Ancaman
Lain Kemandirian KPU
Saldi Isra, GURU BESAR HUKUM TATA NEGARA DAN DIREKTUR PUSAT STUDI KONSTITUSI
(PUSAKO) FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS, PADANG
Sumber
: KOMPAS, 9 Januari 2012
Putusan Mahkamah Konstitusi No
81/PUU-IX/2011, Rabu (4/1), menutup kesempatan bagi anggota partai politik
menjadi calon anggota Komisi Pemilihan Umum atau calon anggota Badan Pengawas
Pemilihan Umum. Jika hendak berkarier sebagai penyelenggara pemilu, kesempatan
diberikan bagi mereka yang mundur dari partai politik sekurang-kurangnya lima
tahun pada saat pendaftaran.
Dengan putusan itu, penyelenggara pemilu (KPU
dan Bawaslu) dikembalikan pada semangat Pasal 22E Ayat (5) UUD 1945 yang
menyatakan, pemilu diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang
mandiri. Keberanian menganulir anggota parpol membuktikan kemampuan MK menjaga
konstitusi dan demokrasi. Memberi ruang bagi parpol potensial mengancam
kemandirian penyelenggaraan pemilu.
Masalahnya, apakah pasca-putusan MK No 81/PUU-IX/2011
proses mendapatkan calon anggota penyelenggara pemilu lebih aman dari
kemungkinan ”gangguan” kekuatan politik di DPR? Pertanyaan ini menjadi penting
karena putusan MK lebih mengantisipasi kemungkinan ancaman setelah anggota
penyelenggara pemilu terpilih. Padahal, potensi serupa dapat pula muncul pada
tahapan seleksi.
Ancaman
di Hilir
Membaca secara cermat permohonan yang
diajukan Aliansi Masyarakat Amankan Pemilu (terdiri dari 23 organisasi dan 113
individu yang prihatin atas penyelenggaraan pemilu), muatan yang diuji ke MK
hanya mengantisipasi potensi ancaman setelah penyelenggara pemilu terbentuk,
terutama Pasal 11 Huruf i dan Pasal 85 Huruf i UU No 15/2011 tentang
Penyelenggara Pemilu. Secara substantif, pengujian hanya terkait dengan masalah
yang mungkin terjadi di tingkat hilir.
Kedua ketentuan ini memberikan ruang bagi
anggota parpol mencalonkan diri sebagai anggota KPU/Bawaslu sepanjang ia
mengundurkan diri saat mendaftar. Sesuai dalil pemohon, strategi mengundurkan
diri dari keanggotaan parpol saat mendaftar memiliki tujuan jelas, yaitu
menempatkan kader partai menjadi anggota penyelenggara pemilu dari tingkat
pusat sampai daerah. Tak hanya itu, keterlibatan partai sebagai penyelenggara
juga berakibat pada tak adanya kepercayaan (distrust) atas penyelenggaraan
pemilu.
Argumentasi yang dibangun oleh para pemohon
mendapat dukungan MK. Dalam pertimbangannya, MK menyatakan, untuk memutus
hubungan antara anggota yang mencalonkan dan partainya, perlu ditetapkan
tenggang yang patut dan layak sesuai prinsip kemandirian institusi
penyelenggara pemilu. Karena basis argumentasi itu, MK mengembalikan batas
waktu UU No 22/2007: telah mengundurkan diri sekurang-kurangnya lima tahun pada
saat mendaftar sebagai calon.
Ancaman
di Hulu
Masalah hilir lain yang juga dikabulkan MK
adalah Pasal 109 Ayat (4) Huruf c, Huruf d, dan Ayat (5) UU No 15/2011.
Substansi permohonan terkait dengan komposisi Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu (DKPP). Persoalan yang diuji, kehadiran satu orang utusan setiap partai
yang ada di DPR dan satu orang utusan pemerintah yang menjadi anggota DKPP.
Sama dengan orang partai di KPU/Bawaslu, unsur partai dan pemerintah di DKPP
potensial menyandera kemandirian penyelenggaraan pemilu.
Terkait hal itu, MK mempertimbangkan, jika
anggota DKPP diisi peserta pemilu jelas berpotensi menyandera kemandirian
penyelenggara pemilu. Karena itu, MK menyatakan anggota DKPP dari partai dan
pemerintah bertentangan dengan Pasal 22E Ayat (5) UUD 1945. Tak berhenti sampai
di situ, MK juga mengubah komposisi keanggotaan DKPP ”hanya” diisi satu orang
wakil KPU, satu orang wakil Bawaslu, dan lima tokoh masyarakat.
Banyak kalangan menyambut gembira putusan MK
itu. Namun, dengan membaca lebih jauh UU No 15/2011, ancaman terhadap
kemandirian KPU masih belum sepenuhnya lenyap. Ancaman lain yang tak pernah
dibicarakan dengan serius, tersedianya ruang bagi partai di DPR ”mengganggu”
proses seleksi calon anggota KPU/Bawaslu. Dalam batas tertentu, ancaman di hulu
tak kalah serius dibandingkan dengan potensi ancaman di hilir.
Ancaman ini dapat dibaca dalam Pasal 15 Ayat
(4) dan Pasal 89 Ayat (5) UU No 15/2011 yang memberi peluang bagi DPR menolak
sebagian dan/atau semua calon yang dipilih Tim Seleksi Calon Anggota KPU dan
Calon Anggota Bawaslu (Tim Seleksi). Apabila DPR menolak sebagian dan/atau
semua calon yang dihasilkan Tim Seleksi, presiden harus mengajukan kembali dua
kali lipat dari jumlah yang dibutuhkan. Apalagi, secara eksplisit dinyatakan,
pengajuan ulang calon anggota KPU/Bawaslu tak boleh berasal dari nama yang
telah diajukan ke DPR sebelumnya.
Beranjak dari pengalaman hasil Panitia
Seleksi Pimpinan KPK, secara jelas dapat dibaca bahwa sebagian besar kekuatan
partai DPR memiliki keinginan kuat menolak hasil pansel. Jika saat itu ada
aturan yang memungkinkan DPR menolak, hampir dapat dipastikan hasil pansel akan
ditolak oleh partai di DPR. Untungnya, tekanan publik mampu menahan keinginan
DPR menolak calon anggota KPK sehingga tak perlu dilakukan seleksi ulang.
Apabila diletakkan dalam mekanisme
kenegaraan, substansi Pasal 15 Ayat (4) dan Pasal 89 Ayat (5) UU No 15/2011
sangat tak menghargai posisi pemerintah. Karena calon anggota KPU/Bawaslu
didapatkan dari proses seleksi yang dilakukan sebuah tim independen, tak ada
alasan bagi DPR menolak nama yang diajukan presiden. Penolakan DPR hanya
dimungkinkan jika pemerintah mengajukan nama ke DPR tanpa proses seleksi.
Secara teoretis, dengan posisi KPU/Bawaslu
sebagai lembaga negara independen, proses pengisian tidak boleh dilakukan hanya
oleh satu lembaga. Untuk ini, presiden dan DPR terlibat dalam proses yang
saling membatasi. Karena itu, presiden hanya memiliki wewenang sebatas
menemukan calon dua kali dari yang dibutuhkan. Sementara itu, DPR dibatasi
hanya memilih calon yang diajukan presiden. Pengisian yang saling membatasi itu
menunjukkan bekerjanya mekanisme checks and balances dalam pengisian lembaga
negara independen.
Dengan adanya ancaman di tingkat hulu
tersebut, seharusnya Aliansi Masyarakat Amankan Pemilu membawa persoalan ini ke
MK. Sulit bagi kita membayangkan jika DPR benar-benar nekat menggunakan Pasal
15 Ayat (4) dan Pasal 89 Ayat (5) UU No 15/2011 untuk menolak hasil Tim
Seleksi. Selain tidak mudah menemukan calon yang memenuhi semua kriteria untuk
penyelenggaraan pemilu yang demokratis, ketentuan tersebut jelas menjadi
ancaman serius untuk kemandirian KPU/Bawaslu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar