Selasa, 17 Januari 2012

Ketimpangan Pembangunan Ekonomi

Ketimpangan Pembangunan Ekonomi
Ahan Syahrul Arifin, PENGAMAT KEBIJAKAN PUBLIK DARI UNIVERSITAS INDONESIA
Sumber : SUARA KARYA, 17 Januari 2012



Data dan statisika pencapaian Produk Domestik Bruto (PDB) bisa memberikan gambaran mengenai status kehidupan sebuah negara hingga dapat disebut negara maju, berkembang, miskin atau makmur. PDB, menurut Ekonom Gregory Mankiw, adalah akumulasi nilai pasar seluruh barang dan jasa yang diproduksi negara dalam periode tertentu. Dalam konteks pembangunan ekonomi, PDB merupakan parameter untuk menentukan derajat kemakmuran sebuah bangsa.

Secara umum para perencana kebijakan ekonomi meletakkan fondasi pembangunan sebuah negara berdasarkan tingkat PDB. Sederhananya, tinjauan angka-angka dari PDB dapat meneropong tingkat kesejahteraan penduduk di sebuah negara.

Nah, mari selanjutnya kita cermati data dan statisika PDB Indonesia sebagai cerminan kemakmuran. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 menyebutkan PDB per kapita sebesar 27,0 juta rupiah, naik dari 23,9 juta rupiah (2009) dengan tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 6,1% pada tahun 2010. Dari data tersebut kita bisa menganalisa bahwa pendapatan kotor masyarakat pada tahun 2010 sebesar 27 juta rupiah naik dari 23,9 pada tahun 2009.

Selanjutnya, apabila kita lihat dari sudut pulau mana yang menjadi penyumbang terbesar PDB. Data BPS menyebutkan pada tahun 2010, Pulau Jawa menyumbang angka sebesar 58,0%, diikuti dengan Sumatra (23,1%), Kalimantan (9,2%), Sulawesi (4,6%), Bali dan Nusa Tenggara (2,7%), serta Papua yang digabung dengan Maluku menyumbang 2,4%.

Lalu, sampai triwulan kedua 2011 angka tersebut tidak banyak mengalami perubahan. Sajian BPS menyebutkan Jawa masih memimpin dengan menjadi menyumbangkan angka 57,7% dari total PDB diikuti dengan Sumatra sebesar 23,5 %, Kalimantan (9,5%), Sulawesi (4,7%) Bali dan Nusa Tenggara (2,5%) dan gabungan Papua serta Maluku (2,1%).

Data peranan pulau-pulau penyumbang angka PDB memberikan makna bagaimana ketimpangan pembangunan sangat besar. Data tersebut memberikan pengertian bahwa pembangunan dan distribusi pendapatan masih tersentral di Pulau Jawa. Akibatnya, terjadi kesenjangan kesejahteraan yang membuat penduduk di luar Jawa berduyun-duyun ingin mengecap manisnya pembangunan. Logika 'di mana ada gula, di situ ada semut' berlaku dalam konteks ini.

Sumbangsih pulau dalam PDB adalah cerminan bagaimana pembangunan ekonomi tidak beracuan pada aspek keadilan dan pemerataan. Jelas data ini mengungkapkan ketimpangan pembangunan yang tajam.

Berikutnya, bila kita amati struktur PDB dari faktor usaha yang memberi kontribusi besar dari 9 sektor yang ada. Pada triwulan kedua 2011, sektor industri pengolahan masih memimpin dengan kapasitas 24,3%, lalu pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan menyumbang angka 15,4%, perdagangan, hotel dan restaran (13,9%), pertambangan dan penggalian berada diurutan keempat (11,6%), jasa-jasa (10,3%), konstruksi (10,1%), keuangan, real estate, dan jasa perusahaan (7,2%), pengangkutan dan telekomunikasi (6,4%), serta terakhir listrik, air bersih dan gas (0,8%).

Data ini secara eksplisit mengungkapkan bahwa sektor padat karya yang menjadi mata pencaharian sebagian besar penduduk, yakni sektor pertanian, peternakan, perikanan dan kehutanan belum menjadi prioritas utama dari pembangunan. Kita bisa bayangkan bagaimana empat sektor tersebut hanya menyumbang 15,4% dari PDB. Sederhananya, pundi-pundi perekonomian nasional masih berasal dari sektor non-tradeable, sedangkan donasi tenaga kerja bersumber dari sektor-sektor riil.

Dari sini kita bisa menilik fokus kebijakan yang tidak berpihak pada penguatan dan peningkatan baik dari sisi sumber daya manusia (SDM), modal maupun teknologi pada sektor pertanian, peternakan, perikanan dan kehutanan kurang diperhatikan. Maka, tidak salah apabila di negeri bahari pemilik pantai terpanjang di dunia ini, garam harus impor dari India. Gandum, jagung bahkan beras pun harus impor dari Vietnam dan Thailand.

Angka kemiskinan yang tercatat BPS hingga Maret 2011 ternyata masih berada di angka 12,49% dari jumlah penduduk atau 30,03 juta orang masih berada di bawah angka kemiskinan. Sementara tingkat pengangguran masih berada pada level 8,3% dari jumlah angkatan kerja. Dengan kacamata kuda, orang awam pun mengetahui bahwa angka yang tercermin dari PDB bukanlah acuan paling sempurna dalam memotret kemakmuran. Alangkah naifnya, bila angka-angka ini berikut pertumbuhan ekonomi beserta indikator-indikator makroekonomi yang kinclong diklaim sebagai keberhasilan pembangunan.

Mahbub ul Haq pernah mengatakan bahwa inilah dosa tidak terampuni bagi para perencana kebijakan yang 'menuhankan' data-data dan statistika makro tanpa melihat realitas yang terjadi di masyarakat.

Menurut angka data PDB per kapita kita memang cukup besar. Tetapi, apakah data tersebut benar? Tentunya bagi sebagian kecil penduduk, data tersebut benar, bahkan banyak yang pendapatannya lebih dari Rp 27 juta per tahun. Namun, seberapa besar dan seberapa banyak? Selanjutnya bekerja di sektor apa dan berdomisili di mana? Pernahkan sektor informal diperhatikan? Sudahkah rakyat miskin dijadikan patokan pembangunan?

Inilah dosa para perencana kebijakan yang gagal menyamakan atau paling tidak memperpendek jarak antara angka-angka statistik pertumbuhan ekonomi, PDB dan pemerataan pembangunan yang dirasakan masyarakat. Para perencana dan pengambil kebijakan yang terlalu menyederhanakan masalah dan melihat pada aspek-aspek makro dan data-data yang tersentral di Jawa. Cerminan dari cara berpikir yang terlampau sederhana, mengandalkan asumsi-asumsi rasional, linear, dan pada akhirnya model kebijakan yang diambil tidak pernah menyentuh masyarakat.

Nah, apalah arti angka-angka tersebut bila dihadapkan dengan kenyataan masyarakat yang masih kesulitan mencari pekerjaan, kesusahan membeli beras, garam dan gula?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar