Selasa, 17 Januari 2012

Ideologi Ekonomi Bakul Dawet


Ideologi Ekonomi Bakul Dawet
M Sobary, ESAIS, ANGGOTA PENGURUS MASYARAKAT BANGGA PRODUK INDONESIA,
UNTUK ADVOKASI, MEDIASI, DAN PROMOSI
Sumber : SINDO, 17 Januari 2012




Ekonom terkemuka Profesor Mubyarto mengamati dengan cermat sikap dan tingkah laku ekonomi bakul dawet—tukang cendol— yang bersahaja. Kita tahu, bakul dawet di kampungkampung di Jawa terdiri atas mayoritas kaum perempuan.

Dawet itu ditaruh di dalam jun, yaitu wadah terbuat dari tanah liat yang dibakar menjadi gerabah seperti periuk tetapi agak lebih besar dengan kapasitas lima sampai tujuh liter. Jun berisi dawet itu ditaruh di dalam bakul, kemudian digendongnya ke sana kemari ke tempat para pembeli. Perempuan, yang kelihatannya lemah itu, mampu menggendong bebannya sejauh 5–10 km menjelajah dari jalan utama di mulut desanya menuju ke sawahsawah yang terbentang luas dan menguning melalui galengan, yaitu jalur kecil-kecil di antara petak sawah yang satu dengan petak sawah yang lain, yang sedang panen padi.

Bakul dawet itu melayani para pemetik padi yang sedang bekerja di tempat-tempat yang berjauhan letaknya. Jika para pemetik padi itu pemilik sawah, tukang dawet akan memperoleh padi sebagai hasil penjualan barter dawetnya dengan padi tersebut. Jika para pemetik padi itu para buruh, yang tak memiliki kewenangan “membelanjakan” padinya, mereka akan membayar dawet yang mereka minum dengan uang.

Begitu tali-temali bisnis sederhana di antara mereka, yang bertahan melintasi batas zaman dan sejarah kaum tani, yang tidak tampak kaya tetapi jelas tampak berdaulat atas diri mereka sendiri. Mereka saling mengenal—setidaknya mengenal rupa masingmasing— berkat rutinitas yang mentradisi dan terjaga baik. Mereka membentuk suatu rantai ekonomi yang tak boleh putus.Buktinya? Pada suatu hari Profesor Mubyarto menyaksikan seorang bakul dawet dipanggil seorang pembeli yang berniat memborong sekaligus seluruh dagangannya.

Si mbakyu bakul dawet menjawab kalem: “Wo lha ndak boleh.” Dan ketika ditanya apa alasannya,dengan kalem pula dia menjawab: “Lha kalau diborong di sini semua, langganan saya yang di sana itu semua—sambil mengarahkan pandangannya ke para pemetik padi—mau minum apa?” “Kalau saya borong semua kamu bisa menyiapkan lagi dawet baru untuk mereka.

Dengan begitu daganganmu laku lebih banyak,” kata si pembeli meyakinkan. Tapi si mbakyu bakul dawet menjawab bahwa dagangannya ini sudah banyak. Rata-rata tiap hari habis. Dan jika ada sisa,itu bukan hal yang disesalinya karena sisa itu disediakan untuk anak-anaknya. Sampai di situ ahli ekonomi dari Universitas Gajahmada tersebut membeberkan ceritanya.

Lantas dia memberikan interpretasinya,bahwa ekonomi rakyat itu ada,sangat nyata, dan ideologi di baliknya juga nyata, bahkan lebih nyata dari ideologi apa pun karena ideologi “ini sudah cukup” atau pandangan hidup “secukupnya”, yang merupakan filsafat hidup orang Jawa, dilaksanakannya dalam wujud nyata sebagai bentuk tingkah laku ekonomi mbakyu bakul dawet tadi.

Tingkah laku ekonomi itu dibangun di atas landasan pandangan hidup “secukupnya” yang sudah berakar sangat dalam di dalam tradisi kehidupan para petani. Dan kaum pinandita— kaum cerdik pandai—itu hendak menggunakannya untuk sebutan ekonomi kita, ekonomi Indonesia. Revrisond Baswir, kaum pinandita dari universitas yang sama,yang lebih muda dari Profesor Mubyarto,menceritakan dalam bukunya Manifesto Ekonomi Kerakyatan bagaimana gagasan itu ditolak dalam suatu pertemuan resmi dan serius dan diusulkannya gagasan ekonomi kerakyatan.

Profesor Mubyarto agak kecewa. Dan di kemudian hari, Revrisond— Bung Sony—, ekonom populis yang jelas ideologi kerakyatannya, mengajukan pemikiran mengenai “ekonomi kerakyatan” itu. Baginya, ini ekonomi yang lekat dengan konstitusi dan tujuan bernegara di mana rakyat harus dibebaskan dari penghisapan ekonomi oleh kaum kolonialis dan imperialis yang kejam. Rakyat, baginya, harus diberi kedaulatan dan dibikin agar mampu berdaulat secara nyata di dalam bidang ekonomi.

Rakyat tidak boleh ditindas oleh kekuatan apa pun. Maka, dengan mengutip Bung Hatta, dia menekankan bahwa bila rakyat belum berdaulat secara ekonomi, karena belum ada wujud demokrasi ekonomi, artinya rakyat belum merdeka. Pemikirannya jernih dan terang benderang bahwa di balik duit,di balik sistem,harus ada ideologi yang membela kepentingan rakyat yang memang lemah seperti mbakyu bakul dawet tadi agar cara hidup dan tingkah laku ekonominya itu memberi makna lebih besar bagi kehidupannya sendiri.

Tapi satu hal sudah jelas: sikap secukupnya dan tidak serakah tadi bisa dikapitalisasi menjadi ideologi ekonomi yang baik bagi sistem perekonomian kita. Serakah dan mematikan yang kecil—bahkan sengaja sejak awal untuk mengganyang tanpa ampun semua kekuatan ekonomi yang lemah—harus dianggap musuh kita. Bangsa kita diinjak-injak oleh sistem itu. Sekarang pun kenyataannya sistem itu yang kita terima.

Tapi adakah kita bersedia menerimanya untuk seterusnya? Apa yang kecil dan lemah diganyang. Hanya yang besar dan kuat yang berhak hidup.Ini tidak cocok bukan hanya dengan kodrat kehidupan, melainkan juga bertentangan dengan berbagai corak kebudayaan lain, yang pada hakikatnya sudah memiliki ideologi ekonomi tersendiri. Yang bikin jengkel dan muak adalah bahwa para pejabat kita, yang serakah dan tak memahami mandat konstitusi,membiarkan kejahatan ekonomi ini tetap merajalela. Kalau hanya itu, dosa yang mereka pikul masih agak sederhana.

Tapi kalau para pejabat menjadi sahabat orangorang asing yang serakah dan mematikan ekonomi kita, maka pejabat macam itu bukan pejabat namanya. Mereka golongan terkutuk. Merekalah yang meloloskan UU perbankan, UU perdagangan internasional, UU perkebunan, UU pertambangan. Mereka pula yang membuatnya atas nasihat orangorang asing yang berwatak kolonialis dan imperialis, yang tak peduli rakyat kita megapmegap. Di sini saya menegaskan bahwa saya membela petani tembakau yang memiliki ideologi ekonomi seperti mbakyu bakul dawet tadi.

Dan dalam kerangka kebangsaan, saya juga membela pabrik-pabrik rokok keretek yang hendak dibunuh melalui tangan para pejabat kita sendiri. Kaum kolonial yang serakah sama berbahayanya dengan para pejabat kita sendiri yang serakah. Mereka memusuhi kehidupan dan ideologi ekonomi bangsanya sendiri. Saya gembira ada ekonom-ekonom yang wawasan ideologi dan kebangsaannya jelas. Kita dukung mereka agar mbakyu bakul dawet dan petani tembakau maupun pabrik-pabrik milik bangsa kita berkembang demi keadilan ekonomi dan demokrasi ekonomi di halaman kita sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar