Senin, 09 Januari 2012

Parodi Sandal Jepit


Parodi Sandal Jepit
Achmad Fauzi, HAKIM PENGADILAN AGAMA KOTABARU KALIMANTAN SELATAN
Sumber : REPUBLIKA, 9 Januari 2012


Tahun 2012 panggung penegakan hukum diawali parodi sandal jepit. Belum lekang dari ingatan soal jerat hukum seorang pencuri buah kakao dan semangka, masyarakat tersentak oleh kasus pencurian sandal  oleh seorang remaja di Palu, Sulawesi Tengah. AAL dituduh mencuri sepasang sandal jepit merek Eiger nomor 43 milik Briptu Anwar Rusdi Harahap, anggota Brimob Polda Sulawesi Tengah.

Kriminalisasi yang dilakukan polisi itu sontak menuai kritik banyak orang. Padahal, polisi memiliki diskresi untuk menyidik atau tidak menyidik sepanjang dapat dibenarkan oleh hukum. Penegakan hukum kasus ini seharusnya menjadi introspeksi untuk melakukan perbaikan di internal kepolisian. Misalnya, mengupayakan mediasi penal dan memprioritaskan penuntasan kasus pidana penganiayaan yang dilakukan oknum anggotanya terhadap AAL. Tapi, nasi telah menjadi bubur. Kasus itu telah bergulir dan AAL divonis bersalah oleh pengadilan.

Supremasi hukum di negeri ini memang selalu digelayuti deret tanda tanya. Sistem peradilan pidana kerap membuat geger jagat publik karena alpa memperhatikan perbedaan karakter pelaku dan tindakan yang dilakukan masing-masing orang. Akibatnya, peradilan pidana terkesan kejam dan mengabaikan nilai kehidupan manusia. Pada saat bersamaan panggung hukum menyajikan sejumlah ironi. Hukum tampil gagah berani tatkala menghadapi yang lemah, tapi mandul mengusut tuntas kasus hukum yang melibatkan pejabat di lingkaran kekuasaan.

Hakim tentu tak bisa berbuat banyak ketika kasus itu dilimpahkan ke pengadilan. Hakim mengadili berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, bukan opini publik. Ketika perbuatan yang didakwakan telah memenuhi unsur, mustahil hakim menyatakan tidak bersalah. Yang dilihat hakim bukan semata-mata nilai ekonomis sandal jepit itu, tapi  jiwa jahatnya yang apabila tetap dibenarkan oleh pengadilan, membawa dampak negatif dan mengesankan bahwa perbuatan mencuri dibenarkan oleh hukum. Karena itu, untuk memenuhi rasa keadilan, hakim mengembalikan terdakwa ke orang tuanya untuk dilakukan pembinaan.

Solidaritas

Kasus pencurian sandal jepit telah menyita perhatian masyarakat. Sebagai bentuk solidaritas,  ribuan sandal jepit dikumpulkan di depan kantor Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), untuk kemudian diserahkan kepada Kapolri. Gerakan solidaritas kini menjadi instrumen masyarakat untuk menyalurkan kritik dan mengetuk hati nurani penegak hukum yang tengah mengalami mati suri. Dikatakan demikian karena penegak hukum terbangun dari tidurnya jika hendak menghukum rakyat kecil. Tapi, menjadi linglung ketika menghadapi persoalan hukum kelas kakap.

Lihat saja penanganan tiga kasus besar yang disinyalir melibatkan kelompok elite, yakni kasus mafia pajak dengan aktor Gayus Tambunan,  skandal Bank Century yang merugikan negara Rp 6,7 triliun, serta suap pembangunan Wisma Atlet SEA Games dengan terdakwa Muhammad Nazarudin. Relatif tak ada aktor intelektual yang tertangkap.

Ketiga kasus yang diharapkan mampu menguak korupsi para elite itu, cenderung berakhir secara adat di bawah borgol politik. Gayus Tambunan "dikorbankan"sebagai aktor tunggal praktik penggelapan pajak, sedangkan atasan dan perusahaan yang memanipulasi pajak tidak terungkap.

Demikian pula skandal Century yang hanya mampu menangkap pemain pinggiran. Bahkan, hingga kini nasibnya terkatung-katung lantaran belum ada kejelasan dari KPK apakah kasus Century dilanjutkan atau dihentikan. Nazarudin yang secara membabi buta menyebut keterlibatan sejumlah petinggi partai dalam kasus suap wisma atlet ternyata kasusnya juga mengalami isolasi. Ia yang ketika buron rajin  mengoceh, giliran ditangkap dan diadili seolah mengalami tekanan politik luar biasa sehingga kerap menyatakan lupa atau tidak tahu. Dapat dikatakan bahwa amunisi untuk membangun negara hukum di negeri ini hanya sekaliber sandal jepit.

Iktikad menyidik pencuri sandal jepit hingga diadili di pengadilan sesungguhnya telah melampaui asas penting dalam hukum pidana. Bahwa, penerapan hukum pidana merupakan pilihan terakhir setelah segala upaya lain gagal ditempuh. Sehingga, upaya pidana menjadi ultimum remidian. Karena itu, konsep restorative justice dalam konteks ini menjadi sangat urgen. Sebuah proses yang pada dasarnya dilakukan melalui diskresi dan diversi, yakni pengalihan dari proses pidana untuk diselesaikan secara musyawarah.

Diskresi polisi untuk menempuh upaya musyawarah ketimbang menyidik langsung pelaku  pencurian sandal jepit sejatinya jauh lebih tepat karena beberapa pertimbangan; pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan tergolong ringan, lebih mempertimbangkan pengaruh pidana bagi masa depan pelaku, dan pembinaan perilaku di tingkat keluarga lebih menjerakan. Ke depan kasus sejenis selayaknya tidak sampai ke pengadilan, karena selain memboroskan energi, ada kanal penyelesaian yang lebih elegan.

Penyelesaian melalui musyawarah sebenarnya bukan hal baru di negeri ini. Dalam hukum adat penyelesaian perkara pidana dan perdata tidak ada diferensiasi, semuanya diselesaikan secara musyawarah dengan tujuan mendapatkan keseimbangan dan pemulihan keadaan.

Plea Bargaining

Lebih jauh, kelemahan hukum acara pidana di Indonesia belum mengadopsi lembaga plea bargaining. Sebuah lembaga perundingan dan persetujuan antara terdakwa dan penuntut umum untuk mencapai persetujuan yang sah dan diakui pengadilan. Solusi ini selain memenuhi unsur kepantasan juga menguntungkan pihak penuntut umum sebagai yang mewikili negara, terdakwa, serta proses peradilan.

Proses plea bargaining menyangkut pertimbangan adanya keuntungan atau tidaknya dalam praktik. Untuk itu, diperlukan adanya aturan yang mengatur tingkah laku yang terlibat dalam proses negosiasi. Para pihak yang terlibat dalam proses plea bargaining ini, antara lain, penuntut umum, penasihat hukum dan/atau terdakwa, tapi sangat jarang keterlibatan hakim.

Di Amerika Serikat judicial participation di dalam plea negotiations dilarang undang-undang federal tentang criminal procedure. Larangan partisipasi hakim tersebut untuk menjaga objektivitas dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut.

Peran utama dalam proses plea bargaining ini dilakukan oleh penuntut umum. Peran ini dilakukan atas dasar kasus per kasus, dan penuntut umum menawarkan konsesi-konsesi. Untuk itu, diperlukan adanya petunjuk yang menentukan konsistensi kasus-kasus yang dapat dilakukan plea bargain dan kontrol terhadap diskresi penuntut umum. Faktor-faktor yang dipertimbangkan adalah pilihan-pilihan yang tepat, keseriusan kejahatan, sikap dari korban, isi dari pemeriksaan polisi, ketentuan pidana yang dapat diterapkan, kekuatan bukti kasus, sikap hakim yang mengadili mengenai plea bargaining.

Peran penasihat hukum sangat nyata dalam proses plea bargain, karena berinteraksi langsung dengan penuntut umum dan hal-hal untuk menginformasikan kepada kliennya. Terutama tentang fakta-fakta yang menyangkut beberapa dakwaan, ketentuan-ketentuan pemidanaan dari alternatif dakwaan.

Di Indonesia, belum adanya lembaga plea bargaining di dalam hukum acara pidana, menuntut sikap hukum yang responsif dari pengadilan dan hakim dalam menjatuhkan pidana. Sehingga, sistem peradilan pidana tidak seperti mesin teror. Hakim dapat mempertimbangkan keadaan-keadaan yang memberatkan dan keadaan-keadaan yang meringankan, sehingga tecermin adanya kepantasan dan keadilan dalam penjatuhan pidana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar