Senin, 09 Januari 2012

Industri yang Peduli Membangun Kebudayaan


Industri yang Peduli Membangun Kebudayaan
M. Sobary, BUDAYAWAN
Sumber : SINDO, 9 Januari 2012



Sejak kita mengalami krisis ekonomi yang begitu parah pada 1997/1998, yang menghancurkan nama baik negara dan bangsa kita di dunia internasional karena problem-problem yang menyertainya, perlahan-lahan,seperti merasa memperoleh temuan cemerlang, orang berkata, krisis kita pada hakikatnya krisis di bidang kebudayaan.

Lalu orang pun seperti berebut menyatakan, yang terpenting dalam hidup suatu bangsa bukan ekonomi dan bukan politik yang pernah menjadi “panglima”, melainkan kebudayaan. Kutipan muncul di forumforum yang meneguhkan perlunya membangun kebudayaan. Tak sedikit yang kembali mengingat ucapan Bung Karno tentang nation building dan character building. Juga tak sedikit yang meneriakkan perlunya kebudayaan dijadikan “panglima”.Yang lain menyebut culture matters, bahwa segala— setidaknya sangat banyak hal—bersumbu pada kebudayaan.

Maka, sewajarnya sebuah bangsa mengalami krisis begitu mendalam dan parah karena memiliki apa yang disebut far reaching effectsdi banyak segi kehidupan yang lain. Ada pula yang setiap saat bicara tentang membangun peradaban dan merujuk kembali pada apa yang pernah tampil di dalam peradaban terdahulu di seluruh Nusantara ini. Dan yang mulia Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, yang bingung memahami kebudayaan, juga bicara ngalor ngidul mengenai kebudayaan, yang dalam masa kerjanya tak pernah disentuh.Bahkan program kerja yang menunjukkan pentingnya kebudayaan diberi prioritas dalam kebijakan sama sekali tak tampak.

Presiden yang menugasinya pun tak menganggap hal itu sebagai persoalan serius. Tokoh-tokoh kebudayaan sibuk menyimpulkan bahwa jika demikian halnya,akan menjadi sebuah solusi yang bagus bila tiap-tiap kampanye calon presiden dan calon wakil presiden, mereka diminta menjelaskan program kebudayaan mereka. Para budayawan itu hendak mengukur, setidaknya ingin tahu,dan ingin ada pemihakan mereka terhadap kebudayaan agar kelak, ketika menjabat, kebudayaan akan mendapat perhatian penting sekali.

Jangan lupa, di antara mereka ada juga yang mengusulkan agar kebudayaan menjadi sebuah departemen tersendiri. Kemudian, di antara penjelasannya, muncul kritik tajam kepada Menteri Kebudayaan dan Pariwisata,yang dianggap menjual kebudayaan dengan harga receh,lewat pariwisata itu. Para pejabat negara sendiri pun mengakui pentingnya kebudayaan di dalam kehidupan suatu bangsa. Jika mereka diminta memberikan sambutan dalam suatu seminar yang ada hubungannya dengan kebudayaan, misalnya seminar kebudayaan, atau sambutan untuk pameran lukisan, pameran foto, pameran patung, dan sejenisnya, puja dan puji berhamburan dari mulut mereka mengenai keunggulan keb u d aya a n dibandingkan unsurunsur lain dalam kehidupan.

Presiden sibuk membuat lagu dan menyany i — d i saat Ibu Pertiwi dan anak-anaknya sedang menangis—, mungkin niatnya hendak menunjukkan bahwa dia juga seorang budayawan. Bahkan mungkin ingin disebut orang serbabisa, orang dengan multitalenta, atau apa. Tapi bukankah ini salah prioritas? Bukankah lebih mulia, karena lebih tepat, bila beliau merumuskan suatu kebijakan besar yang menyangkut kebudayaan, bersedia membiayai program- program kebudayaan, dan menjamin kelangsungan hidup kebudayaan kita dengan jiwa orang besar yang memiliki cita rasa kebudayaan.

Komitmen pribadi bisa penting, tapi bisa juga sama sekali tak berarti. Dari beliau kita meminta komitmen sosialnya sebagai seorang presiden untuk menata kebudayaan sebagai orientasi kehidupan dan energi bangsa yang tak tampak, yang bisa menggerakkan kita semua untuk bangkit dan menata diri kembali setelah krisis parah yang berkepanjangan itu. Penyair sudah banyak. Musikus sudah banyak. Penyanyi juga sudah banyak dan semua jauh lebih hebat lagi dibandingkan sekadar “tembang-tembang kelelahan” seorang birokrat tak tahu apa yang harus dilakukannya. Jadi, untuk “prioritas” hidup bangsa ini harus diperlihatkan, dengan cara memperlihatkan kemampuannya memilih prioritas untuk menata kembali kehidupan seluruh bangsa.

Pelajaran

Kita belajar sesuatu. Biarpun seribu kali calon presiden dan calon wakil presiden bersumpah menganggap kebudayaan itu penting dan dalam kampanye mereka sudah menyusun program, kita sudah belajar: kelihatannya mereka tak punya kepedulian serius. Pusat-pusat kebudayaan di daerah, dewan-dewan kesenian, kelompok-kelompok teater “wafat” satu per satu tanpa pernah ada pejabat yang melayat.

Berbagai jenis kesenian daerah mati,tapi tak ada yang menangis. Ada banyak yang masih hidup dengan energi yang meluap dan memiliki segalanya kecuali dana, tapi pemerintah bisu. Dana pembangunan lebih baik dikorup untuk partai dan untuk memenangi sebuah pencalonan. Dewan Kesenian Jakarta jelas tempatnya di Jakarta dan cuma 10 menit dari depan hidup Gubernur,tapi lembaga itu juga diabaikan. Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, di halaman yang sama dengan Dewan Kesenian Jakarta, merana di tengah orang kaya.Warisan kebudayaanHBJassinyangtakternilai itu menjadi ibarat tempat buangan sampah.

DPRD DKI dari fraksi dan partai apa pun bisa.DPR Senayan,yang mandi duit dan mengatur belanja negara itu,tak ada yang peduli. Gubernur,DPRD,Presiden, wakilnya,para menteri,dan bawahan mereka semua, siapa yang peduli akan kebudayaan? Kita belum pernah mendengar pemerintah mengalokasikan anggaran untuk kepentingan ini. Padahal, sekali lagi, kebudayaan dianggap kata kunci. Tapi apa buktinya? Ada industri rokok,Djarum, yang besar sekali perhatiannya terhadap kebudayaan.

Dan Djarum bukan hanya berpidato bahwa kebudayaan itu penting, tetapi dengan jelas menganggarkan sejumlah besar dana untuk mendukung programprogram kebudayaan. Pementasan- pementasan penting di Jakarta dan di kota-kota lain didukung dengan semangat ikut memiliki dan bersedia membangun kebudayaan. Ada apresiasi pemerintah kepadanya? Ada ucapan terima kasih bahwa sektor bisnis, swasta ternyata lebih punya komitmen daripada para pejabat tinggi yang hanya omong kosong?

Mereka bukan hanya tak berterima kasih. Sebaliknya, lewat peraturan pemerintah yang didukung dengan sikap tutup mata oleh Mahkamah Konstitusi,dicekikiklah semua usaha—sampai ke petani tembakau— yang ada hubungannya dengan rokok keretek. Lewat Departemen kesehatan, pergub, perda-perda, pemerintah dengan sengit hendak membunuh industri rokok. Jika dicermati,semua aturan itu hanya kopian mentahmentah dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), yang sangat jelas memihak kepentingan asing.

Industri keretek dibunuh dengan berbagai cara, demi membela kepentingan orang asing dan negara asing. Jika kita cermati sebagai kesimpulan, kita semua bicara tentang kebudayaan sebagai kata kunci dalam kehidupan bangsa, tapi tak ada pejabat negara yang punya kepedulian nyata. Tak ada program yang dibiayai negara. Dan berbagai pusat kesenian dan kebudayaan merasa tanpa ada yang peduli. Namun ketika sebuah industri keretek dengan gigih turut membangun kebudayaan, pemerintah tak peduli. Industri keretek bahkan wajib dibunuh.

Selama ini saya membela petani tembakau yang tertindas. Sekarang, saya kira, sama mulianya membela petani tembakau dan sekaligus industri keretek. Saya tahu bahwa Djarum membela kebudayaan sejak lama karena memiliki kepedulian yang jauh lebih serius daripada pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar