Perbatasan
dan Integrasi Bangsa
M. Mas’ud Said, ANGGOTA
DEWAN PAKAR MASYARAKAT ILMU PEMERINTAHAN INDONESIA (MIPI), ASISTEN STAF KHUSUS
PRESIDEN BIDANG OTONOMI DAN PEMBANGUNAN DAERAH
Sumber : SINDO, 21 Januari 2012
Sebagai negara kepulauan terbesar di
dunia, Indonesia secara alamiah menghadapi persoalan krusial dalam menjaga
wilayah dan menjaga kecintaan masyarakat yang hidup di perbatasan terhadap
negerinya.
Dalam pandangan kredo tentara Nasional Republik Indonesia (TNI),“serangan atas suatu titik di wilayah Indonesia diartikan sebagai serangan kepada seluruh wilayah negara”. Secara teoritis dikatakan bahwa sebuah bangsa terwujud dan kuat apabila memiliki syarat apa yang disebut oleh Soekarno— mengikuti pendapat Ernest Renan—“le desire d’etre ensemble”atau kehendak akan bersatu.
Soekarno mengingatkan, syarat pendirian suatu bangsa yang didasarkan pada keinginan yang kuat dari setiap elemen masyarakat untuk bersatu. Keinginan bersatu itu bisa terpupuk maupun menipis bergantung pada seberapa jauh unsur negara, pemimpin lokal, dan manisnya pembangunan menghampiri mereka.
Kasus ‘Balkanisasi’ di Rusia tahun 90-an, gejala dan pengaruh Arab Spring,dan gejolak ketidakpuasan beberapa elemen masyarakat kita adalah pelajaran penting bagi keinginan untuk menjaga keutuhan dan memupuk kecintaan semua elemen masyarakat di pojokpojok negeri ini.
Kalahnya perebutan pulau Sipadan dan Ligitan dengan Malaysia maupun kasus pindahnya batas wilayah di Kalimantan Barat menambah data bahwa ada pekerjaan berat yang mestinya dilakukan, namun belum berhasil dilakukan pemerintah dan elemen penting bangsa lainnya.
Dalam laporan menteri koordinator bidang politik,hukum, dan keamanan saat acara rapat kabinet terbatas di Istana negara akhir tahun lalu dan uraian menko polkam pada kesempatan kerja dengan Komisi I DPR dikemukakan bahwa beberapa langkah pengamanan dan pengelolaan wilayah perbatasan secara geopolitik dan pendekatan geoekonomi sedang dan akan terus dilakukan.
Langkah-langkah itu untuk menjamin tegaknya hukum dan kedaulatan serta pembangunan ekonomi dan sosial sebagai perwujudan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Sovereignty
Setelah menghadapi kasus-kasus besar yang berkaitan dengan sengketa perbatasan, Indonesiaterus- menerus dihadapkan pada tantangan dan ancaman terhadap yurisdiksi dan sovereignty NKRI, baik yang dipicu oleh pihak luar maupun dari elemen bangsa Indonesia yang tidak puas dengan kebijakan pemerintah pusat.
Persoalan lebih krusial lagi kalau kita melihat bahwa ada jarak yang jauh antara cita-cita untuk melindungi bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia sebagaimana yang diamanatkan oleh founding fathers dalam PreambuleUUD 1945. Pertanyaannya, sudahkah daerah-daerah perbatasan terjaga dengan baik. Masihkah kita memandang bahwa beralihnya perbatasan baik karena kekalahan kita dalam diplomasi maupun faktor alamiah lainnya adalah ancaman serius bagi negara kita secara keseluruhan? Dalam konteks kelangsungan bangsa, sangatlah penting apa yang disebut dengan ‘mitos integrasi total’, yakni kesempurnaan keadaan harmonis tanpa konflik atau antagonisme, di mana setiap individu melebur dalam suatu komunitas yang lebih besar.
Harmoni dalam keadaan yang sempurna,tidak ada antagonisme atau konflik, sulit diwujudkan tanpa desain integrasi bangsa. Selanjutnya Ian Chalmers mencatat bahwa setidaknya sampai pada masa akhir-akhir ini masih terdapat gejala fragmentasi dan ancaman terhadap bentuk negara kesatuan.
Dikemukakan bahwa Indonesia kini sedang menghadapi apa yang dia sebut sebagai ancaman fragmentasi. Dia bahkan menyebut kondisi kekinian itu akan bisa menentukan kelanjutan dan masa depan bentuk negara kesatuan. Pembahasan tentang kerawanan dan ancaman terhadap wilayah terluar Indonesia sangat relevan untuk diperhatikan.
Terlebih mengingat bahwa ringkih dan kokohnya wilayah perbatasan akan berpengaruh besar terhadap nasionalisme, integrasi, dan keutuhan penduduk di wilayah perbatasan yang pada akhirnya memengaruhi kondisi kontemporer dan tegaknya wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Selama beberapa saat yang panjang telah terjadi gerusan negatif yang memengaruhi kecintaan terhadap negeri yang berpengaruh pada berkurang atau bertambahnya rasa nasionalisme. Beberapa penelitian awal yang penulis lakukan mengisyaratkan telah terjadi benih-benih kekecewaan terhadap pemerintah pusat lantaran mereka merasa sering dikunjungi pejabat dengan berbagai janji,namun janji itu tidak terwujud secara nyata.
Perhatian
Ketika penulis mengadakan tatap muka dan diskusi dengan beberapa tokoh di Kecamatan Sekayam dan Kecamatan Entikong,Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Malaysia dua tahun lalu, mereka berujar, “Daerah kami ini sangat sering dikunjungi pejabat pusat,mulai presiden,menterimenteri, sampai pimpinan dan anggota DPR, namun setelah rencana-rencana disiapkan, tak kunjung dilaksanakan.
” Kita memang belum menyimpulkan bahwa semua daerah perbatasan rawan. Memang belum bisa disimpulkan bahwa ada benih keinginan untuk bergabung dengan negara tetangga dan berpisah dari NKRI.
Namun, data-data dan serangkaian kejadian yang terjadi selama ini cukup memberi pesan kuat agar pemerintah mengintensifkan lagi Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP) dan peran aktif Kementerian Luar Negeri yang didukung TNI.
Sesungguhnya sejak 2008 terjadi perubahan pandangan bahwa pulau-pulau terluar dan daerah perbatasan bukan lagi dianggap sebagai beranda belakang yang kurang penting. Namun,pemerintah sudah memiliki paradigma baru bahwa mereka adalah beranda terdepan kita yang harus lebih diperhatikan sehingga perlu percepatan pembangunan .
Fragmentasi sebuah bangsa bisa saja berasal dari intervensi asing, namun kebanyakan yang terjadi di berbagai belahan dunia saat pemerintahan modern, fragmentasi itu bisa saja dari daerah perbatasan yang ‘merasa dianaktirikan’ atau secara alamiah sulit mendapatkan hak-hak dasar mereka sebagai warga bangsa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar