Pimpinan
Daerah Pecah Kongsi
Ramlan Surbakti, GURU BESAR PERBANDINGAN POLITIK PADA FISIP UNAIR
Sumber
: KOMPAS, 9 Januari 2012
Pada 2010, hanya 6,15 persen dari 244
pasangan kepala dan wakil kepala daerah yang kembali mencalonkan diri
bersama-sama untuk masa jabatan berikutnya. Sementara 93,85 persen lainnya
tidak berlanjut (Kompas, 28 Desember 2011).
Tidak dijelaskan berapa dari 93,85 persen
pasangan itu maju lagi dengan pasangan berbeda, berapa persen salah satunya tak
mencalonkan, dan berapa persen keduanya tidak mencalonkan diri. Meski demikian,
memang dapat disimpulkan, pengunduran diri Wakil Bupati Garut Dicky Chandra dan
Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto hanya dua contoh dari fenomena umum pecah
kongsi (mengutip judul berita Kompas tersebut).
Faktor
Penyebab
Setidaknya ada dua penyebab pecah kongsi
tersebut. Pertama, proses pencalonan kepala dan wakil kepala daerah tidak
sejalan dengan sifat hierarkis kepemimpinan pemerintahan daerah.
Suatu partai atau gabungan parpol dapat
mengajukan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah jika memiliki
sekurang-kurangnya 15 persen kursi di DPRD atau sekurang-kurangnya 15 persen
suara sah dari pemilu anggota DPRD daerah tersebut. Hanya sedikit partai di
daerah yang memiliki kursi sekurang-kurangnya 15 persen dari kursi DPRD.
Karena itu, untuk memenuhi persyaratan
tersebut, tidak hanya parpol yang tidak memiliki kursi di DPRD saja yang harus
bergabung, tetapi juga partai yang memiliki sedikit kursi di DPRD. Suatu parpol
bersedia bergabung dalam pengajuan calon hanya apabila calon kepala dan wakil
kepala daerah ditentukan sebagai satu paket. Hal ini tidak lain karena partai
itu telah menerima ”sewa perahu” atau ”uang mahar” dari pasangan calon
tersebut.
Proses penentuan calon kepala daerah dan
calon wakil kepala daerah sebagai satu paket ini tidak saja menempatkan calon
wakil kepala daerah dalam ”kedudukan setara” dengan calon kepala daerah. Dalam
banyak hal, calon wakil kepala daerahlah yang menyebabkan mereka maju sebagai
pasangan calon dan terpilih sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Sebaliknya, kepemimpinan pemerintahan daerah
dalam bidang eksekutif secara normatif, di mana pun, memang hierarkis: kepala
daerah menempati posisi puncak (nomor satu), sedangkan wakil kepala daerah
posisi nomor dua. Kalau wakil kepala daerah yang berperan besar dalam pengajuan
sebagai pasangan calon dan keterpilihan, lalu sang wakil menuntut peran lebih
besar dari sekadar peran wakil kepala daerah, kepala daerah memandang tuntutan
seperti ini tidak saja bertentangan dengan undang- undang, tetapi juga ancaman
bagi kekuasaan dan peluangnya maju untuk periode berikut.
Penyebab kedua, baik kepala daerah maupun
wakilnya kurang memiliki kepemimpinan politik yang memadai. Kepemimpinan diarahkan
untuk mewujudkan visi, misi, dan program pengembangan daerah yang sudah
dijanjikan kepada para pemilih.
Kebanyakan kepala daerah di Indonesia
cenderung memahami dan mempraktikkan kepemimpinan sebagai konsentrasi dan
akumulasi kekuasaan pada dirinya. Berbagi tugas dan kewenangan dipandang
sebagai kehilangan wibawa. Padahal, dengan pendelegasian tugas dan kewenangan
kepada wakil kepala daerah dan bawahan yang lain tidak saja akan meningkatkan
kelancaran penyelenggaraan pemerintahan daerah, juga meningkatkan kewibawaan
kepala daerah.
Sebaliknya, wakil kepala daerah memahami dan
mempraktikkan kepemimpinan daerah bukan dalam rangka melaksanakan peran sebagai
orang kedua dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, melainkan sebagai pihak
yang paling ”berkeringat” dalam pencalonan dan keterpilihan. Karena itu, dia
menuntut agar diberi kekuasaan penuh atas sejumlah urusan. Kalau tuntutan ini
dipenuhi, niscaya akan terjadi ”matahari kembar” dalam mengurus daerah. Konon,
kekuasaan itu diperlukan sebagai sarana memperoleh pengganti uang yang telah
dikeluarkan dalam jumlah besar pada masa pencalonan.
Solusi
Guna mencegah pecah kongsi tersebut,
setidak-tidaknya tiga alternatif solusi ditawarkan oleh berbagai pihak.
Pertama, mengusulkan agar jabatan wakil kepala daerah ditiadakan. Tidak saja
karena UUD 1945 tidak menyebut jabatan wakil kepala daerah, juga jabatan itu
lebih banyak mudarat daripada manfaatnya.
Dua catatan perlu diajukan terhadap usul ini.
Pertama, kalau tidak disebutkan dalam UUD tak berarti melanggar konstitusi jika
UU menetapkan keberadaan jabatan wakil kepala daerah. Kedua, apakah fungsi
wakil kepala daerah ikut menciptakan pemerintahan daerah yang efektif?
Pasal 26 UU No 32/2004 tentang Pemerintahan
Daerah memberikan dua peran spesifik kepada wakil kepala daerah, yaitu Ayat (1)
Huruf b dan c untuk wakil gubernur dan Huruf b dan d untuk wakil bupati/wali
kota. Pasal itu menugasi wakil kepala daerah memberikan saran dan pertimbangan
tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada kepala daerah {Ayat (1)
Huruf e}; melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah jika kepala daerah
berhalangan {Ayat (1) Huruf g}; dan menggantikan kepala daerah sampai habis
masa jabatannya jika kepala daerah meninggal, berhenti, diberhentikan, atau tak
dapat melakukan kewajibannya selama enam bulan secara terus-menerus dalam masa
jabatannya (Ayat 3).
Dan, akhirnya, dua peran yang tidak spesifik
diberikan kepada wakil kepala daerah, yaitu Ayat (1) Huruf a dan f. Kedua peran
yang tidak disebutkan secara spesifik tersebut sehingga sangat bergantung pada
kepemimpinan kepala daerah adalah membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan
pemerintahan daerah dan melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lain yang
diberikan oleh kepala daerah.
Solusi kedua, pemerintah mengusulkan agar
calon wakil kepala daerah tidak dipilih melalui pemilihan umum, tetapi
ditetapkan oleh kepala daerah terpilih dari kalangan PNS yang memenuhi
persyaratan.
Tiga keberatan dapat diajukan terhadap usul
ini. Pertama, fungsi yang dilaksanakan oleh wakil kepala daerah, sebagaimana
dikemukakan di atas, termasuk kategori fungsi politik. Jabatan wakil kepala
daerah bukan jabatan karier berdasarkan keahlian dan pengalaman kerja,
melainkan jabatan politik atas dasar kepercayaan partai dan rakyat. Karena
jabatan wakil kepala daerah adalah jabatan politik, pencalonan dan pemilihan
wakil kepala daerah juga harus mengikuti proses politik yang demokratis.
Kedua, dewasa ini hanya tersedia dua jabatan
politik pada jajaran eksekutif daerah, yaitu kepala daerah dan wakil kepala
daerah. Selain kedua jabatan ini, diperlukan jenis jabatan politik lain berupa
political appointees, yaitu penjabat yang ditunjuk oleh kepala daerah (setelah
mendengarkan pendapat wakil kepala daerah). Penunjukan berdasarkan dua
kriteria: keahlian dalam salah satu atau lebih bidang pemerintahan daerah serta
secara politik mendukung visi, misi, dan program pengembangan daerah yang
ditawarkan pasangan tersebut kepada warga daerah pada masa kampanye.
Peran yang harus dilaksanakan oleh pemegang
jabatan politik ini adalah: (a) menjabarkan visi, misi, dan program
pengembangan daerah tersebut menjadi rancangan perda APBD dan nonAPBD untuk
diperjuangkan jadi perda; (b) menjabarkan perda yang disepakati dengan DPRD
jadi peraturan kepala daerah dan kebijakan kepala daerah lain; serta (c)
mengarahkan dan mengendalikan birokrasi daerah dalam melaksanakan perda,
peraturan kepala daerah, dan kebijakan daerah lain.
Ketiga, seorang pegawai negeri yang diangkat
sebagai wakil kepala daerah tak dapat menggantikan kepala daerah jika kepala
daerah berhalangan tetap. Pengisian jabatan politik oleh PNS bertentangan
dengan asas kedaulatan rakyat.
Mekanisme
Baru
Penulis sendiri mengusulkan solusi ketiga,
yakni agar calon wakil kepala daerah ditentukan oleh calon kepala daerah terlepas
dari pengaruh parpol. Parpol atau gabungan parpol hanya dapat mengajukan
seorang calon kepala daerah kepada KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota.
Dua ketentuan perlu diberlakukan pada
pengajuan calon ini. Pertama, hanya partai yang memenuhi ambang batas masuk
DPRD yang dapat mengajukan calon kepala daerah. Ambang batas masuk DPRD
provinsi diusulkan 2,5 persen dan ambang batas masuk DPRD kabupaten/kota 3,5
persen karena jumlah partai di DPRD kabupaten/kota dengan beberapa perkecualian
sebesar 13-22 partai. Partai yang tidak memenuhi ambang batas masuk (apalagi
tak memiliki kursi di DPRD) tidak dapat mengajukan calon kepala daerah.
Kedua, proses penentuan calon kepala daerah
dari setiap partai atau gabungan partai harus bersifat terbuka, kompetitif, dan
demokratis. Konkretnya, pengurus partai mempersiapkan sejumlah calon yang
dipandang tepat dari segi kepemimpinan dan keterpilihan. Para calon tersebut
dipersilakan berkompetisi untuk meyakinkan anggota partai agar memilihnya
sebagai calon dari partai tersebut.
Setelah ditetapkan secara resmi oleh KPU
provinsi atau KPU kabupaten/kota, calon kepala daerah kemudian menentukan dan
mengajukan calon wakil kepala daerah kepada KPU provinsi atau KPU
kabupaten/kota untuk maju bersama melalui pemilu.
Mekanisme pencalonan seperti itu tak saja
mencegah ”perasaan lebih berjasa” pada diri wakil kepala daerah, tetapi juga
jelas menempatkan calon wakil kepala daerah pada posisi nomor dua. Mekanisme
pencalonan wakil kepala daerah seperti ini sejalan dan sesuai pola kepemimpinan
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Namun, penentuan calon wakil kepala daerah
oleh calon kepala daerah saja tak cukup untuk mencegah pecah kongsi. Seorang
kepala daerah wajib memiliki kepemimpinan politik bukan sebagai konsentrasi dan
akumulasi kekuasaan, melainkan sebagai pendelegasian tugas dan kewenangan
kepada wakil kepala daerah dan jabatan lain demi efektivitas pemerintahan
daerah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar