Derita
Sekolah Australia Berbahasa Indonesia
Maryanto, PEMERHATI
POLITIK BAHASA
Sumber : KORAN TEMPO, 7 Januari 2012
Sangat
menggembirakan cerita bahasa (kebangsaan) Indonesia mulai dikenalkan dengan
sistem pendidikan sekolah Australia pada 1955. Lewat jendela bahasa, Australia
tampak ingin akrab bertetangga dengan Indonesia. Namun ada saja gangguan
terhadap hubungan akrab dua bangsa ini. Dampak gangguan pun terlihat di sekolah
Australia yang sekarang menderita kemerosotan jumlah anak yang tertarik belajar
bahasa Indonesia. Ini tentu cerita duka bagi bangsa Indonesia.
Bangsa
Indonesia patut prihatin kalau membaca laporan penelitian Michelle Kohler dan
Phillip Mahnken (2010) mengenai situasi terbaru pendidikan bahasa Indonesia di
sekolah Australia. Laporan yang berjudul "The Current State of Indonesian
Language Education in Australian Schools" ini memuat informasi
perkembangan mutakhir bahasa Indonesia di Negeri Kanguru. Bahasa Indonesia
dilaporkan sudah kehilangan rata-rata 10 ribu siswa per tahun selama empat
tahun terakhir. Dari keseluruhan populasi siswa sekolah Australia, hanya 5,6
persen atau sekitar 191 ribu siswa yang masih memilih belajar bahasa Indonesia.
Menurut
laporan Kohler dan Mahnken, bahasa Indonesia mulai menderita di sekolah
Australia, setelah terjadi guncangan bom Bali pada 2002. Bahasa Indonesia makin
menderita kehilangan siswa karena beberapa tahun setelah tragedi bom Bali
tersebut, pemerintah Australia berhenti mengucurkan dana pendidikan sekolah bagi
bahasa-bahasa Asia, yang di dalamnya hanya terdapat bahasa Indonesia, di
samping bahasa Korea, Jepang, dan Cina. Derita sekolah Australia yang hendak
berbahasa Indonesia ini perlu segera diatasi oleh bangsa Indonesia, terutama
pemerintah Indonesia.
Bukan
Melayu
Pemerintah
Indonesia--dengan adanya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009--berkewajiban
menyelenggarakan program internasionalisasi bahasa Indonesia. Program
internasionalisasi ini sudah dimulai oleh pemerintah Australia lebih dari 50
tahun lalu dengan memasukkan bahasa Indonesia ke dalam sistem sekolah
Australia. Program bahasa Indonesia ini terselenggara tentu bukan karena
keinginan membangkitkan kembali bahasa Melayu yang pernah berjaya di kawasan
Asia.
Di
tengah krisis kehadiran siswa sekolah Australia pada program bahasa Indonesia,
telah terjadi promosi pendidikan bahasa Melayu. Seorang diplomat yang bekerja
di Australia menuturkan cerita terjadinya promosi bahasa Melayu untuk
menggantikan bahasa Indonesia. Menurut penuturan diplomat Indonesia itu, di era
pasca-tragedi bom Bali, anak-anak Australia ditarik keluar dari Australia untuk
melanjutkan program pendidikan bahasa Indonesia yang berisi pengajaran bahasa
Melayu. Program pendidikan yang bernilai bisnis itu tidak dilaksanakan di
Indonesia.
Tragedi
bom Bali--yang dilaporkan Kohler dan Mahnken sebagai perusak citra bahasa
Indonesia di sekolah Australia--ternyata berdampak menggoyahkan konstruksi
bahasa kebangsaan Indonesia. Setidaknya di kalangan anak Australia, sudah tidak
ada kepercayaan yang kuat terhadap bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia makin
ditinggalkan para pelajar Australia. Sementara itu, anak-anak Australia yang
masih tertarik belajar bahasa Indonesia sudah mulai dikonstruksi alam
pikirannya dengan berbahasa Melayu.
Bahasa
Indonesia bukan bahasa Melayu dalam pengertian sejarah purba. Ini sama halnya
dengan bahasa Cina dan Jepang. Bahasa Jepang yang tertulis dalam bentuk kanji
(pada abad ke-5) pernah disebut sebagai kanbun, yang berarti
"tulisan bahasa Cina". Sekarang bahasa Cina dan Jepang--karena
penuturnya masing-masing merupakan entitas kebangsaan yang mandiri--berkembang
tanpa saling mengikat. Cina dan Jepang keduanya eksis di dunia internasional
sebagai dua bangsa dan--sekaligus--dua bahasa yang terpisah.
Bahasa
Indonesia memang pernah bertulisan bahasa Melayu (termasuk Melayu Arab), tapi
sekarang berkembang secara mandiri. Sudah saatnya tidak ada intervensi bahasa
Melayu. Ini merupakan tugas segenap bangsa Indonesia, terutama pemerintah
Indonesia, melepaskan bahasa Indonesia dari ikatan belenggu bahasa Melayu.
Untuk itu, program internasionalisasi bahasa Indonesia yang akan segera
dijalankan pemerintah tidak perlu mengikut-ikutkan pertimbangan bahasa Melayu
yang masih dipakai di luar Indonesia, karena bahasa Indonesia sekarang bukan Melayu.
Citra
Bangsa
Kerusakan
citra bahasa Indonesia yang terjadi di sekolah Australia bisa disebut sebagai
cermin kerusakan citra bangsa Indonesia. Hilangnya popularitas bahasa Indonesia
dalam mata pelajaran language other than English (LOTE) di Australia disebabkan
oleh hancurnya citra bangsa Indonesia sebagai akibat bom Bali 2002 dan tragedi
berikutnya, seperti peristiwa bom Marriott di Jakarta pada 2009. Di mata anak
sekolah Australia, akibat tragedi itu, wajah bahasa Indonesia tidak menarik
lagi.
Fakta
bangsa Indonesia sebagai konsumen terbesar daging sapi Australia tidak cukup
meningkatkan daya tarik pelajaran bahasa Indonesia. Padahal, dari segi
keuntungan ekonomi nasional, pasti sangat besar hasil yang diraup dengan
memperdagangkan 70 persen sapi peternak Australia ke Indonesia. Selain hubungan
perdagangan seperti itu, sebagaimana disebutkan dalam laporan Kohler dan
Mahnken, bahasa Indonesia sangat penting dipelajari di Australia dengan alasan
kedekatan geografis serta keamanan kawasan.
Di
mata masyarakat Australia, citra bangsa Indonesia perlu dipulihkan. Sekitar 600
ribu pelajar Indonesia di Australia harus berani berkata sebenarnya bangsa
Indonesia juga korban (bukan otak pelaku) bom Bali. Di sana, untuk pemulihan
citra itu, para pelajar Indonesia perlu difungsikan sebagai duta bahasa dan
budaya bangsa Indonesia. Khusus mereka yang belajar pada tingkat magister dan
doktor, perlu diberi tugas promosi bahasa serta budaya Indonesia. Sebelum
mereka berangkat belajar, wawasan kebahasaan dan kebudayaan Indonesia mereka
perlu diuji terlebih dulu. Jika tidak memiliki wawasan itu, mereka tidak perlu
dikirim ke luar negeri.
Di
dalam negeri juga perlu ditempuh langkah-langkah penguatan citra bahasa
Indonesia sebagai bahasa persatuan bangsa Indonesia. Citra bahasa persatuan ini
sekarang mulai pudar, dan gejalanya tentu sudah dilihat oleh masyarakat
internasional, termasuk Australia. Dalam kaitan itu, menurut Sugiyono dan
kawan-kawan (2011), sangat kuat kecenderungan bahasa Indonesia dipandang rendah
atau-tepatnya--lebih rendah daripada bahasa daerah. Bahasa daerah sekarang
dinilai oleh masyarakat Indonesia sendiri lebih penting daripada bahasa
Indonesia.
Sikap
kedaerahan yang amat berlebihan pada masyarakat Indonesia terlihat baru-baru
ini dari Kongres Bahasa Jawa Ke-5 yang berlangsung di Surabaya pada akhir
November 2011. Pada kongres bahasa daerah itu, bahasa Indonesia tidak
memperoleh kedudukan dan fungsi. Bahkan pembicara yang dianggap berbahasa
Indonesia dipermalukan oleh peserta kongres. Peristiwa kongres yang serupa
dengan bahasa (daerah) Jawa akan terus bermunculan. Sudah saatnya kedudukan dan
fungsi bahasa Indonesia ditata kembali oleh pemerintah Indonesia.
Langkah
yang perlu ditempuh pemerintah ialah reorientasi perencanaan bahasa nasional
dengan mengintegrasikan bahasa daerah ke dalam wadah bahasa persatuan
Indonesia. Perbedaan bahasa lokal (daerah) dan nasional perlu dirancang
berbentuk sebuah kontinum, bukan dikotomi seperti sekarang ini. Jika konstruksi
kebudayaan bangsa ini tidak kuat dari sisi bahasa persatuan, Indonesia akan
punya citra sebagai bangsa yang tercabik-cabik dan bahasa Indonesia akan terus
kehilangan prospek jangka panjang ke depan. Untuk belajar bahasa Indonesia,
orang pun bakal malas.
Anak-anak
sekolah Australia sudah terlihat mulai malas memilih mata pelajaran bahasa
Indonesia. Tragedi bom Bali memang menyisakan derita bagi keberadaan bahasa
Indonesia di Australia, tapi tragedi kemanusiaan itu tentu tidak menjadi
satu-satunya faktor pemicu kemerosotan jumlah pembelajar bahasa Indonesia. Daya
tarik bahasa Indonesia sudah merosot di dalam negeri sendiri.
Jangankan
anak sekolah Australia, anak sekolah Indonesia saja sudah enggan menerima mata
pelajaran bahasa Indonesia. Ketika disuruh giat belajar bahasa Indonesia, tak
jarang mereka menjawab, "Males, ah!" ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar