Senin, 02 Januari 2012

Impor Pangan yang Mencemaskan


Impor Pangan yang Mencemaskan
Khudori, PEGIAT ASOSIASI EKONOMI POLITIK INDONESIA (AEPI); ANGGOTA POKJA AHLI DEWAN KETAHANAN PANGAN PUSAT (2010-2014)     
Sumber : SINDO, 1 Januari 2012


Dalam pelbagai diskusi, saya sering ditanya bagaimana kondisi pertanian pangan Indonesia. Saya menjawab, secara agregat kinerja sektor pertanian menggembirakan.
Selama puluhan tahun neraca perdagangan pertanian selalu surplus. Tahun lalu nilainya 18,537 miliar dollar AS atau Rp 166,83 triliun (kurs Rp 9.000 per dollar AS). Surplus terjadi karena membaiknya kinerja subsektor perkebunan, terutama kelapa sawit. Sebaliknya, neraca subsektor tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan negatif. Kinerja ketiga subsektor itu jauh dari menggembirakan.

Dari ketiganya, defisit paling mencemaskan terjadi di subsektor tanaman pangan dan peternakan. Tahun 2009, defisit terbesar terjadi di subsektor tanaman pangan. Akan tetapi, tahun 2010 dengan defisit 3,505 miliar dollar AS, peternakan menggeser posisi subsektor tanaman pangan (3,416 miliar dollar AS).

Dengan demikian, di luar impor hortikultura, impor pangan dan produk peternakan justru paling mencemaskan. Tahun lalu, defisit subsektor hortikultura 1,197 miliar dollar AS. Kalaupun tahun ini impor meledak (Kompas, 5-6/12/2011), nilainya tak akan melampaui impor tanaman pangan atau peternakan.

Impor Pangan

Tahun ini, impor pangan tetap mengalir deras. Pada semester I-2011 (BPS), impor pangan mencapai 6,35 miliar dollar AS, naik 18,7 persen dari periode yang sama tahun lalu (5,35 miliar dollar AS). Impor meliputi beras, kedelai, jagung, biji gandum, tepung terigu, gula pasir, gula tebu, daging, mentega, minyak goreng, susu, telur unggas, kelapa, kelapa sawit, lada, kopi, cengkeh, kakao, cabai kering, tembakau, dan bawang merah. Dari cakupannya, tampak betapa luasnya komoditas pangan impor ini. Tanpa kita sadari, negeri agraris yang klaimnya kaya sumber daya alam ternyata pangannya bergantung pada impor.

Padahal, dari sisi produksi, Indonesia salah satu negara penghasil sejumlah pangan utama dunia. Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), untuk peringkat 1-5 dunia, cakupannya meliputi cengkeh (nomor 1), kelapa sawit (1), palem kernel (1), kapuk randu dan kapuk serat (1), kelapa (1), daun bawang (1), vanili (1), lada (2), karet alam (2), kakao (2), kacang hijau (2), beras (3), pala dan kapulaga (3), gula (3), jahe (3), alpukat (3), telur burung (3), cabai dan paprika (4), kopi (4), singkong (4), pepaya, mangga, manggis, jambu (4), bayam (5), tembakau (5), dan kacang mete (5).

Untuk sejumlah komoditas pangan penting, ketergantungan kita makin akut dan belum ada tanda-tanda membaik. Sampai kini kita belum bisa keluar dari ketergantungan impor susu (70 persen dari kebutuhan), gula (30 persen), garam (50 persen), gandum (100 persen), kedelai (70 persen), daging sapi (30 persen), induk ayam, dan telur.

Logikanya, impor dilakukan apabila produksi domestik tidak mencukupi kebutuhan. Menjadi pertanyaan: mengapa kita mengimpor beras, cengkeh, kelapa sawit, kelapa, lada, pala, karet alam, kopi, dan kakao. Bukankah produksi beras, cengkeh, kelapa sawit, kelapa, lada, pala, karet alam, kopi, dan kakao surplus? Mengapa ada aliran impor dari luar negeri? Mengapa arus impor justru mengalir semakin deras?

Masalahnya memang tidak pada produksi berlebih atau surplus, tetapi pada kebijakan yang tidak memihak. Dalam kasus beras, misalnya, kebijakan yang ada, terutama kebijakan perdagangan, tidak hanya bersifat anomali, tetapi juga lebih pro-impor.

Salah satu anomali adalah kebijakan impor beras (lagi), yang tahun ini kuotanya 1,6 juta ton. Meskipun beleid itu dibungkus argumen untuk menjaga stok beras nasional, publik—terutama petani—pasti bingung. Soalnya, Juli lalu BPS merilis produksi padi pada 2011 diperkirakan 68 juta ton gabah kering giling (GKG), yang kemudian direvisi menjadi 65,4 juta ton. Dengan rendemen gabah 57 persen dan tingkat konsumsi 139 kilogram per kapita, masih ada surplus 3 juta-3,5 juta ton beras. Cukup untuk sebulan konsumsi.

Jika benar surplus, seharusnya tidak perlu impor beras, seperti periode November 2010-Maret 2011 yang tercatat 1,95 juta ton. Apakah instrumennya tidak tepat atau basis akademik dan landasan teorinya tidak lagi mutakhir? Atau ada perburuan rente ekonomi superbesar di balik beleid itu? Publik tidak mendapatkan informasi pasti.

Komplikasi Kebijakan

Publik justru disuguhi debat kusir komplikasi kebijakan antarsektor: Kementerian Perdagangan versus Kementerian Pertanian. Kementerian Pertanian yakin surplus dan tidak setuju impor beras, tetapi Kementerian Perdagangan bersikap sebaliknya: mendorong impor. Ada apa di balik beleid impor ini?

Selain komplikasi kebijakan, pangan impor mengalir karena pintu penghalang lemah. Misalnya, sesuai kerangka Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Indonesia menotifikasi tarif bea masuk impor komoditas yang dilindungi. Bea masuk beras, gula, dan susu masing-masing 9-160 persen, 40-95 persen, dan 40-120 persen. Namun, gara-gara liberalisasi agresif lewat aneka perjanjian perdagangan bebas (FTA), bea masuk beras dan gula hanya 30 persen dan susu 5 persen. Bahkan, bea masuk kedelai dan jagung 0 persen. Padahal, di WTO bea masuk yang dicatatkan 30-40 persen dan 9-40 persen.

Sebetulnya Indonesia masih memiliki keleluasaan menerapkan bea masuk guna melindungi pasar dan produk petani domestik. Namun, lagi-lagi perlindungan itu diobrak-abrik arus liberalisasi lewat berbagai FTA. Indonesia percaya, perdagangan antarnegara yang tanpa hambatan akan bermanfaat bagi setiap negara lewat spesialisasi komoditas unggul. Padahal, itu hanya teori.

Dalam praktiknya, liberalisasi lewat FTA justru berdampak negatif pada pasar domestik. Ini terjadi karena distorsi harga akibat subsidi negara maju tidak dibahas efektif dalam FTA, termasuk pemaksaan petani miskin untuk mengikuti standar kebersihan internasional (sanitary and phytosanitary, UNDP, 2005).

Adalah ceroboh mengintegrasikan perekonomian dengan perekonomian regional dan global tanpa memperkuat perekonomian nasional lebih dulu. Kita telah mengikatkan diri dengan berbagai regulasi FTA, tetapi integrasi ekonomi nasional tak dibenahi. Bagaimana mungkin produk kita bersaing jika praktik ekonomi biaya tinggi masih mendera.

Bagaimana mungkin produk dari Sumatera Barat bisa bersaing di Jakarta dengan produk serupa dari luar negeri kalau ongkos angkut Padang-Jakarta 600 dollar AS per kontainer, sedangkan dari Singapura ke Jakarta 185 dollar AS per kontainer. Bagaimana mungkin jeruk pontianak bisa bersaing dengan jeruk dari China kalau ongkos angkut dari China ke Jakarta lebih murah daripada ongkos angkut dari Pontianak ke Jakarta.

Pemerintah agresif meliberalisasikan pasar dan perekonomian, tetapi abai membangun jaring pengaman pasar. Regulasi Sertifikat Nasional Indonesia (SNI) dan label berbahasa Indonesia, misalnya, tak pernah ditegakkan dan dengan sanksi tegas.

Rakyat, terutama petani, dibiarkan berjibaku cari selamat sendiri. Makin ironis lagi karena barang-barang yang terdesak di pasar domestik adalah hasil produksi dari industri kita yang punya keunggulan komparatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar