafsir menurut Gus Dur adalah tindakan otoriter dalam beragama. Otoritarianisme dalam agama sama tidak produktifnya dengan otoritarianisme dalam politik atau kehidupan berbangsa dan bernegara yang pluralistik.

Masyarakat Islam sifatnya pluralistik dalam hal pemahaman. Menurut Gus Dur, memaksakan agama pada orang yang berlainan agama saja tidak boleh, apalagi memaksakan satu pemahaman pada tubuh masyarakat Islam sendiri.

Gus Dur amat menjunjung tinggi pluralitas pemahaman dalam masyarakat Islam. Pluralitas ini bukanlah halangan dan penghambat dalam Islam, tetapi justru aset berharga untuk memajukan Islam dan umat Islam.

Dalam pluralitas masyarakat Islam, masing-masing pemahaman tentang Islam dihargai dan dijunjung tinggi. Dengan pluralitas pemahaman yang dihargai ini, diskursus tentang Islam akan terus dan semakin hidup, sehingga pemahaman atas Islam semakin inklusif, tidak eksklusif.

Islam hakikatnya bersifat inklusif, selalu terbuka untuk ditafsirkan sesuai dengan perkembangan zaman, dengan tetap tidak kehilangan roh sejatinya yang toleran dan menyampaikan pesan-pesan damai.

Pemikiran Keindonesiaan

Indonesia adalah bangsa yang pluralistik, multikultural, multietnik, dan multiagama. Menurut Gus Dur, tugas kita semua, terutama negara, adalah menjamin kehidupan yang multi ini agar tetap rukun, damai, dan tidak terjadi konflik. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah asas tunggal yang menjadi landasan bersama untuk itu.

Negara ini bukan negara agama, tetapi juga bukan negara atheis. Artinya, agama melandasi kehidupan berbangsa dan bernegara bukan dalam pengertian formalisme agama, tetapi agama menjadi roh kehidupan berbangsa dan bernegara.
Gus Dur sangat mengutamakan integrasi dan persatuan bangsa di atas segalanya. Karena itu, segala upaya yang mengarah pada disintegrasi bangsa harus dicegah. Gus Dur sangat membela kaum minoritas, salah satu dasarnya adalah agar integrasi bangsa tetap terjaga.

Ini pemikiran cemerlang dari Gus Dur yang hampir-hampir langka dipraktikkan para pemimpin di negeri ini, yang kebanyakan lebih cenderung pada suara mayoritas. Etnis Tionghoa sangat berterima kasih pada sosok Gus Dur yang memberikan kebebasan pada mereka untuk mempraktikkan ibadah mereka secara tenang, hal yang tidak pernah terjadi pada masa rezim Orde Baru.

Munculnya berbagai kelompok dalam masyarakat Indonesia yang bergaris keras amat dikecam Gus Dur. Kelompok-kelompok ini menurutnya tidak menguntungkan bangsa, tetapi justru merugikan bangsa secara keseluruhan.

Menurut Gus Dur, mayoritas bukan untuk menindas dan berbuat seenaknya sendiri. Mayoritas seharusnya melindungi dan mengayomi minoritas.

Ini karena hakikatnya, semua berada dalam lingkungan satu bangsa satu negara, Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang hak-haknya dijamin penuh. HAM dengan demikian amat dijunjung tinggi Gus Dur. Setiap pelanggar HAM harus ditindak tegas, tanpa pandang bulu.

Saat ini, Indonesia sedang dan terus-menerus membangun demokrasinya. Gus Dur sudah jauh-jauh hari memperjuangkannya, bahkan ketika rezim Orde Baru berkuasa. Gus Dur yakin, hanya dengan Indonesia yang semakin demokratis, kehidupan berbangsa dan bernegara akan jauh lebih baik dan maju.

Kehidupan demokratis yang menjamin kebebasan berpendapat, berkarya, dan bereskpresi, tanpa dihalang-halangi gaya rezim yang otoriter. Falsafah Pancasila menyebutkan Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda suku, agama, ras, dan agama tetapi tetap satu, yaitu Indonesia. Indonesia akan tetap eksis jika demokrasi sejati hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar