Selasa, 03 Januari 2012

Menuju Seleksi Kolektor


Menuju Seleksi Kolektor
Agus Dermawan T., KRITIKUS SENI, PENULIS BUKU, DAN ESAIS KEBUDAYAAN
Sumber : KORAN TEMPO, 3 Januari 2012


Pada minggu kedua Desember 2011, sejumlah koleksi dr Oei Hong Djien (OHD) dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta. Pergelaran bertitel "Pameran Pilihan OHD Museum" itu diadakan sebagai kegiatan paralel Bienal Seni Rupa Jakarta, yang berlangsung di belasan tempat di Jakarta. Dua minggu kemudian, koleksi lain Museum OHD dipamerkan di Bentara Budaya Yogyakarta. Penampilan di dua tempat ini terikat dalam satu tujuan: memperkenalkan kembali kekuatan seni lukis karya-karya para maestro, seperti Affandi, Hendra Gunawan, Lee Man Fong, Sudjojono, Trubus, Kartono Yudhokusumo, Ahmad Sadali, dan Widajat.

OHD berpidato dalam acara pembukaan pameran tersebut. "Pameran ini bertujuan agar generasi muda tahu bahwa sebelum kehebohan seni media baru kontemporer yang sering centang-perenang itu, ada seni rupa yang dilahirkan dengan penuh perhitungan dan tertib. Seni itu bernama lukis, yang sampai sekarang terus hidup dan memiliki aura."
Agaknya OHD melihat bahwa akhir-akhir ini sebagian seni rupa Indonesia digoyang wacana isu kontemporerisme yang keliru. Akibatnya, banyak perupa yang hanyut dalam arus pendapat yang meyakini bahwa seni rupa harus mengacu pada "bentuk-bentuk baru" sambil mengubur "bentuk-bentuk lama". Yang dimaksud dengan "bentuk-bentuk baru" adalah karya seni multimedia atau media baru. Adapun "bentuk lama" adalah seni lukis dan sejumlah seni spesialisasi lain, yang tiba-tiba dimarginalisasi sebagai seni "konvensional" belaka.

Padahal, apabila membaca dengan cermat puluhan pameran besar dan penting yang diselenggarakan di berbagai belahan dunia, realitas "kematian" seni lukis dan saudara sepantarannya itu tidak pernah ada. Seni lukis--sebagaimana seni patung dan seni grafis--tak pernah sekali pun mati. Bahkan, di sejumlah negara, seni lukis hadir dengan kreativitas yang semakin baru, dengan produktivitas yang luar biasa. Benar ada pelaku seni spesialis yang ikut masuk dalam gelora seni kontemporer dengan mengusung seni media baru. Namun kehadiran mereka hanya sebatas sebagai "penyumbang yang melintas", untuk kemudian bekerja lagi dalam studio spesialisasinya. Bahkan, bagi sebagian perupa spesialis, kehebohan seni media baru dianggap sebagai rekreasi rehat kopi saja.

Nilai Rendah

Pada 2011, euforia seni media baru memang menjadi-jadi. Karya-karya itu dimunculkan dalam aneka pameran program galeri, dan pameran akbar seperti bienale. Bahkan inti materi Bienal Yogyakarta dan Bienal Jakarta adalah seni media baru. Sementara itu, seni rupa konvensional, seperti seni lukis atau patung, hanya dipakai sebagai pendamping, yang disebut parallel biennale. Hanya Bienal Jawa Timur yang masih menyisakan toleransinya terhadap seni rupa "konvensional", seperti seni lukis dan patung.

Kebijakan trendi dan overprogresif seperti ini akhirnya memberi tanda-tanda kurang obyektif dalam memandang panorama perkembangan seni rupa. Sebab, tendensi untuk sekadar mengangkat kecenderungan populis demi menunjukkan "kemajuan" hanyalah strategi industrial, bukan kebijakan seni rupa. Pada pameran-pameran internasional di negeri maju, eksistensi jenis karya seni tak pernah dibunuh agar kursinya bisa dipakai oleh seni baru. Maka, selain meluhurkan karya gila Cesar Baldaccini, Bienal Venesia membanggakan grafis lembut Yayoi Kusama. Bienal Beijing menjunjung seni media baru Damien Hirst, tapi juga memajang karya patung Jiang Shuo dan Wu Shaoxiang.

Dari berbagai pameran seni rupa Indonesia pada 2011, tentu banyak karya media baru yang bermutu. Ciptaan Aditya Novali dalam pameran tunggal yang digelar Galeri Canna di Jakarta Art District, Jakarta, misalnya. Karya Jompet Kuswidananto, Krishna Murti, dan instalasi Octora yang dipajang dalam Bienal Yogyakarta. Seni instalasi magisme modern karya House of Natural Fiber (HONF). Juga karya estetik F.X. Harsono, yang kemudian diusung ke beberapa negara.

Namun, di sebelah yang bagus-bagus itu, tak sedikit karya kontemporer yang menawarkan nilai rendah. Gawatnya, karya-karya buruk tersebut umumnya diberi porsi besar dalam presentasinya. Karya Stefan Buana dalam pameran "Documenting Now" sebagai contoh. Karya yang mengambil sebagian besar lantai galeri Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini menyajikan gambar manusia sedang buang hajat, dengan kotoran yang terekspos jelas. Dalam sebuah pameran di Galeri Nasional Indonesia, pegrafis ulung Tisna Sanjaya menaruh gubuk reyot terbuat dari seng karatan. Apa yang didapat dari karya seperti itu bila publik mendekat saja sudah tidak mau?

Perupa memang sah untuk tampil di hadapan masyarakat dengan karya apa saja dan apa pun mutunya. Penyelenggara pameran dan kurator sah pula menghadirkan kebebasan pilihan mereka. Namun masyarakat penikmat mempunyai hak untuk menyuguhi diri karya seni rupa yang bisa menghiasi pandangan mata, mengisi jiwa-rasa, membersihkan hati, dan menggerakkan kehidupan mereka.

Meminjam Mata

Melihat situasi ini, para penikmat seni rupa lantas sadar akhirnya harus ada pintu baru dan ruang alternatif untuk menyaksikan karya-karya seni yang terseleksi baik. Munculnya pameran koleksi OHD membuat mereka berpikir bahwa banyak kolektor lain di Indonesia yang bisa dipinjam matanya dan dipercaya seleksinya untuk memberikan hidangan seni rupa yang menarik bagi banyak orang. Dengan begitu, bukannya tidak mungkin pada 2012 akan digelar beragam koleksi pilihan simpanan kolektor Indonesia, yang diketahui memiliki nilai luar biasa. Kita tahu, dari sekitar 500 kolektor aktif Indonesia, sekurang-kurangnya ada 40 yang bisa disebut sebagai connoisseur, atau kolektor sejati. Banyak yang berkeyakinan karya yang ada di tangan connoisseur adalah inti sari dari seleksi penyelenggara pameran dan kurator.

Sudah waktunya kita mengapresiasi penglihatan dan pembacaan seni kolektor Indonesia. Buktinya, simak realitas ini. Majalah seni internasional Art+Auction edisi 5 Desember 2011 memuat nama kolektor Budiardjo Tek sebagai salah satu dari Top 10 Most Influential Persons di dunia. Namanya sejajar dengan kolektor Sheikha al-Mayassa binti Hamad bin Khalifa al-Thani dari Qatar, Eli Broad dan Peter Brant dari Amerika Serikat, Dasha Zhukova dari Rusia, serta Francois Pinault dari Prancis. Siapa Budiardjo Tek? Banyak yang tidak tahu. Bayangkan, kolektor yang kurang dikenal saja hebat, apalagi yang populer seperti Jusuf Wanandi, Deddy Kusuma, Ir Ciputra, Tossin Himawan, Budi Setiadharma, dan Wiyono.

Pada 2012, mata-mata kolektor ini akan ditemani "mata kompetisi". Sebab, pada Tahun Naga ini akan terselenggara berbagai kompetisi seni rupa, di antaranya Jakarta Art Awards (seni lukis), Indonesia Art Awards (seni rupa), UOB Painting of the Year Awards (seni lukis), Bazaar Art Awards (seni rupa), dan Bandung Contemporary Art Awards (seni rupa). Kompetisi ini akan dinilai bukan cuma oleh kritikus dan kurator, tapi juga oleh kolektor!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar