Impor
Pangan yang Mencemaskan
Khudori, PEGIAT ASOSIASI EKONOMI POLITIK INDONESIA (AEPI); ANGGOTA POKJA AHLI
DEWAN KETAHANAN PANGAN PUSAT (2010-2014)
Sumber
: SINDO, 1 Januari 2012
Dalam pelbagai diskusi, saya sering ditanya
bagaimana kondisi pertanian pangan Indonesia. Saya menjawab, secara agregat
kinerja sektor pertanian menggembirakan.
Selama puluhan tahun neraca perdagangan
pertanian selalu surplus. Tahun lalu nilainya 18,537 miliar dollar AS atau Rp
166,83 triliun (kurs Rp 9.000 per dollar AS). Surplus terjadi karena membaiknya
kinerja subsektor perkebunan, terutama kelapa sawit. Sebaliknya, neraca
subsektor tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan negatif. Kinerja ketiga
subsektor itu jauh dari menggembirakan.
Dari ketiganya, defisit paling mencemaskan
terjadi di subsektor tanaman pangan dan peternakan. Tahun 2009, defisit
terbesar terjadi di subsektor tanaman pangan. Akan tetapi, tahun 2010 dengan
defisit 3,505 miliar dollar AS, peternakan menggeser posisi subsektor tanaman
pangan (3,416 miliar dollar AS).
Dengan demikian, di luar impor hortikultura,
impor pangan dan produk peternakan justru paling mencemaskan. Tahun lalu,
defisit subsektor hortikultura 1,197 miliar dollar AS. Kalaupun tahun ini impor
meledak (Kompas, 5-6/12/2011), nilainya tak akan melampaui impor tanaman pangan
atau peternakan.
Impor Pangan
Tahun ini, impor pangan tetap mengalir deras.
Pada semester I-2011 (BPS), impor pangan mencapai 6,35 miliar dollar AS, naik
18,7 persen dari periode yang sama tahun lalu (5,35 miliar dollar AS). Impor
meliputi beras, kedelai, jagung, biji gandum, tepung terigu, gula pasir, gula
tebu, daging, mentega, minyak goreng, susu, telur unggas, kelapa, kelapa sawit,
lada, kopi, cengkeh, kakao, cabai kering, tembakau, dan bawang merah. Dari cakupannya,
tampak betapa luasnya komoditas pangan impor ini. Tanpa kita sadari, negeri
agraris yang klaimnya kaya sumber daya alam ternyata pangannya bergantung pada
impor.
Padahal, dari sisi produksi, Indonesia salah
satu negara penghasil sejumlah pangan utama dunia. Menurut Organisasi Pangan
dan Pertanian (FAO), untuk peringkat 1-5 dunia, cakupannya meliputi cengkeh
(nomor 1), kelapa sawit (1), palem kernel (1), kapuk randu dan kapuk serat (1),
kelapa (1), daun bawang (1), vanili (1), lada (2), karet alam (2), kakao (2),
kacang hijau (2), beras (3), pala dan kapulaga (3), gula (3), jahe (3), alpukat
(3), telur burung (3), cabai dan paprika (4), kopi (4), singkong (4), pepaya,
mangga, manggis, jambu (4), bayam (5), tembakau (5), dan kacang mete (5).
Untuk sejumlah komoditas pangan penting,
ketergantungan kita makin akut dan belum ada tanda-tanda membaik. Sampai kini
kita belum bisa keluar dari ketergantungan impor susu (70 persen dari
kebutuhan), gula (30 persen), garam (50 persen), gandum (100 persen), kedelai
(70 persen), daging sapi (30 persen), induk ayam, dan telur.
Logikanya, impor dilakukan apabila produksi
domestik tidak mencukupi kebutuhan. Menjadi pertanyaan: mengapa kita mengimpor
beras, cengkeh, kelapa sawit, kelapa, lada, pala, karet alam, kopi, dan kakao.
Bukankah produksi beras, cengkeh, kelapa sawit, kelapa, lada, pala, karet alam,
kopi, dan kakao surplus? Mengapa ada aliran impor dari luar negeri? Mengapa
arus impor justru mengalir semakin deras?
Masalahnya memang tidak pada produksi
berlebih atau surplus, tetapi pada kebijakan yang tidak memihak. Dalam kasus
beras, misalnya, kebijakan yang ada, terutama kebijakan perdagangan, tidak
hanya bersifat anomali, tetapi juga lebih pro-impor.
Salah satu anomali adalah kebijakan impor
beras (lagi), yang tahun ini kuotanya 1,6 juta ton. Meskipun beleid itu
dibungkus argumen untuk menjaga stok beras nasional, publik—terutama
petani—pasti bingung. Soalnya, Juli lalu BPS merilis produksi padi pada 2011
diperkirakan 68 juta ton gabah kering giling (GKG), yang kemudian direvisi
menjadi 65,4 juta ton. Dengan rendemen gabah 57 persen dan tingkat konsumsi 139
kilogram per kapita, masih ada surplus 3 juta-3,5 juta ton beras. Cukup untuk
sebulan konsumsi.
Jika benar surplus, seharusnya tidak perlu
impor beras, seperti periode November 2010-Maret 2011 yang tercatat 1,95 juta
ton. Apakah instrumennya tidak tepat atau basis akademik dan landasan teorinya
tidak lagi mutakhir? Atau ada perburuan rente ekonomi superbesar di balik
beleid itu? Publik tidak mendapatkan informasi pasti.
Komplikasi Kebijakan
Publik justru disuguhi debat kusir komplikasi
kebijakan antarsektor: Kementerian Perdagangan versus Kementerian Pertanian.
Kementerian Pertanian yakin surplus dan tidak setuju impor beras, tetapi
Kementerian Perdagangan bersikap sebaliknya: mendorong impor. Ada apa di balik
beleid impor ini?
Selain komplikasi kebijakan, pangan impor
mengalir karena pintu penghalang lemah. Misalnya, sesuai kerangka Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO), Indonesia menotifikasi tarif bea masuk impor komoditas
yang dilindungi. Bea masuk beras, gula, dan susu masing-masing 9-160 persen,
40-95 persen, dan 40-120 persen. Namun, gara-gara liberalisasi agresif lewat
aneka perjanjian perdagangan bebas (FTA), bea masuk beras dan gula hanya 30
persen dan susu 5 persen. Bahkan, bea masuk kedelai dan jagung 0 persen.
Padahal, di WTO bea masuk yang dicatatkan 30-40 persen dan 9-40 persen.
Sebetulnya Indonesia masih memiliki
keleluasaan menerapkan bea masuk guna melindungi pasar dan produk petani
domestik. Namun, lagi-lagi perlindungan itu diobrak-abrik arus liberalisasi
lewat berbagai FTA. Indonesia percaya, perdagangan antarnegara yang tanpa
hambatan akan bermanfaat bagi setiap negara lewat spesialisasi komoditas
unggul. Padahal, itu hanya teori.
Dalam praktiknya, liberalisasi lewat FTA
justru berdampak negatif pada pasar domestik. Ini terjadi karena distorsi harga
akibat subsidi negara maju tidak dibahas efektif dalam FTA, termasuk pemaksaan
petani miskin untuk mengikuti standar kebersihan internasional (sanitary and
phytosanitary, UNDP, 2005).
Adalah ceroboh mengintegrasikan perekonomian
dengan perekonomian regional dan global tanpa memperkuat perekonomian nasional
lebih dulu. Kita telah mengikatkan diri dengan berbagai regulasi FTA, tetapi
integrasi ekonomi nasional tak dibenahi. Bagaimana mungkin produk kita bersaing
jika praktik ekonomi biaya tinggi masih mendera.
Bagaimana mungkin produk dari Sumatera Barat
bisa bersaing di Jakarta dengan produk serupa dari luar negeri kalau ongkos
angkut Padang-Jakarta 600 dollar AS per kontainer, sedangkan dari Singapura ke
Jakarta 185 dollar AS per kontainer. Bagaimana mungkin jeruk pontianak bisa
bersaing dengan jeruk dari China kalau ongkos angkut dari China ke Jakarta
lebih murah daripada ongkos angkut dari Pontianak ke Jakarta.
Pemerintah agresif meliberalisasikan pasar
dan perekonomian, tetapi abai membangun jaring pengaman pasar. Regulasi
Sertifikat Nasional Indonesia (SNI) dan label berbahasa Indonesia, misalnya,
tak pernah ditegakkan dan dengan sanksi tegas.
Rakyat, terutama petani, dibiarkan berjibaku
cari selamat sendiri. Makin ironis lagi karena barang-barang yang terdesak di
pasar domestik adalah hasil produksi dari industri kita yang punya keunggulan
komparatif. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar