Freeport,
Mesuji, dan Sape
Bambang Setiaji, REKTOR
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
Sumber
: SINDO, 3 Januari 2012
Pelajaran apa yang dapat dipetik
dari kasus Mesuji (Lampung dan Sumatera Selatan) dan Sape (NTB) juga sebelumnya
belum kering darah pejuang buruh di Freeport?
Yaitu keberpihakan politik ekonomi
pemerintah terhadap kekuatan modal dan asing berhadapan dengan usaha rakyat
atau nasib rakyat. Negara sudah gagal merumuskan politik ekonomi yang tepat dan
hanya mengalir dengan dalih demokrasi, kebebasan, dan keterbukaan. Memang
investasi baik domestik maupun asing sangat diperlukan terutama untuk
menciptakan berbagai bisnis yang dapat mengurangi tekanan pengangguran—yang
harus dijadikan sasaran kebijakan ekonomi.
Pengangguran adalah berarti kefakiran atau ketiadaan penghasilan yang merupakan puncak dari kemiskinan. Di samping pengangguran terbuka,berjuta rakyat berada pada pekerjaan transitori atau pekerjaan ala kadarnya yang bersifat sementara sambil menunggu pekerjaan yang lebih permanen. Pentingnya investasi tersebut tidak berarti modal dapat berbuat apa saja,tapi harus terdapat skenario yang dibimbing oleh akal sehat.
Membiarkan semua kekuatan modal yang sering dapat memainkan apa saja atau menggiurkan siapa saja, termasuk membeli berbagai perizinan tentu akan mematikan usaha rakyat. Lebih dari itu ternyata harus dibayar sampai tertumpahnya darah rakyat yang tentu saja marah ketika satu satunya lahan atau usaha bisnisnya dilindas atas nama kompetisi atau liberalisasi, demokrasi, dan keterbukaan.
Di negara penganjur liberalisme seperti Amerika Serikat kebebasan tidak sampai melindas atau bersaing mematikan untuk melindungi usaha dasar seperti pertanian dan usaha kecil. Persaingan yang mematikan dilarang dengan Undang-Undang Antipersekongkolan.
Sebagai negara yang lebih sosialis sebagaimana amanat UUD 45 yang dilukiskan sebagai “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”, sehingga kompetisi dan kekuatan modal tidak dapat dibiarkan melindas sektor-sektor yang dapat dikerjakan rakyat atau yang akan menyengsarakan rakyat.
Usaha Rakyat
Dalam kasus Mesuji misalnya rakyat sudah memiliki tanah secara turun-temurun dalam jumlah yang cukup untuk menopang keluarga. Akan tetapi, yang diperlukan kebijakan yang mengarahkan agar modal tidak berada atau berbenturan pada sektor yang bisa dilakukan rakyat, tapi pada industri pengolahannya. Industri pengolahan ini akan sangat berperan dalam menyerap hasil produksi rakyat dan memberi lapangan kerja tambahan bagi keluarga sekitarnya.
Demikian juga di NTB dan di beberapa tempat yang lain, kolaborasi dapat dilakukan dengan memisahkan sektor yang dapat dikerjakan rakyat dan sektor yang sebaiknya dikerjakan kekuatan modal. Itulah makna ekonomi disusun dalam usaha bersama yang sangat berbeda dengan politik ekonomi dewasa ini yang sangat liberal. Saat ini swasta dan modal dapat berperan di sekor apa saja dan malangnya disertai menggusur apa yang sudah dapat dilakukan rakyat.
Situasinya dapat digambarkan seperi zaman kolonial di mana sektor bisnis besar VOC menggusur usaha rakyat disertai kekerasan yang diperkuat kekuatan bersenjata. Di sektor kehutanan yang di dalamnya terdapat masalah pelestarian yaitu tanggung jawab menanam kembali, rakyat sudah terbukti dapat melestarikan bahkan secuil tanah dalam industri pertanian.Bisa dimodelkan misalnya satu keluarga melakukan bagi hasil dengan pemerintah dengan jalan mengelola hutan.
Misalnya umur kayu dua puluh tahun, seorang keluarga mengelola 20 hektare dan memanen satu tahun satu hektare. Hasilnya dibagi dengan negara, tentu rakyat akan menjaganya untuk penanaman kembali sebagai tradisi sebagaimana pelestarian padi dan sawah selama ini yang terbukti betapa rakyat sangat committed. Pada prinsipnya ekonomi kekeluargaan adalah ekonomi yang dipikirkan supaya pasar yang diizinkan beroperasi secara normal tidak berbenturan atau menyakiti atau melindas usaha rakyat.
Di dalamnya ada kebaikan hati atau keberpihakan. Keberpihakan ini juga tidak boleh semena-mena yang dapat diselewengkan menjadi tindakan korup. Kejujuran harus menjadi sistem yang menyertai yang dirumuskan secara cerdas, jadi di samping kebaikan hati, ekonomi kekeluargaan juga memerlukan kecermatan sistem yang dengan cerdas dirancang supaya sehingga terhindar dari penyelewengan dari tujuannya yang mulia.
Kendali Modal
Corak ekonomi dalam satu dekade ini sangat mengusik rasa keadilan. Pertama, ekonomi tumbuh dan mencapai pendapatan per kapita USD3000 atau hampir Rp30 juta per orang per tahun,tetapi sebagian besar rakyat hidup dengan upah minimum kurang dari Rp1 juta per bulan untuk satu keluarga kecil. Dengan kata lain selama satu dekade ini ekonomi menjadi sangat timpang. Kedua,ekonomi mengalami pertumbuhan yang terjadi pada sekelompok kecil pelaku ekonomi, tetapi kelihatannya dengan menyisihkan usaha rakyat.
Kondisi ini disertai pula dengan pengangguran yang senantiasa meningkat yang merupakan angkatan kerja yang penuh harapan selepas dari sekolah menengah dan bahkan pendidikan tinggi. Ketiga, kekuatan modal tidak diarahkan misalnya untuk masuk kepada industri pengolahan dengan membawa teknologi baru yang diperkenalkan kepada tenaga kerja Indonesia.
Keempat, modal berkolaborasi dengan kekuatan bersenjata karena modal memiliki potensi benturan kepentingan dengan masyarakat atau bersifat substitusi dan bukannya komplementer di mana modal mengambil peran di sektor sekunder dan tersier yang justru mewadahi usaha rakyat.
Akhir dari cerita ini bisa dibayangkan bahwa apa yang sedang terjadi selama ini adalah absennya politik ekonomi atau keberpihakan yang dipikirkan dengan akal sehat yang mengarahkan kekuatan ekonomi menuju sasaran keadilan dan kekeluargaan atau kolaborasi antarpelaku yang kokoh sebagaimana dibayangkan dalam model ekonomi UUD 45. ●
Pengangguran adalah berarti kefakiran atau ketiadaan penghasilan yang merupakan puncak dari kemiskinan. Di samping pengangguran terbuka,berjuta rakyat berada pada pekerjaan transitori atau pekerjaan ala kadarnya yang bersifat sementara sambil menunggu pekerjaan yang lebih permanen. Pentingnya investasi tersebut tidak berarti modal dapat berbuat apa saja,tapi harus terdapat skenario yang dibimbing oleh akal sehat.
Membiarkan semua kekuatan modal yang sering dapat memainkan apa saja atau menggiurkan siapa saja, termasuk membeli berbagai perizinan tentu akan mematikan usaha rakyat. Lebih dari itu ternyata harus dibayar sampai tertumpahnya darah rakyat yang tentu saja marah ketika satu satunya lahan atau usaha bisnisnya dilindas atas nama kompetisi atau liberalisasi, demokrasi, dan keterbukaan.
Di negara penganjur liberalisme seperti Amerika Serikat kebebasan tidak sampai melindas atau bersaing mematikan untuk melindungi usaha dasar seperti pertanian dan usaha kecil. Persaingan yang mematikan dilarang dengan Undang-Undang Antipersekongkolan.
Sebagai negara yang lebih sosialis sebagaimana amanat UUD 45 yang dilukiskan sebagai “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”, sehingga kompetisi dan kekuatan modal tidak dapat dibiarkan melindas sektor-sektor yang dapat dikerjakan rakyat atau yang akan menyengsarakan rakyat.
Usaha Rakyat
Dalam kasus Mesuji misalnya rakyat sudah memiliki tanah secara turun-temurun dalam jumlah yang cukup untuk menopang keluarga. Akan tetapi, yang diperlukan kebijakan yang mengarahkan agar modal tidak berada atau berbenturan pada sektor yang bisa dilakukan rakyat, tapi pada industri pengolahannya. Industri pengolahan ini akan sangat berperan dalam menyerap hasil produksi rakyat dan memberi lapangan kerja tambahan bagi keluarga sekitarnya.
Demikian juga di NTB dan di beberapa tempat yang lain, kolaborasi dapat dilakukan dengan memisahkan sektor yang dapat dikerjakan rakyat dan sektor yang sebaiknya dikerjakan kekuatan modal. Itulah makna ekonomi disusun dalam usaha bersama yang sangat berbeda dengan politik ekonomi dewasa ini yang sangat liberal. Saat ini swasta dan modal dapat berperan di sekor apa saja dan malangnya disertai menggusur apa yang sudah dapat dilakukan rakyat.
Situasinya dapat digambarkan seperi zaman kolonial di mana sektor bisnis besar VOC menggusur usaha rakyat disertai kekerasan yang diperkuat kekuatan bersenjata. Di sektor kehutanan yang di dalamnya terdapat masalah pelestarian yaitu tanggung jawab menanam kembali, rakyat sudah terbukti dapat melestarikan bahkan secuil tanah dalam industri pertanian.Bisa dimodelkan misalnya satu keluarga melakukan bagi hasil dengan pemerintah dengan jalan mengelola hutan.
Misalnya umur kayu dua puluh tahun, seorang keluarga mengelola 20 hektare dan memanen satu tahun satu hektare. Hasilnya dibagi dengan negara, tentu rakyat akan menjaganya untuk penanaman kembali sebagai tradisi sebagaimana pelestarian padi dan sawah selama ini yang terbukti betapa rakyat sangat committed. Pada prinsipnya ekonomi kekeluargaan adalah ekonomi yang dipikirkan supaya pasar yang diizinkan beroperasi secara normal tidak berbenturan atau menyakiti atau melindas usaha rakyat.
Di dalamnya ada kebaikan hati atau keberpihakan. Keberpihakan ini juga tidak boleh semena-mena yang dapat diselewengkan menjadi tindakan korup. Kejujuran harus menjadi sistem yang menyertai yang dirumuskan secara cerdas, jadi di samping kebaikan hati, ekonomi kekeluargaan juga memerlukan kecermatan sistem yang dengan cerdas dirancang supaya sehingga terhindar dari penyelewengan dari tujuannya yang mulia.
Kendali Modal
Corak ekonomi dalam satu dekade ini sangat mengusik rasa keadilan. Pertama, ekonomi tumbuh dan mencapai pendapatan per kapita USD3000 atau hampir Rp30 juta per orang per tahun,tetapi sebagian besar rakyat hidup dengan upah minimum kurang dari Rp1 juta per bulan untuk satu keluarga kecil. Dengan kata lain selama satu dekade ini ekonomi menjadi sangat timpang. Kedua,ekonomi mengalami pertumbuhan yang terjadi pada sekelompok kecil pelaku ekonomi, tetapi kelihatannya dengan menyisihkan usaha rakyat.
Kondisi ini disertai pula dengan pengangguran yang senantiasa meningkat yang merupakan angkatan kerja yang penuh harapan selepas dari sekolah menengah dan bahkan pendidikan tinggi. Ketiga, kekuatan modal tidak diarahkan misalnya untuk masuk kepada industri pengolahan dengan membawa teknologi baru yang diperkenalkan kepada tenaga kerja Indonesia.
Keempat, modal berkolaborasi dengan kekuatan bersenjata karena modal memiliki potensi benturan kepentingan dengan masyarakat atau bersifat substitusi dan bukannya komplementer di mana modal mengambil peran di sektor sekunder dan tersier yang justru mewadahi usaha rakyat.
Akhir dari cerita ini bisa dibayangkan bahwa apa yang sedang terjadi selama ini adalah absennya politik ekonomi atau keberpihakan yang dipikirkan dengan akal sehat yang mengarahkan kekuatan ekonomi menuju sasaran keadilan dan kekeluargaan atau kolaborasi antarpelaku yang kokoh sebagaimana dibayangkan dalam model ekonomi UUD 45. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar