Opera
Hukum Moratorium Remisi
Ridwan Widyadharma, ADVOKAT DI SEMARANG, DOSEN MATA KULIAH
PROFESSIONAL RESPONSIBILITY FAKULTAS HUKUM UNDIP DAN FAKULTAS HUKUM UNIKA SOEGIJAPRANATA
Sumber
: SUARA MERDEKA, 9 Januari 2012
DALAM rapat kerja Komisi III DPR
dengan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) membahas seputar remisi bagi
koruptor, terjadilah opera hukum yang tidak berkesudahan. Wakil Ketua Komisi
Bidang Hukum itu, Azis Syamsudin menghardik Wamenkumham Denny Indrayana yang
lagi berbisik dengan Amir Syamsuddin (Tempo, 12-18/12/11). Moratorium versi
Denny itu banyak menuai kritik, termasuk pandangan dari peneliti pada Pusat
Kajian Antikorupsi UGM Hifdzil Alim yang menyatakan moratorium itu secara
formal keliru lantaran melanggar UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
(SM, 11/12/11).
Ada pula yang berpendapat bahwa moratorium itu bertentangan dengan hukum positif dan konvensi internasional. Bahkan permasalahan tersebut akan memasuki babak baru, terkait dengan kehadiran interpelasi mengenai kebijakan tersebut oleh DPR.
Opera tentang moratorium remisi bagi koruptor, yang termasuk opera hukum itu pasti akan terjadi lewat hadirnya keangkuhan petinggi Kemenkumham yang tidak menggalang pendapat melalui musyawarah untuk memecahkan masalah tetapi justru melalui uraian kontraproduktif. Simak saja, Denny malah menyilakan DPR. ’’Interpelasi itu hak DPR. Namun saya yakin (DPR) sebagai wakil rakyat juga memahami bahwa aspirasi rakyat sangat besar pada kebijakan ini.’’ (SM, 11/12/11).
Permasalahan bakal lebih kompleks jika dukungan yang digalang atas interpelasi itu mengecambah dan membuncah, membuka arena baru pandangan pemikiran apakah DPR itu betul-betul wakil rakyat atau suara rakyat? Atau pandangan Denny memiliki kemampuan dengan mengetengahkan secara sosiologi bahwa kebijakan itu didukung seluruh rakyat?
Ada pula yang berpendapat bahwa moratorium itu bertentangan dengan hukum positif dan konvensi internasional. Bahkan permasalahan tersebut akan memasuki babak baru, terkait dengan kehadiran interpelasi mengenai kebijakan tersebut oleh DPR.
Opera tentang moratorium remisi bagi koruptor, yang termasuk opera hukum itu pasti akan terjadi lewat hadirnya keangkuhan petinggi Kemenkumham yang tidak menggalang pendapat melalui musyawarah untuk memecahkan masalah tetapi justru melalui uraian kontraproduktif. Simak saja, Denny malah menyilakan DPR. ’’Interpelasi itu hak DPR. Namun saya yakin (DPR) sebagai wakil rakyat juga memahami bahwa aspirasi rakyat sangat besar pada kebijakan ini.’’ (SM, 11/12/11).
Permasalahan bakal lebih kompleks jika dukungan yang digalang atas interpelasi itu mengecambah dan membuncah, membuka arena baru pandangan pemikiran apakah DPR itu betul-betul wakil rakyat atau suara rakyat? Atau pandangan Denny memiliki kemampuan dengan mengetengahkan secara sosiologi bahwa kebijakan itu didukung seluruh rakyat?
Sah-sah saja timbul spekulasi pendapat bahwa
benarkah ucapan Denny dapat dan bisa mengatasnamakan suara rakyat.
Padahal wakil rakyat di DPR yang menjadi suara rakyat resmi hasil pilihan
rakyat pula, berseberangan pendapat dengan Denny. Ancaman interpelasi DPR versi
Ahmad Yani dan kawan-kawan di Komisi III, akhirnya membuahkan hasil. Dicecar interpelasi
DPR, Menkumham pun menyerah, dan bersedia merevisi kebijakan moratorium remisi
itu. (JP, 15/12/2011).
Kita harus memperhatikan esensi Pasal 14 Huruf I UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang menyebutkan secara jelas bahwa narapidana berhak mendapatkan pengurangan masa pidana. Tidak ada satu pun teks dalam regulasi itu yang bisa ditafsirkan ada pengecualian.
Regulasi itu cukup lugas menyebutkan bahwa narapidana berhak atas remisi, sebagaimana bisa kita lihat pada derivat-derivatnya. Misalnya Pasal 14 Ayat i: berhak mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi); Ayat j: mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga; Ayat k:mendapatkan pembebasan bersyarat; Ayat l: mendapatkan cuti menjelang bebas; dan Ayat m: mendapatkan hak-hak lain sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Terkait dengan revisi kebijakan itu, kita perlu memahami bahwa lingkup persoalannya ada pada korelasi narapidana dengan pemasyarakatan, yang berarti dalam lingkup hukum pemasyarakatan, bukan berat ringannya hukuman. Terlebih lagi negara kita tidak lagi mengenal penjara tetapi pemasyarakatan.
Hakikat utama pembinaan pemasyarakatan bertumpu pada doktrin bahwa napi itu menyadari kesalahan, mau memperbaiki diri, tidak mengulangi perbuatan, dan dapat kembali diterima oleh lingkungan masyarakatnya. Jadi, pemidanaan sejatinya adalah proses menyadarkan napi agar menyesali perbuatannya, dan (lembaga) pemasyarakatan memiliki peran mengembalikan dia supaya menjadi warga negara yang baik.
Kita harus memperhatikan esensi Pasal 14 Huruf I UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang menyebutkan secara jelas bahwa narapidana berhak mendapatkan pengurangan masa pidana. Tidak ada satu pun teks dalam regulasi itu yang bisa ditafsirkan ada pengecualian.
Regulasi itu cukup lugas menyebutkan bahwa narapidana berhak atas remisi, sebagaimana bisa kita lihat pada derivat-derivatnya. Misalnya Pasal 14 Ayat i: berhak mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi); Ayat j: mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga; Ayat k:mendapatkan pembebasan bersyarat; Ayat l: mendapatkan cuti menjelang bebas; dan Ayat m: mendapatkan hak-hak lain sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Terkait dengan revisi kebijakan itu, kita perlu memahami bahwa lingkup persoalannya ada pada korelasi narapidana dengan pemasyarakatan, yang berarti dalam lingkup hukum pemasyarakatan, bukan berat ringannya hukuman. Terlebih lagi negara kita tidak lagi mengenal penjara tetapi pemasyarakatan.
Hakikat utama pembinaan pemasyarakatan bertumpu pada doktrin bahwa napi itu menyadari kesalahan, mau memperbaiki diri, tidak mengulangi perbuatan, dan dapat kembali diterima oleh lingkungan masyarakatnya. Jadi, pemidanaan sejatinya adalah proses menyadarkan napi agar menyesali perbuatannya, dan (lembaga) pemasyarakatan memiliki peran mengembalikan dia supaya menjadi warga negara yang baik.
Persoalan narapidana jangan menjadi komoditas
politik dan kekuasaan mengingat pemidanaan adalah upaya menyadarkan napi
kembali menjadi orang baik dan santun, bukan ajang balas dendam. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar