Senin, 09 Januari 2012

Negara Darurat Konflik

Negara Darurat Konflik
Mohamad Fathollah, SOSIOLOG UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
Sumber : REPUBLIKA, 9 Januari 2012


Konflik horizontal disertai kekerasan dan pembunuhan beberapa bulan terakhir semakin meningkat di daerah-daerah. Mulai dari perebutan lahan, pembakaran rumah, perampokan, pembunuhan terang-terangan di depan publik, dan lainnya. Adanya konflik semacam itu dapat dipastikan bahwa Indonesia darurat konflik.

Darurat konflik barangkali bukanlah isu baru. Adanya sistem masyarakat terbuka yang ada di Indonesia menjadikan masyarakatnya mudah tersulut konflik, baik yang dilakukan oleh per kelompok dalam suatu masyarakat maupun bahkan masyarakat versus aparat. Di Bima, yang terjadi belum lama ini mengindikasikan bahwa masyarakat kita (baca: aparat) belum mampu membahasakan konsep Protap Kapolri Nomor 1/I/2010 tentang Penanggulangan Anarki pada Ranah Kesadaran Kemanusiaan.

Tindakan represif aparat yang dinilai ngawur dan membabi buta terhadap para demonstran lagi-lagi menjadi persoalan baru sebuah tindakan anarkis. Atau sebaliknya, adanya kegetiran dan kewaspadaan terhadap aparat menjadikan masyarakat secara sadar mempersiapkan segala kemungkinan bentrok dengan pegangan senjata tajam di tangan masing-masing. Tidak jarang, adanya ego dari kedua belah pihak (warga versus aparat) bentrok tidak dapat dihindarkan. Hal ini barangkali bisa becermin pada konflik yang terjadi di Sape, Bima, dan Mesuji, Lampung.

Atau, kita dapat becermin pada konflik masyarakat di Sampang, Madura. Warga yang beraliran Sunni membakar sejumlah rumah warga dan pesantren yang beraliran Syiah. Dalam pemberitaan media, hal tersebut akibat ketidakterimaan warga yang beraliran Sunni yang menganggap Syiah sebagai aliran sesat dalam Islam. Walaupun faktanya tidak demikian, bahwa pimpinan dua kelompok bertikai tersebut masih saudara dan konflik mengemuka ditengarai adanya latar belakang kecemburuan sosial dari masing-masing pimpinan. Kalaupun isu tersebut menjadi isu agama, tidak lain sebagai narasi konflik lain yang telah sedemikian akut.

Yang paling terbaru, misalnya, penembakan misterius terjadi menjelang detik-detik pergantian tahun 2012 lalu di tiga tempat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Sejumlah orang tanpa salah diberondong tembakan dari beberapa orang tidak dikenal. Penembakan tanpa motif tersebut mengakibatkan lima orang tewas dan lainnya luka-luka kritis.

Grand Design

Tidak dapat dimungkiri bahwa konflik horizontal dan vertikal mudah terjadi di Bumi Pertiwi ini. Fakta sejarah menunjukkan konflik yang terjadi di Indonesia berawal dari kecemburuan sosial antara satu warga dan warga lainnya.

Adanya ketertindasan struktural dari pemerintah atas penguasaan lahan atau perebutan tanah, melambungnya kebutuhan pokok, represifisme aparat, dan sejumlah kasus pelanggaran HAM lainnya seolah-olah terjadi pembiaran. Tengok misalnya, pemerintah tidak akan melakukan tindakan pengusutan dengan membentuk tim khusus atau tindakan penanggulangan lainnya apabila konflik dalam masyarakat belum mengarah pada masifisme atau adanya korban mati. Pemerintah (pusat) akan turun langsung meninjau ke lapangan ketika ada korban dari sebuah pertikaian warga dan nyata-nyata mengancam kedudukan pemerintah.

Pembiaran lain, misalnya, pada aksi Sondang Hutagalung yang melakukan pembakaran diri di depan istana. Adakah tindakan positif dalam melakukan revitalisasi dan strukturalisasi kebijakan khusus prorakyat atas protes Sondang? Kalaupun ada, barangkali sebatas pada penyelidikan kasus dan mengungkap motifnya.

Terjadinya konflik beberapa bulan terakhir di daerah-daerah dapat dikategorikan sebagai ketidakterimaan sosial (social-disagreement). Konflik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat berlangsung secara berkelompok. Kekerasan dipilih sebagai sebuah gerakan untuk lebih mengemuka dan didengar oleh pihak terkait atau pemerintah. Protes Sondang sebagai aktivis mahasiswa gemanya berlangsung hanya beberapa hari dan belum mampu membungkam segala ketidakadilan. Di samping itu, aksi tragis tersebut belum mampu menjadi akar gerakan lebih masif dari gerakan mahasiswa idealis.

Alih-alih menjadi Tunisia kedua pasca-Mouhamed Bouazizi membakar dirinya, pembakaran diri Sondang oleh beberapa kalangan bahkan disebut sebagai aksi konyol. Tidakkah kita dapat berpikir lebih jernih untuk menafsirkan aksi tersebut pada pembelaan keadilan dan kemanusiaan yang acap tergadai?

Tidak heran, misalnya, sejumlah aksi protes yang terjadi di daerah dikatakan sebagai bentuk grand design atau rekayasa besar-besaran dari sejumlah pihak atau momentum konflik tersebut dimanfaatkan kelompok tertentu untuk menyerang kelompok lainnya (pemerintah).

Peta Konflik

Konflik di mana para pesertanya merasa bahwa mereka semata-mata merupakan wakil dari kolektivitas-kolektivitas atau kelompok-kelompok, berjuang bukan untuk dirinya, melainkan hanya untuk cita-cita kelompok yang diwakilinya itu, sangat mungkin lebih radikal serta tidak kenal ampun ketimbang mereka yang berjuang hanya untuk alasan-alasan pribadi (Louis A Coser, 1956:118).

Konflik yang ada di permukaan tidak dapat terselesaikan selama ego dari masing-masing kelompok masyarakat mengemuka. Dalam pandangan Coser, konflik dapat menjadi pementik bagi terbentuknya keadilan sosial dan keterseimbangan sosial (social equilibrium). Hal demikian dapat tercapai ketika konflik dapat dipetakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat bersangkutan serta nirkepentingan politik parsial.

Aparat, misalnya, dapat membuat peta konflik dari berbagai daerah untuk tidak hanya sebagai langkah prefentif, namun juga memberikan pemahaman yang baik kepada masyarakat dan petugas pelaksana untuk melakukan tindakan nonrepresif. Belum lagi pada tahun 2012 ini, Polri memprediksi konflik dalam masyarakat, terutama aksi terorisme, masih menjadi rangkaian realitas sosial.

Dari masyarakat sendiri, katup penyelemat (safety-belt) adanya konflik horizontal sebagaimana menjadi landasan konflik Coser ialah membangun kesadaran komunal akan terbentuknya masyarakat baik. Masyarakat di mana ketidakadilan sosial dapat menjadi pecut untuk lebih kreatif dan produktif bekerja serta menghasilkan sesuatu yang lebih bermanfaat. Kecemburuan sosial memang pasti ada. Akan tetapi, kecemburuan tersebut dapat dimaknai sebagai external support untuk lebih kompetitif. Tidak usah menunggu pemerintah turun lapangan, langkah kompetisi-positif masyarakat secara tidak langsung akan membangun kesejahteraan bangsa (welfare state) yang berkeadilan dan menyeluruh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar