Dari
Kakao hingga Sandal Jepit
Suhardi
Suryadi, WAKIL
KOORDINATOR ICW
Sumber
: KOMPAS, 20 Januari 2012
Persidangan kasus pencurian sandal jepit oleh
AAL semakin melengkapi situasi penegakan hukum yang kurang mencerminkan rasa
keadilan, terutama bagi warga miskin.
Pemerintah, khususnya instansi penegak hukum,
tampaknya tak pernah belajar dari kasus sebelumnya dan berusaha mencari
pendekatan baru bagaimana menegakkan hukum dengan mempertimbangkan dimensi
sosial dan rasa keadilan. Penegak hukum masih menggunakan kacamata kuda dalam
melihat kasus tindak pidana dengan lebih mengedepankan aspek normatif.
Proses Kultural
Apa yang menimpa Ibu Minah yang dihukum
karena mencuri tiga biji kakao, AAL, dan lainnya membuat masyarakat frustrasi
dan tidak berdaya dalam mencari keadilan. Keberadaan lembaga hukum formal pun
kehilangan legitimasi. Dalam situasi penegakan hukum yang menjauh dari rasa
keadilan bagi masyarakat miskin, sudah selayaknya jika kapasitas hukum
masyarakat diperkuat kembali.
Masyarakat pada dasarnya sudah memiliki
nilai-nilai dan tradisi penegakan hukum yang bersumber dari agama dan tradisi
lokal. Bahkan, institusi kepolisian telah membentuk apa yang disebut kepolisian
masyarakat. Sayangnya, wadah yang dirintis sejak 10 tahun lalu itu hanya
formalitas tanpa dikembangkan substansinya, yaitu membantu kepolisian dalam
mengatasi masalah keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas).
Pemberdayaan kapasitas hukum inilah yang
ditelantarkan. Ada kesan pembangunan hukum cukup disandarkan pada aturan
perundangan dan lembaga hukum yang sudah ada tanpa perlu mempertimbangkan
pengetahuan dan aspirasi lokal yang ada. Terlebih lagi urusan hukum dinilai
sebagai kewenangan pemerintah pusat yang tidak dapat dialihkan ke pemerintah
daerah, apalagi ke masyarakat.
Pemberdayaan hukum masyarakat tidak sekadar
mengajarkan tata aturan hukum formal, tetapi juga memperluas proses kultural.
Esensinya memberi kesempatan dan kepercayaan masyarakat menyelesaikan persoalan
hukum di lingkungannya. Namun, perlu disadari, pemberian kewenangan ini tidak
untuk semua masalah hukum. Pemberian ruang kepada masyarakat, dalam konteks
ini, terbatas pada aspek tindak pidana ringan, seperti pencurian hasil
pertanian, perkelahian antarwarga, dan jenis tindak pidana ringan lain.
Pemberdayaan hukum masyarakat dapat dilakukan
melalui pemberian kewenangan kantor desa, lembaga adat, kepolisian masyarakat,
dan lembaga sejenis untuk menyelesaikan setiap bentuk tindak pidana ringan
melalui mediasi atau musyawarah.
Setidaknya ada dua tahapan yang dapat
dilakukan. Pertama, mendorong, mengorganisasi, dan memfasilitasi masyarakat
untuk merumuskan bentuk sanksi sosial bagi setiap warga yang mecuri atau
melakukan tindak pidana. Sanksi sosial bersifat mendidik dan penyadaran agar
warga tidak mengulang perbuatannya. Bentuk sanksi dapat dikembangkan, dari yang
ringan, yakni cukup minta maaf di depan forum dan berjanji tak mengulangi,
kerja sosial, hingga diusir dari desa atau kampung. Manakala tindak pidananya
berulang-ulang dengan motif ekonomi, pelaku dapat diserahkan ke kepolisian.
Kedua, membangun mekanisme penyelesaian kasus
melalui proses persidangan. Ketika seseorang melakukan tindak pidana ringan, ia
tidak langsung diserahkan ke kepolisian, tetapi disidang oleh masyarakat.
Dalam persidangan, tokoh-tokoh masyarakat,
kepala desa/kampung, dan aparat kepolisian dihadirkan sebagai narasumber. Warga
yang didakwa mencuri diberikan kesempatan menjelaskan alasannya mencuri.
Kemudian kebenarannya dikonfirmasi kepada korban dan saksi. Setelah semua pihak
memberi pertimbangan dan penilaian, baru diputuskan bentuk sanksi sesuai dengan
kategori kesalahan. Hasil sidang dapat dibuat dalam bentuk akta perjanjian
dengan terdakwa dan diketahui tokoh masyarakat sebagai saksi serta dikukuhkan
oleh kepolisian.
Mencegah Anarki
Pemberdayaan masyarakat untuk mengatasi
berbagai tindak pidana ringan di lingkungannya kelak dapat membantu akses
masyarakat miskin pada keadilan. Masyarakat tidak perlu mengeluarkan biaya
untuk hadir dalam persidangan dan jadi miskin karena kehilangan sumber mata
pencaharian akibat dipenjara.
Tanpa memberdayakan kapasitas hukum
masyarakat, niscaya kasus-kasus sejenis AAL dan Ibu Minah akan muncul kembali.
Pertanyaannya, siapkah lembaga penegak hukum menyerahkan sebagian kewenangannya
kepada masyarakat? Jika tidak, ketika keadilan semakin jauh dari rakyat,
dikhawatirkan kebencian masyarakat terhadap lembaga hukum dengan cara membakar
kantor kepolisian dan pengadilan serta melakukan tindakan anarkistis lain akan
menjadi masalah biasa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar