Inflasi
“Bersubsidi” dan Penurunan Suku Bunga
A Tony Prasetiantono, KEPALA PUSAT STUDI EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK
UGM,
YOGYAKARTA
Sumber
: KOMPAS, 9 Januari 2012
Hasrat untuk menurunkan suku bunga kian besar
pada awal tahun baru 2012 ketika Badan Pusat Statistik, pekan lalu, mengumumkan
inflasi 2011 hanya 3,79 persen. Secara teoretis, semestinya hal
ini bisa menjadi momentum penurunan bunga lebih lanjut.
Suku bunga acuan (BI Rate) kini 6 persen,
berarti masih ada jarak 2,2 persen terhadap inflasi. Kalau ini dipakai sebagai
referensi, semestinya bunga acuan BI masih ada ruang gerak untuk turun ke 5,5
persen atau bahkan 5,25 persen. Selanjutnya, suku bunga kredit bank bisa
ditekan ke 10 persen. Bisakah begitu?
Penurunan suku bunga acuan BI memang
dimungkinkan, tetapi ruang geraknya tidaklah selebar itu. Masalahnya, di balik
inflasi rendah tahun 2011 terdapat pengorbanan besar, subsidi bahan bakar
minyak (BBM) mencapai Rp 120 triliun. Jumlah yang signifikan, setara dengan 10
persen dari realisasi APBN 2011 yang sekitar Rp 1.200 triliun. Dengan kata
lain, inflasi rendah tersebut sesungguhnya mengandung bias subsidi BBM. Jika
BBM tidak disubsidi sebesar itu, inflasi pasti melebihi 5 persen.
Sekarang masalahnya, apakah subsidi BBM tahun
2012 akan dibiarkan terus, bahkan mungkin mencapai Rp 140 triliun? Jumlah ini,
ironisnya, setara dengan batas kemampuan pemerintah mendanai pembangunan
infrastruktur dalam setahun. Jawabannya pasti tidak. Pemerintah berusaha
menekan subsidi, antara lain, dengan pembatasan konsumsi. Namun, saya ragu,
apakah kebijakan tersebut bakal efektif?
Saya usul agar harga BBM dibagi tiga
kelompok. Pertama, harga BBM bersubsidi Rp 4.500 per liter yang hanya boleh
dibeli pengendara sepeda motor. Alasannya, pengendara motor adalah kelompok
masyarakat yang rentan terhadap krisis ekonomi. Pada 2011, penjualan sepeda
motor sekitar 8 juta atau hampir 10 kali mobil. Populasi motor
juga 10 kali lipat mobil. Karena itu, segmen ini paling layak menerima subsidi.
Kedua, harga BBM ”setengah subsidi”—
katakanlah Rp 6.000 atau Rp 6.500 per liter—yang boleh dibeli pengendara mobil.
Kelompok ini sebenarnya tidak layak menerima subsidi. Namun, guna memberi
periode transaksi, untuk sementara diberikan subsidi, tetapi dalam jumlah
terbatas.
Ketiga, harga BBM sesuai mekanisme pasar atau
harga nonsubsidi, seperti BBM jenis Pertamax dan variannya, yang kini sekitar
Rp 8.800 per liter.
Saya yakin skema sederhana ini lebih mudah
diterapkan daripada skema lain, seperti pembatasan konsumsi yang bisa menyebabkan
antrean panjang sehingga rawan terjadi kericuhan.
Cepat atau lambat, harga BBM akan naik.
Berharap agar harga BBM tetap pada Rp 4.500 adalah sia-sia belaka.
Alasannya, harga minyak tidak mungkin lagi dikembalikan ke level sebelum
pertengahan tahun 2008, yakni 70 dollar AS per barrel. Produsen minyak tidak
akan mengizinkan. Harga yang realistis kini 90-100 dollar AS per
barrel.
Untuk mengantisipasi hal terburuk, pemerintah
harus mulai membiasakan masyarakat tidak terpaku pada harga BBM Rp
4.500 per liter. Caranya bisa dengan menaikkan bertahap harga BBM atau cara
lain, terapkan tiga harga BBM: subsidi, setengah subsidi, dan mekanisme pasar.
Kalau ini dilakukan, inflasi 2012 akan
melesat ke 5 hingga 5,5 persen. Pada level ini, dari pengalaman, tetap dapat dijangkau
oleh masyarakat (affordable) dan tidak menimbulkan guncangan politis—hal yang
tampaknya ditakuti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dengan ekspektasi inflasi sekitar 5 persen,
bunga acuan BI 6 persen seperti saat ini masih relevan. Masyarakat kita belum
terbiasa menabung dengan bunga di bawah laju inflasi. Bisa dimengerti karena
jumlah rekening di bank saat ini sekitar 90 juta, yang ekuivalen dengan 60 juta
penabung. Angka ini masih kecil (cuma 25 persen) dibandingkan dengan 240 juta
penduduk.
Jadi, masih banyak penduduk yang belum
tersentuh industri perbankan modern. Mereka mengenal sektor finansial dari
penetrasi rentenir yang bunganya tinggi. Inilah salah satu alasan mengapa suku
bunga tinggi: masih banyak penduduk tidak punya akses ke lembaga finansial
formal.
Luasnya wilayah Indonesia, dengan persebaran
geografis dan demografis, ikut memberi andil pembentukan suku bunga tinggi.
Ketika sebuah bank membuka cabang di Wamena, Papua, atau Tual, Maluku,
dibutuhkan biaya besar. Karena itu, sebenarnya efisiensi perbankan di Indonesia
tidak bisa dibandingkan secara apple to apple dengan Singapura, Malaysia, dan
Thailand, terutama karena latar belakang geografis dan demografis. Indonesia
masih harus meningkatkan banking habit yang indikatornya adalah jumlah rekening
nasabah.
Demikian pula pendalaman finansial yang
indikatornya adalah rasio kredit perbankan terhadap produk domestik bruto
(PDB). Rasio kita baru 30 persen, masih menderita ”pendangkalan finansial”.
Jauh di bawah rasio ideal minimal 100 persen yang sudah dicapai Malaysia,
Thailand, Korea Selatan, dan China.
Sambil membenahi masalah struktural dan
berdimensi jangka panjang tersebut, adakah kemungkinan menurunkan bunga kredit
secara ”potong kompas”? Menurut saya bisa, asal pemerintah mau menjadi lokomotifnya.
Caranya, pemerintah harus rela berkorban untuk tidak menetapkan target laba
terlalu tinggi terhadap bank BUMN. Ketika bank-bank BUMN tidak dikejar target
laba, mereka pun bisa mengendurkan net interest margin (NIM). Pada saat itulah
suku bunga kredit dapat ditekan.
Jika bank-bank BUMN bisa berperan sebagai
pelopor pergerakan penurunan suku bunga kredit, bank-bank yang lain pasti
mengikuti. Kalau pelopornya punya pangsa pasar kredit yang besar, mustahil
bank-bank lain akan tinggal diam. Pangsa terbesar kredit itu sesungguhnya
dimiliki oleh bank-bank BUMN. Menteri BUMN Dahlan Iskan bisa membantu. ●
artikel yang menarik, kami juga punya artikel tentang 'Inflasi dan Suku Bunga' silahkan buka link ini
BalasHapushttp://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/3474/1/JURNAL%20Hendrik%20Baitulloh%20(10206423)_1.pdf
semoga bermanfaat ya