Indonesia
Tanah Airku
Soegeng Sarjadi, PENDIRI SOEGENG SARJADI SYNDICATE
Sumber : KOMPAS, 20 Januari 2012
Betapa prihatin saya menyaksikan kegaduhan
politik akhir-akhir ini. Banyak politisi dan kaum pergerakan terjebak pada
pandangan sempit dan pendek. Seolah-olah Indonesia hanya terdiri atas sejengkal
tanah dan seember air.
Mereka gaduh untuk masalah-masalah yang
sebenarnya sepele, seperti renovasi ruang rapat Badan Anggaran DPR, toilet, dan
parkir motor di DPR. Akan tetapi, mereka tidak gaduh untuk mempersiapkan
Indonesia menjadi negara adidaya pada masa depan. Padahal, Tanah Air memberikan
sumber kemakmuran bagi seluruh anak bangsa.
Dengan bahasa lain, silakan DPR membuat ruang
rapat yang mewah, tetapi jangan korupsi! Penekanan untuk tidak korupsi itulah
yang seharusnya digaduhkan secara simultan dengan tuntutan untuk membuat
strategi besar pembangunan nasional.
Dengan segala kegaduhan yang berlangsung
selama ini, penulis menganggap bahwa para politisi kita secara umum melihat
Tanah Air sebatas susunan ribuan pulau yang dilintasi garis khatulistiwa. Tanah
Air hanya dilihat dari posisinya yang terletak di antara Samudra Hindia dan
Samudra Pasifik, dan diapit oleh Benua Asia dan Australia serta batasan-batasan
fisik yang lain.
Padahal, seperti dinyatakan Daoed Joesoef,
”Indonesia Tanah Airku” (ini judul asli artikel beliau, mantan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan) juga mencakup suatu kemauan, usaha, dan ruang gerak
transisi ke arah penyempurnaan tempat setiap orang seharusnya hidup bahagia.
Absennya Visi Berbangsa
Kegaduhan politik seperti yang sekarang ini
terjadi, yang di dalamnya didominasi praktik korupsi seperti kasus Nazaruddin,
sebenarnya sudah bisa diperkirakan jauh-jauh hari.
Ketika banyak pengusaha memasuki ranah
politik dan ikut bertempur merebut posisi eksekutif dan legislatif serta ketua
umum partai, kebajikan (virtue) politik bergeser dari medan pertempuran yang
seharusnya berlandaskan tebalnya cita-cita dan ketulusan hati untuk mengabdi
kepada rakyat menjadi sekadar tebalnya dana yang dimiliki. Di sini berlaku
hukum milik para saudagar, yaitu setiap kepala bisa dibeli!
Sebagai pelaku usaha, saya memahami betul
kuatnya syahwat tersebut. Ia pasti merangsek ke mana saja: ke setiap celah dan
simpul-simpul yang lemah, termasuk ke jajaran eksekutif, legislatif, dan
yudikatif.
Dalam konteks ini, selama ini kesalahan
cenderung ditimpakan kepada eksekutif, utamanya presiden. Sementara itu, riil
politik yang berlaku adalah penyelenggaraan negara berjalan semi-parlementer.
Seharusnya parlemen juga harus memikul tanggung jawab pada setiap kebijakan
yang diambil pemerintah, dan tidak meributkan masalah-masalah yang tidak
mendasar, seperti renovasi toilet dan moratorium koruptor.
Semua itu menunjukkan absennya visi berbangsa
pada elite politik pada umumnya. Salah satu penyebabnya adalah kuatnya
cengkeraman karakter pragmatis pengusaha pada ranah politik.
Padahal, ”Indonesia Tanah Airku” saat ini,
dengan produk domestik bruto (PDB) sekitar 800 miliar dollar Amerika Serikat,
sudah menempati posisi ke-16 dalam kelompok negara G-20. Suatu capaian yang
dari segi magnitude-nya rasanya mustahil dapat diraih Malaysia dan Singapura
yang sering kita puji. Apabila PDB tersebut merangkak naik menjadi 1.000 miliar
dollar AS atau lebih, pintu gerbang menuju negara adidaya dipastikan terbuka
lebar.
Seharusnya di situlah visi anak bangsa
ditancapkan. Dengan konstruksi seperti itu, republik ini seharusnya tidak geger
berkepanjangan siang dan malam hanya untuk, misalnya, kasus Bank Century yang
melibatkan uang sebesar Rp 6,7 triliun.
Indonesia tidak akan kiamat hanya karena
masalah tersebut. Indonesia juga tidak akan kiamat karena renovasi ruang rapat
mewah di DPR. Apabila seluruh energi disatukan, dari tekad dan kecerdasan anak
bangsa sampai pada kemampuan ekonomi dan kekuatan militer, visi kejayaan global
Tanah Airku seperti era Sriwijaya dan Majapahit pasti akan kembali terengkuh.
Adalah menyedihkan ketika mesin ekonomi jalan
seperti sekarang, kita tidak tertantang untuk memerangi kemiskinan dan
pengangguran yang masih membelit bangsa ini. Seharusnya seluruh komponen bangsa
tinggal mematok kebijakan yang tepat dan pasti sehingga problem kemiskinan dan
pengangguran akan terseret dan mengempis dengan sendirinya.
Keberanian untuk mematok kebijakan seperti
memupus subsidi premium, misalnya—yang dibarengi dengan program aksi yang
menjamin rakyat miskin bukan saja tidak terdampak, tetapi justru hidup akan
lebih baik—adalah tantangan yang harus segera dijawab.
Keputusan itu bisa menghemat sekitar Rp 130
triliun per tahun. Dana sebesar itu bisa dialokasikan untuk mendorong
pembangunan infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan usaha ekonomi produktif
rakyat. Jika praksis itu yang berlaku, kekhawatiran akan terjadinya
instabilitas politik lebih bersifat utopis daripada realistis.
Catatan Akhir
Hal yang harus diwaspadai dari absennya visi
berbangsa dan bernegara adalah apabila ”kue” pembangunan menjadi semakin besar.
Ini akan mengancam kelangsungan hidup Tanah Airku.
Mengapa? Karena tikus-tikus koruptor yang
bergerombol di banyak tempat dengan jubah politisi dan penegak hukum, untuk
menyebut beberapa contoh, pasti akan rebutan untuk mendapatkannya. Oleh sebab
itu, mereka harus dibuat jera dengan undang-undang pembuktian terbalik atau
bahkan dekrit presiden.
Dengan semua langkah itu, setiap anak bangsa
ikut meletakkan satu batu bata untuk membangun Indonesia adidaya: Indonesia
Tanah Airku! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar