Ban
Serep dan Korupsi
Gunarto, WAKIL REKTOR II UNISSULA SE-MARANG, DOSEN
MAGISTER ILMU HUKUM
Sumber
: SUARA MERDEKA, 9 Januari 2012
HUKUM dan politik: barangkali dua
entitas itu yang paling banyak berpengaruh dalam sejarah peradaban manusia.
Politik menyangkut sistem penataan kekuasaan dan kebijakan terhadap kehidupan
sosial, sedangkan hukum terkait dengan aturan dan landasan yang mengaturnya.
Tidak berlebihan jika kemudian muncul adagium negara demokrasi akan kuat
manakala didukung sistem hukum yang juga kuat. Adagium ini seolah ingin
menegaskan bahwa sistem kekuasaan dengan segala otoritas yang melekat sangat
berisiko bagi terjadinya penyimpangan (tend to corrups) jika tidak dipagari
penataan mekanisme hukum yang mengatur secara pasti dan berkeadilan.
Dalam panggung sejarah, pertautan antara hukum dan politik yang terbangun secara dialektis mampu melahirkan sebuah tatanan kemajuan. Sebaliknya, jika keduanya diperselingkuhkan maka memunculkan tirani yang berakibat rusaknya tatanan kehidupan sosial; ketidakadilan, kesewenang-wenangan, makar, dan pertarungan kekuasaan yang tidak berujung.
Ada baiknya, adagium ini kita kontekstualisasikan dalam kenyataan praktis pada dimensi historis bangsa kita yang sedang menata sistem demokrasi. Di satu sisi, ada kehendak penataan demokrasi berbasis landasan hukum. Tetapi di pihak lain, muncul kecenderungan menjadikan instrumen hukum sebagai alat pertarungan kekuasaan.
Dalam panggung sejarah, pertautan antara hukum dan politik yang terbangun secara dialektis mampu melahirkan sebuah tatanan kemajuan. Sebaliknya, jika keduanya diperselingkuhkan maka memunculkan tirani yang berakibat rusaknya tatanan kehidupan sosial; ketidakadilan, kesewenang-wenangan, makar, dan pertarungan kekuasaan yang tidak berujung.
Ada baiknya, adagium ini kita kontekstualisasikan dalam kenyataan praktis pada dimensi historis bangsa kita yang sedang menata sistem demokrasi. Di satu sisi, ada kehendak penataan demokrasi berbasis landasan hukum. Tetapi di pihak lain, muncul kecenderungan menjadikan instrumen hukum sebagai alat pertarungan kekuasaan.
Sejak konsensus demokrasi mengharuskan kepala
daerah atau kepala pemerintahan dipilih secara langsung sesuai dengan UU Nomor
32 Tahun 2004, komposisi kekuasaan secara yuridis menempatkan kepala daerah dan
wakil kepala daerah sebagai dwitunggal pemerintahan di daerah.
Sayang, undang-undang tidak mengatur secara sistematis soal distribusi dan pendelegasian kewenangan sehingga memberi kesan dwitunggal itu tak ubahnya terminologi kosong karena nyatanya tidak ada pembagian otoritas dan pendistribusian kewenangan di antara keduanya. Otoritas dan kewe-nangan sepenuhnya bersifat bulat dan melekat pada kepala daerah, bukan wakil kepala daerah, sehingga secara peran sang wakil laksana ban serep.
Pembagian Kewenangan
Sebagai ban serep, wakil kepala daerah bisa berfungsi manakala diberi kewenangan atau kepala daerah berhalangan tetap sebagaimana diatur UU Nomor 32 Tahun 2004 itu. Baik berhalangan tetap karena meninggal dunia, sakit permanen, mengundurkan diri atau karena melanggar hukum yang dituntut hukuman 5 tahun penjara atau lebih. Ketika itu terjadi maka potensi sang wakil menggantikan posisi dan peran kepala daerah menjadi terbuka.
Di sinilah yang kemudian membuka ruang disharmonitas dan tak jarang menjadi senjata untuk menggantikan posisi kepala daerah. Faktanya, banyak kepala daerah yang berkesan dijerumuskan dalam kasus hukum dan berakhir dengan hilangnya jabatan. Dalam konteks Jawa Tengah saja, kasus itu muncul di beberapa kabupaten, seperti Brebes (2007-2012), Tegal (2008-2013), Cilacap (2007-2012), Purworejo (2006-2011), Semarang (2005-2010), dan Kendal (2005-2010). Periode itu adalah masa ’’sukses’’ peralihan kekuasaan setelah kepala daerah tergiring dalam problem hukum menjadi terpidana kasus korupsi.
Karena itu, mengacu pada semangat demokrasi dan roh yang terbangun dalam spirit UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sangat penting kiranya memikirkan distribusi dan pembagian kewenangan antara kepala dan wakil kepala daerah, dengan prinsip keadilan tugas dan otoritas, sekaligus untuk meminimalisasi kemungkinan perpecahan dwitunggal tersebut.
Setidak-tidaknya, pendistribusian kewenangan akan memberikan dampak pada beberapa hal. Pertama; ada tugas pokok dan fungsi jelas di antara keduanya sehingga tidak menimbulkan benturan dalam menjalankan roda pemerintahan. Bukankah dwitunggal ini dipilih secara bersama-sama oleh masyarakat dalam satu paket sistem demokrasi?
Kedua; meminimalisasi konflik kepentingan yang mungkin timbul karena masing-masing tugas dan kewenangan yang berbeda-beda. Ketiga; jika peran dan fungsi itu dapat berjalan secara efektif, maka roda pemerintahan akan berjalan pada relnya. Dengan demikian kepentingan masyarakat dapat terlayani dengan baik. ●
Sayang, undang-undang tidak mengatur secara sistematis soal distribusi dan pendelegasian kewenangan sehingga memberi kesan dwitunggal itu tak ubahnya terminologi kosong karena nyatanya tidak ada pembagian otoritas dan pendistribusian kewenangan di antara keduanya. Otoritas dan kewe-nangan sepenuhnya bersifat bulat dan melekat pada kepala daerah, bukan wakil kepala daerah, sehingga secara peran sang wakil laksana ban serep.
Pembagian Kewenangan
Sebagai ban serep, wakil kepala daerah bisa berfungsi manakala diberi kewenangan atau kepala daerah berhalangan tetap sebagaimana diatur UU Nomor 32 Tahun 2004 itu. Baik berhalangan tetap karena meninggal dunia, sakit permanen, mengundurkan diri atau karena melanggar hukum yang dituntut hukuman 5 tahun penjara atau lebih. Ketika itu terjadi maka potensi sang wakil menggantikan posisi dan peran kepala daerah menjadi terbuka.
Di sinilah yang kemudian membuka ruang disharmonitas dan tak jarang menjadi senjata untuk menggantikan posisi kepala daerah. Faktanya, banyak kepala daerah yang berkesan dijerumuskan dalam kasus hukum dan berakhir dengan hilangnya jabatan. Dalam konteks Jawa Tengah saja, kasus itu muncul di beberapa kabupaten, seperti Brebes (2007-2012), Tegal (2008-2013), Cilacap (2007-2012), Purworejo (2006-2011), Semarang (2005-2010), dan Kendal (2005-2010). Periode itu adalah masa ’’sukses’’ peralihan kekuasaan setelah kepala daerah tergiring dalam problem hukum menjadi terpidana kasus korupsi.
Karena itu, mengacu pada semangat demokrasi dan roh yang terbangun dalam spirit UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sangat penting kiranya memikirkan distribusi dan pembagian kewenangan antara kepala dan wakil kepala daerah, dengan prinsip keadilan tugas dan otoritas, sekaligus untuk meminimalisasi kemungkinan perpecahan dwitunggal tersebut.
Setidak-tidaknya, pendistribusian kewenangan akan memberikan dampak pada beberapa hal. Pertama; ada tugas pokok dan fungsi jelas di antara keduanya sehingga tidak menimbulkan benturan dalam menjalankan roda pemerintahan. Bukankah dwitunggal ini dipilih secara bersama-sama oleh masyarakat dalam satu paket sistem demokrasi?
Kedua; meminimalisasi konflik kepentingan yang mungkin timbul karena masing-masing tugas dan kewenangan yang berbeda-beda. Ketiga; jika peran dan fungsi itu dapat berjalan secara efektif, maka roda pemerintahan akan berjalan pada relnya. Dengan demikian kepentingan masyarakat dapat terlayani dengan baik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar