Sabtu, 14 Januari 2012

Dialog Antarumat Beragama


Dialog Antarumat Beragama
Achmad Fauzi,  AKTIVIS MULTIKULTURALISME,
ALUMNUS UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA (UII) YOGYAKARTA
Sumber : SUARA KARYA, 13 Januari 2012



Buku Samuel Phillips Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (1998) banyak dibahas dan dibaca secara kritis. Tak pelak, buku itu membuat banyak orang kesal dan geram. Bukan karena asumsi, susunan teori ilmiahnya, definisi, metodologi dan kesimpulan-kesimpulan yang ditariknya. Buku itu tampak hadir di tengah dunia yang rumit ini seperti sebuah kutuk bagi semua orang di muka bumi. Menurut penuturan Huntington, benturan civilisasi tidak dapat dihindari.

Setelah perang dingin dan jatuhnya rezim komunis Rusia, pentas dunia akan segera diisi dengan benturan peradaban Barat dengan non-Barat. Ini berarti seluruh faktor esensial dunia, sendi-sendi kehidupan dan hubungan antar-bangsa, yakni peradaban, budaya dan agama akan dikerahkan dalam sebuah konfrontasi.

Tampaknya dalam skala lebih kecil tesis Huntington relevan jika disandingkan dengan konflik keagamaan yang terjadi di Indonesia. Konflik antar-kelompok yang mengklaim keyakinannya sebagai realitas tunggal atas kenyataan agama lain yang bercorak plural adalah pola benturan sebagaimana yang dilukiskan Huntington.

Huntington boleh salah ngomong' dan dianggap tidak memahami peta kekuatan dunia. Namun sialnya, suka atau tidak suka, sebagian atau beberapa bagian dari yang disalah-omongkan' itu telah benar-benar terjadi.

Berpijak dari persoalan itu, dialog antar-umat beragama (interfaith dialogue), sebagaimana Indonesia telah menjadi partisipan dalam dialog antar-penganut agama di beberapa negara seperti Beograd, Serbia dan Athena, Yunani menjadi urgen digalakkan supaya nalar kekerasan yang dipicu oleh truth claim dan pemahaman teologi yang sempit tidak bersemayam dalam tubuh agama. Dialog mengajak partisipan untuk secara radikal membuka diri dan saling memahami keberadaan agama lain sehingga budaya ketertutupan dan prasangka teologis dapat dihindarkan.

Problem eksklusivisme agama, mengklaim agamanya sebagai yang paling benar dan menganggap agama lain sesat adalah cara berteologi yang merusak tatanan agama. Dalam cara ini, umat beragama selamanya tidak akan mampu mendefinisikan diri di tengah kehidupan keagamaan yang plural, karena kaku dan menutup diri dari budaya luar. Ini persoalan kuat-lemahnya metodologi yang merumuskan bagaimana cara menerima atau menolak budaya lain di luar diri kita.

Secara normatif sah-sah saja mengatakan agama yang dianut paling benar, superior dan sempurna, namun pada tataran fenomenologis klaim itu akan berbenturan jika mengatakan agama lain sesat, inferior dan tidak sempurna. Oleh karena itu, diperlukan sikap saling mempelajari, memahami dan menghormati ko-eksistensi agama lain guna mencapai titik temu (common platform).

Proses perjumpaan antar-iman mustahil terjadi dalam paradigma teologi yang eksklusif. Orang akan terjebak dalam perdebatan teologis yang sengit dan klaim kebenaran yang bersifat nomatif. Perjumpaan antar iman bertujuan untuk saling mengeksploitasi' kekayaan spiritual sehingga membutuhkan inklusivisme. Partisipan dapat berjumpa, bertukar pikiran dan menyelami jantung agama-agama, kemudian kembali lagi ke agama yang dianut tanpa harus merusak kedigdayaan teologis agama yang dianut.

Dialog pada aras mondial membicarakan pola-pola dialogis hubungan antar umat beragama dalam mengelola pluralitas peradaban, budaya dan agama agar tidak berbenturan. Dialog menjadi pilihan paling elegan mengingat bentuk pendefinisian diri antar kutub-kutub peradaban dan agama akhir-akhir ini cenderung tidak beradab.

Oleh karena itu, dalam konteks hubungan antar bangsa dan bernegara, Indonesia dan mitra dialog, memang seharusnya memikirkan dan mesti mencari keseimbangan yang wajar sehingga benturan peradaban, budaya dan agama dapat ditakar dan dihentikan pada waktunya, yaitu ketika kerusakan sudah tidak dapat tertanggungkan. Barat yang mendominasi peradaban, kebudayaan dalam bentuk modal, tekhnologi dan organisasi, penguasaan terhadap media, perlu diajak dialog guna memulai sikap baru di zaman pluralisme ini.

Proses globalisasi, pluralisme, dan dominasi agama selayaknya ditanggapi secara demokratis dengan memberi kesempatan untuk hidup bagi kelompok-kelompok kecil dan lemah. Demokratisasi harus dimulai dengan dialog yang terbuka dan fair antar komponen pluralisme. Dialog adalah sebuah usaha untuk menghalangi tindakan apapun yang melecehkan manusia dalam hubungan yang berdasar pada pembenaran untuk membunuh satu sama lain.

Indonesia, Serbia dan Yunani adalah tiga negara yang memiliki kemiripan sejarah tentang perselingkuhan agama dan politik. Perselingkuhan itu telah melahirkan kekerasan dari masa ke masa. Bukankah kita memiliki catatan yang panjang betapa simbol-simbol agama kerap digunakan partai politik untuk mencari dukungan massa dari penganut agama. Sehingga, pada saat kefrustasian masyarakat memuncak, masing-masing pemeluk membuat firqoh-firqoh yang mau tidak mau agama juga terseret dalam gelanggang kekerasan tersebut.

Kini, agama sudah sewaktunya menarik diri dari gelanggang politik praktis. Tatacara mensucikan diri dari ingar-bingar politik kekuasaan adalah pertama, mengembalikan agama sebagai norma, referensi sikap hidup dan panduan batin. Kedua, menghindari politik berazaskan agama demi mendulang suara. Ketiga, agama bukan lagi dalam lingkup politik ketatanegaraan, melainkan politik keseharian yang mengurusi persoalan moral, kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Ketika agama dikembalikan ke khitahnya, maka penguatan basis dialogis antar pemeluk agama sangat mudah terbentuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar