Jumat, 20 Januari 2012

Penyingkiran Partai Berbasis Agama

Penyingkiran Partai Berbasis Agama
Fernita Darwis, KETUA BAPPILU DPP PPP,
PENULIS BUKU “PEMILIHAN SPEKULATIF, MENGUNGKAP FAKTA SEPUTAR PEMILU 2009
Sumber : SINDO, 20 Januari 2012


Pembahasan RUU Pemilu yang merupakan revisi UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,DPD, dan DPRD, sedang bergulir. Berbagai hal mulai dibicarakan di kalangan Komisi II,Pansus RUU Pemilu DPR dan Pemerintah.

Di antaranya tentang parliamentary threshold (PT), alokasi kursi, daerah pemilihan (dapil), dan sistem pemilu. Poin-poin ini seolah-olah merupakan hal yang paling penting dalam pembahasan RUU Pemilu. Padahal kalau dicek lebih jauh apa pun keputusan terkait PT, alokasi kursi, dapil, dan sistem pemilu tidak akan meminimalisasi kecurangan pemilu yang mewarnai pemilupemilu sebelumnya terutama pada Pemilu 2009.

Perdebatan yang mengemuka mengenai revisi UU Pemilu sebenarnya tak lebih dari pertarungan antara fraksi besar dan fraksi kecil atau fraksi partai sekuler yang akan menyingkirkan faksi partai berbasis Islam di DPR. Fraksifraksi besar ingin menekan dan menghadang agar fraksi-fraksi yang dukungan suaranya di bawah 5% tidak masuk parlemen. Manuver fraksi besar itu tentu tidak sehat.

Pada Pemilu 2009 perolehan suara partai politik berbasis agama (Islam) itu memang di sekitar 5%.Pertanyaannya,apa jadinya kalau di sebuah negara demokrasi di Indonesia ini di mana jumlah penduduknya seluruhnya adalah penduduk yang beragama dan agama mayoritas adalah Islam jika di parlemennya sama sekali tidak ada fraksi partai politik berbasis agama (Islam) yang mewakilinya? Padahal Indonesia sebagai negara demokrasi harus menjadikan agama dan Pancasila sebagai basis kekuatan moral dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Keliru

Sebagai catatan sejarah bangsa Indonesia,sejak negeri ini berdiri yaitu sejak Pemilu 1955, parpol berbasis agama selalu berperan. Pada pemilu pertama ini parpol yang berperan signifikan di antaranya adalah parpol berbasis agama (Islam tradisional, Islam moderat, dan Kristen).Walaupun juga ikut berperan parpol sekuler (Marhaen, sosialis, nasional militan) begitu juga pada pemilu-pemilu berikutnya.

Maka jika RUU Pemilu yang sedang dibahas untuk persiapan Pemilu 2014 yang akan datang terjadi sebuah peristiwa tersingkirnya parpol berbasis agama dari parlemen adalah sebuah goresan sejarah yang membuat penghuni Senayan menjadi sepenuhnya dikuasai parpol sekuler. Ketentuan mengenai masalah PT,misalnya,5% atau 3%, atau 2,5%, apakah ini akan mengurangi kecurangan pemilu?

Saya kira tidak. PT itu sendiri tidak ada hubungannya dengan meningkatkan legitimasi keterpilihan seorang anggota dewan. Maka sudah tepatkah wacana PT dinaikkan jadi 5%? Adapun argumen bahwa ketentuan PT ini diberlakukan untuk mewujudkan penyederhanaan partai politik dan memperkecil jumlah fraksi di DPR, ini jelas sangat keliru.PT jelasjelas tak ada hubungannya dengan penyederhanaan parpol.

Ketentuan soal parpol sudah diatur dalam UU No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dengan segala aturan yang memperketat pendirian sebuah parpol. Ketentuan mengenai memperkecil jumlah fraksi di DPR itu mekanismenya bukan lewat UU Pemilu, melainkan cukup diatur dalam UU MPR, DPR,DPD,DPRD misalnya dengan membuat aturan minimal jumlah anggota dalam satu fraksi sehingga fraksi di DPR menjadi lebih sederhana.

Penerapan PT pada Pemilu 2009 justru menimbulkan masalah yang mengakibatkan hilangnya sekitar 18 juta suara yang merupakan perolehan suara partai politik nonparlemen. Hilangnya suara ini sudah mencederai sistem proporsional (disproporsional) yang juga inkonstitusional karena ketentuan UUD 1945 yang menjamin kedaulatan rakyat dan persamaan kedudukan di depan hukum dan pemerintahan menjadi diabaikan.

Poin berikutnya yang juga krusial adalah alokasi kursi dan daerah pemilihan, dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) DPR mengusulkan alokasi kursi 3-10 untuk setiap dapil berbeda dengan DIM pemerintah yang mengusulkan alokasi kursi 3-6 per dapil. Sekalipun DPR dalam DIM-nya sudah memuat alokasi kursi 3-10, wacana yang berkembang tiap fraksi mengusulkan alokasi yang berbeda.

Sebagian mewacanakan memperkecil dapil agar hubungan konstituen lebih dekat dengan wakilnya. Ini pun jelas keliru karena kedekatan konstituen dengan wakilnya tidaklah hanya diperuntukkan pada perwakilan DPR RI, tapi juga ada yang diperuntukkan pada DPRD. Mengutip pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa kepemimpinan sudah dibagi habis mulai dari tingkat daerah hingga tingkat pusat,pada tingkat kabupaten/ kota ada DPRD kabupaten/ kota dan bupati/wali kota,tingkat provinsi ada gubernur dan DPRD provinsi, dan tingkat pusat ada presiden dan DPR RI.

Kepemimpinan tiap tingkatan tersebut itu tentu representasi dari konstituen di setiap tingkatan yang punya kedekatan hubungan antara konstituen dan wakil secara proximity (kedekatan daerah), namun hubungan itu secara kualitas tetap harus ditingkatkan. Memperkecil alokasi kursi DPR dalam pembahasan RUU Pemilu ini juga akan menimbulkan disproporsional yang mengarah pada inkonstitusional.

Dalam sistem proporsional, salah satu sifatnya adalah menonjolkan representasi/keterwakilan yakni dukungan suara atau jumlah suara yang terkonversi menjadi kursi dalam jumlah yang representatif.Alokasi kursi yang kecil maka daerah pemilihan semakin banyak sehingga kecamatan pun menjadi representasi kursi untuk DPR RI sehingga akan terjadi under representation & over representation.

Alokasi kursi bahkan semakin kecil yang berdampak pada semakin banyak dapil ini pun akan menimbulkan pemborosan anggaran pemilu yang merugikan masyarakat pemilih. Bertambah dapil maka bertambah pula jenis surat suara yang sudah pasti memakan biaya yang tidak sedikit. Dapat disimpulkan bahwa poin-poin krusial tentang hal yang diperdebatkan dalam RUU Pemilu ini jauh dari upaya mengurangi tingkat kecurangan seperti yang terjadi pada Pemilu 2009.

Sebaiknya pembahasan RUU Pemilu lebih banyak mengedepankan kepentingan pemilih, persoalan logistik agar efisien dan efektif, dan pemilu yang jujur dan adil yang bebas dari kecurangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar