Fundamentalisme
Yahudi
Ulil Abshar-Abdalla, AKTIVIS
JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
Sumber
: JIL, 6 Januari 2012
Apa
yang diperlihatkan oleh kelompok Yahudi ultra-Ortodoks ini sebetulnya
menunjukkan bahwa gejala fundamentalisme bukanlah khas pada agama tertentu,
tetapi ada pada agama-agama besar dunia. Ada di Yahudi, ada di Kristen, dan ada
pula di Islam.
Namanya Naama Margolese. Umurnya 8 tahun,
duduk di kelas dua sekolah dasar. Ia seorang puteri dari keluarga Yahudi
ortodoks imigran dari Amerika yang tinggal di kota Beit Shemesh, kota
“konservatif” yang terletak antara Jerusalem dan Tel Aviv di Israel.
Pertengahan Desember tahun lalu, gadis kecil ini menjadi pembicaraan yang ramai
di Israel. Publik Israel marah bukan main karena ia menjadi sasaran pelecehan
oleh sekelompok priaYahudi ultra-Ortodoks. Peristiwa ini dilaporkan oleh Isabel
Kershner di koran The New York Times (27/12/2011).
Ceritanya sederhana. Suatu hari di bulan
Desember tahun lalu, saat Margolese pulang dari sekolah, seorang laki-laki
Yahudi meludahinya, menghujaninya dengan kata-kata kotor, dan menyebutnya
sebagai pelacur. Rupanya laki-laki Yahudi ultra-Ortodoks itu marah karena
sebagai gadis, Margolese tidak berpakaian sebagaimana diatur dalam hukum agama
Yahudi. Margolese memakai pakaian yang cukup sopan sebetulnya, tetapi masih
dianggap kurang “relijius” oleh kalangan Yahudi ultra-Ortodoks.
Setelah peristiwa pelecehan ini, ribuan orang
Yahudi, terutama kalangan Ortodoks yang moderat, ramai-ramai mendatangai kota
Beit Shemesh untuk memprotes kekerasan dan fanatisme. Kalangan Yahudi
ultra-Ortodoks meneriaki wartawan perempuan yang meliput protes itu dengan
sebutan “shikse”, alias ‘pelacur’ dalam dialek Yiddish.
Pandangan kaum Yahudi ultra-Ortodoks
agak-agak mengingatkan kita pada kaum Muslim fundamentalis pada umumnya. Kedua
kelompok itu, misalnya, mempunyai visi yang kurang lebih sama tentang perempuan
serta tempatnya dalam masyarakat. Mereka, kalangan ultra-Ortodoks itu,
misalnya, berpendapat bahwa laki-laki diharamkan untuk mendengarkan suara
perempuan.
Seorang tentara Yahudi Ortodoks pernah
meninggalkan barisan yang sedang menyanyikan mars militer, karena di sebelahnya
ada seorang tentara perempuan yang ikut bernyanyi. Ini mengingatkan kita pada
pandangan sebagian kalangan Islam (ortodoks/konservatif) yang menganggap bahwa
suara perempuan adalah aurat yang harus dihindari.
Di kota Beit Shemesh, perempuan diharuskan
duduk di bagian paling belakang di bus-bus umum. Segregasi ruang diterapkan
untuk memisahkan antara laki-laki dan perempuan. Pada malam hari, bangku-bangku
di tempat umum kerap disingkirkan oleh kaum ultra-Ortodoks di kota itu.
Tujuannya, agar perempuan tak memakainya sebagai tempat untuk kongkow dan
ngobrol.
(Catatan: Memang ada beberapa kemiripan
antara hukum Torah dan hukum fikih yang berkembang dalam tradisi Islam. Adakah
proses saling pengaruh-mempengaruhi di sini?).
Negara Israel memang negara Yahudi, dan
diperuntukkan untuk bangsa Yahudi. Mungkin inilah negara satu-satunya di muka
bumi yang mempunyai watak etnik dan keagamaan yang begitu kental. Tak ada
negeri manapun di dunia ini yang berdiri dengan niat khusus untuk menampung
etnik atau bangsa tertentu. Tetapi, sebagaimana dinyatakan oleh PM Israel
Benyamin Netanyahu, menanggapi kasus Naama Margolese itu, Israel tetaplah
“negara demokratis, berwatak Barat (Western), dan liberal.” Dengan kata lain,
meskipun Israel adalah negara Yahudi, ia juga sekaligus merupakan negara
sekuler.
Watak sekuler inilah yang sejak lama diprotes
oleh kelompok Yahudi Ortodoks atau ultra-Ortodoks. Mereka ingin menjadikan
Israel sepenuhnya sebagai negara agama dan diatur menurut hukum agama Yahudi
yang sangat ketat (hukum Torah). Mereka menolak negara sekuler Israel karena
negeri semacam ini, dalam pandangan mereka, diatur oleh “chukos ha goyim”,
yakni hukum Gentile, yakni bangsa-bangsa non-Yahudi (Baca artikel Samuel C.
Heilman dan Menachem Friedman dalam buku yang disunting Martin E. Marty dan
Scott R. Appleby, Fundamentalism Observed [1991]).
Tentu saja, kalangan sekuler atau moderat di
Israel yang jumlahnya jauh lebih besar, menolak visi negara agama seperti
dikehendaki oleh kaum ultra-Ortodoks itu. Meskipun, di bawah kepemimpinan
Partai Likud dan PM Benyamin Netanyahu sekarang, pengaruh kaum Yahudi
ultra-Ortodoks pelan-pelan memang menguat, melampuai jumlah numerik mereka yang
sebetulnya sangat kecil. Menurut estimasi Heilman dan Friedman (1991:198),
jumlah kaum Yahudi ultra-Ortodoks hanyalah 30% dari total pengikut Yahudi
Ortodoks. Sementara jumlah kelompok yang terakhir ini hanyalah 15% dari total
orang Yahudi di seluruh dunia (sekitar 13,5 juta).
Apa yang diperlihatkan oleh kelompok Yahudi
ultra-Ortodoks ini sebetulnya menunjukkan bahwa gejala fundamentalisme bukanlah
khas pada agama tertentu, tetapi ada pada agama-agama besar dunia. Ada di
Yahudi, ada di Kristen, dan ada pula di Islam.
Kelompok Yahudi ultra-Ortodoks biasa disebut
sebagai Haredim. Tentu menarik melihat akar-akar historis munculnya kelompok
Yahudi ultra-Ortodoks itu. Munculnya kelompok ini bisa ditelusuri jauh ke
belakang, yakni pada saat terjadi gerakan Pencerahan di Eropa pada abad ke-18
yang kemudian berujung pada munculnya negara modern yang sekular.
Umat Yahudi, terutama yang tinggal di Jerman
dan Eropa Timur (biasa disebut dengan Yahudi Ashkenazim), mempunyai reaksi yang
berbeda-beda terhadap modernisasi dan sekularisasi Eropa yang diakibatkan oleh
Pencerahan itu. Sekurang-kurangnya ada tiga jenis reaksi terhadap modernisme.
Pertama, kelompok asimilasionis—kelompok
Yahudi yang mau membaur dengan kebudayaan modern, melebur diri dalam kultur
negara di mana mereka tinggal (terutama Jerman). Mereka menerima modernisme
secara total. Akibatnya, mereka kehilangan identitas mereka sebagai orang
Yahudi. Mereka ini biasa disebut sebagai “orang Yahudi yang bukan Yahudi”
(non-Jewish Jews).
Kaum asimilasionis ini dikritik oleh kalangan
Yahudi lain, karena mereka menerima modernisme dengan mengorbankan identitas
mereka sebagai bangsa Yahudi. Kelompok kedua ini lebih cenderung mengambil
sikap tengah, yakni menerima modernisme, tetapi sekaligus mempertahankan
identitas keyahudian. Memakai bahasa kalangan nahdliyyin, kira-kira mereka
memakai prinsip al-muhafadzah ‘ala ‘l-qadim al-shalih, wa ‘l-akhdzu bi
‘l-jadid al-ashlah (mempertahankan tradisi lama yang baik, seraya menerima
hal-hal baru yang lebih baik).
Kelompok kedua ini biasa disebut sebagai kaum
akulturasionis—mereka yang cenderung memilih jalan akulturasi, yakni
menyesuaikan ajaran dan tradisi yang ada dengan lingkungan baru yang sudah
berubah. Kelompok Haskalah atau Maskilim bisa digolongkan kedalam golongan ini.
Tokoh terpenting mereka adalah Moses Mendelssohn (1729-1786), seorang filosof
Yahudi yang masyhur karena gagasannya tentang reformasi agama Yahudi. Mereka
ini biasa dipandang sebagai kelompok Yahudi pencerahan.
Tetapi, di mata kalangan Yahudi lain yang
lebih “fanatik”, posisi akulturasionis yang diambil oleh kelompok Maskilim itu
juga dianggap mengandung bahaya. Pada akhirnya, menurut mereka, akulturasi
adalah langkah setapak menuju kepada asimilasi – a recipe of extinction, resep
untuk kepunahan diri.
Di mata mereka, tak ada bedanya antara
asimilasi dan akulturasi; beda hanya dalam derajat saja. Keduanya akan membawa
bangsa Yahudi kehilangan identitasnya di dunia yang kian sekular, dunia yang
diatur menurut chukos ha goyim.
Kelompok ketiga ini mengajukan alternatif
lain, yaitu kontra terhadap dunia sekular, seraya menegakkan dengan ketat
tradisi Yahudi yang bersumber dari hukum Talmud. Mereka biasa disebut sebagai
kelompok kontra-akulturasi. Dari sinilah bibit-bibit fundamentalisme dalam
Yahudi sebetulnya muncul.
Dari golongan ketiga inilah lahir kelompok
Haredim, yakni kalangan Yahudi ultra-Ortodoks. Ciri-ciri mereka sangat jelas:
menolak dunia sekular, dan mengembangkan corak kehidupan yang lebih suci (pristin)
berdasarkan tradisi Yahudi yang ditafsirkan secara ketat.
Kelompok Haredim ini tumbuh dari dua kelompok
Yahudi ortodoks yang sudah muncul sebelumnya, yakni kelompok Hasidim (cenderung
spiritualistik, mirip-mirip dengan kalangan tradisionalis NU) dan Misnagdim
(yang cenderung tekstualis-keras, mirip dengan kelompok Wahabi dalam Islam).
Dua kelompok ini mengembangkan pola pendidikan tradisional yang dengan keras
memegang tradisi melalui “madrasah” Yahudi yang dikenal dengan yeshiva.
Metode pendidikan yang dikenal di sana adalah
tachlis – murid melulu hanya diajarkan ilmu-ilmu tradisional mengenai hukum
Talmud. Mereka dilarang untuk mempelajari ilmu-ilmu lain, terutama yang datang
dari dunia sekular (Heilman dan Friedman 1991).
Apakah yang bisa kita pelajari dari sejarah
fundamentalisme dalam agama Yahudi semacam ini? Pengalaman dalam agama Yahudi
ini tentu tak asing bagi mereka yang akrab dengan gejala fundamentalisme dalam
Islam. Ada banyak kemiripan di sana, apalagi jika kita pertimbangkan bahwa baik
Islam dan Yahudi mempunyai kemiripan dalam satu hal: keduanya sangat menekankan
dimensi hukum yang bersifar formal dalam agama (dalam Islam ini berkembang
menjadi tradisi fikih; dalam Yahudi, berkembang dalam tradisi Talmudik).
Berdasarkan pengalaman yang kita lihat dalam
Yahudi dan Islam, terutama dalam sejarah modern kedua agama ini, tampak sekali
satu hal: Penafsiran agama yang keras dan tekstualistik bisa memantik munculnya
kekerasan, terutama terhadap perempuan. Dalam Islam, contoh yang paling vulgar
adalah Talibanisme di Afghanistan. Dalam Yahudi, ini bisa kita lihat dari
insiden yang menimpa gadis kecil Yahudi dari kota Beit Shemesh itu – Naama
Margolese.
Bagi saya, jalan yang ditempuh oleh kalangan
Haskalah dalam Yahudi, dengan figur utamanya Moses Mendelssohn, adalah opsi
yang paling masuk akal, yakni jalan akulturasi. Inti jalan ini ialah menerima
modernitas, seraya tetap berpegang pada tradisi.
Hanya saja, masalah yang segera menghadang
adalah: seberapa besar dosis modernitas yang bisa ditelan, dan seberapa besar
dosis tradisi yang masih bisa dipertahankan.
Dalam soal ini, tentu ada banyak
sikap yang beragam, baik di kalangan Haskalah Yahudi, atau kalangan “Haskalah”
versi Islam. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar