Sabtu, 07 Januari 2012

Cari Muka atau Coreng Muka?


Cari Muka atau Coreng Muka?
Triyono Lukmantoro, DOSEN JURUSAN ILMU KOMUNIKASI, FISIP, UNDIP SEMARANG     
Sumber : SINDO, 7 Januari 2012



Banyak pujian ditujukan pada Wali Kota Solo Joko Widodo yang mengganti mobil dinasnya dengan mobil rakitan “Kiat Esemka”. Setidaknya, tindakan Jokowi itu merupakan sebentuk apresiasi terhadap prestasi anakanak negeri sendiri.

Namun,tidak demikian halnya dengan Gubernur Jateng Bibit Waluyo. Menurut penilaian Bibit, apa yang dijalankan Jokowi merupakan kesembronoan dan mencari popularitas belaka. Pernyataan lengkap Bibit, sebagaimana banyak dikutip media massa, seperti berikut ini: “Bangga sih boleh karena anak-anak kita bisa berkarya luar biasa.Tapi kebanggaan itu, ya harus terukur.Lhaini belum apa-apa, belum teruji kok sudah berani pasang pelat nomor kendaraan dinas.

Kalau nanti sampai nabrak kerbau gimana. Tidak usah cari mukalah. Itu sembrono namanya.” Tentu saja, kata-kata yang diucapkan Bibit itu dianggap terlalu kasar karena merendahkan martabat Jokowi.Ungkapan “cari muka” bukan hanya dapat dimaknai mencari popularitas,sehingga sanjungan dari banyak orang mampu bergulir secara bertubi-tubi.

“Cari muka”adalah frasa yang memiliki arti “menjilat” dan memberikan kesenangan tertentu kepada seseorang yang lebih tinggi derajatnya, agar memperoleh sanjungan, pujian, dan ganjaran. Tepatkah ungkapan “cari muka” ditujukan kepada seseorang yang berupaya memberikan penghargaan kepada anak-anak bangsa sendiri?

Menunjukkan Kemarahan

Ungkapan berbahasa yang serbakeras (dan bahkan menjurus pada kekasaran) yang dilakukan Bibit terhadap Jokowi, bukan hanya sekali ini terjadi. Ketika muncul polemik pembangunan mal di bekas Pabrik Es Saripetojo, Purwosari, Laweyan,Solo,akhir Juni 2011, Bibit menyatakan: ”Wali Kota Solo itu bodoh, kebijakan gubernur kok ditentang.Sekali lagi saya tanya, Solo itu masuk wilayah mana? Siapa yang mau membangun?”

Pernyataan dari seorang atasan (gubernur) kepada bawahannya (wali kota) itu pantas disebut “mencoreng muka”. Sebabnya adalah kata-kata itu,selain terkesan vulgar,juga menunjukkan kemarahan, arogansi,dan bermaksud mempermalukan orang lain.Dalam situasi komunikasi yang dijejali kekesalan itu, Jokowi merespons dingin. ”Ya, memang kenyataannya saya itu bodoh. Saya masih harus belajar banyak,” katanya. Jokowi juga berkata: ”Saya memang bodoh.

Dan heran saya, kenapa orang Solo memilih orang bodoh macam saya untuk jadi wali kota dua periode.” Berkomunikasi melalui perantaraan media massa tidak hanya harus berbekal keberanian untuk melontarkan sejumlah kata. Ketika seorang pemimpin berkomentar tentang tindakan bawahannya,bekal atau kemampuan lain yang tetap harus dipegang adalah kehati-hatian dalam menentukan pilihan kata.

Hal ini tidak berarti bahwa gaya bahasa yang eufemistis (penghalusan kata) terusmenerus bisa digunakan. Eufemisme yang berlebihan pun pada akhirnya menjadikan kata-kata mampu menyelubungi, dan malahan mendistorsi,fakta yang dimaksudkannya. Dalam persoalan ini, seorang pemimpin dapat menyimak pemikiran Jurgen Habermas tentang empat klaim kesahihan dalam berkomunikasi. Pertama, kebenaran.

Apa yang dikatakan memang kenyataan yang sesungguhnya. Kedua, ketepatan. Apa yang dikemukakan memakai kata-kata yang cermat.Ketiga, ketulusan.Apa yang disampaikan merupakan ungkapan keikhlasan. Keempat, kebermaknaan.Apa yang dituturkan bisa dimengerti artinya. Hal itu menunjukkan kata-kata berperan penting.

Penghadiran Kembali

Kata-kata sebagai komponen bahasa memang bukan seperti cermin yang bisa memantulkan fakta atau realitas secara sempurna. Kata-kata merupakan suatu sistem representasi (penghadiran kembali) kenyataan yang bersifat konstruktif. Kata-kata itu membentuk kembali kenyataan secara dinamis dan selektif.Namun, dari sifat kata-kata yang bercorak representatif itulah kita jadi paham betapa penting aturan budaya yang melingkupi sistem penggunaan kata-kata itu.

Artinya adalah pemakaian kata-kata tertentu selalu terikat dengan nilai rasa berbudaya masyarakatnya. Ketika seorang pejabat memilih frasa “cari muka”, yang juga digunakan untuk menjalankan aksi “coreng muka”, terhadap pihak lain yang tidak sejalan dengan cara berpikirnya, maka ada dorongan kesombongan yang mencuat di sana. Dalam kajian etika, aksi berbahasa itu disebut sebagai hubris, yakni terlalu percaya diri, tidak tahu ukuran, dan memerosotkan wibawa pihak lainnya.

Sebab, muka dalam pengertian itu, tidak sekadar wajah, bagian tubuh paling penting ketika seseorang terlibat dalam aksi komunikasi yang bersifat dua arah. Muka, demikian Erving Goffman (1922–1982) menyatakan, adalah nilai sosial positif yang diklaim oleh seseorang ketika menjalankan kontak tertentu dengan pihak lainnya. Muka adalah gambaran tentang diri dalam pengertian atribut- atribut yang disetujui secara sosial.

Ketika menjalin kontak dengan pihak lain, bagian muka itulah yang memberikan reaksi secara segera.Perasaan senang atau benci dapat dilihat pada bagian muka atau wajah seseorang. Dalam pengertian komunikasi yang lebih luas,muka dapat pula berarti harga diri,martabat, atau prestise. Sebagai contoh, kita bisa menyimak sejumlah frasa yang melibatkan kata muka, seperti “cari muka”,“ coreng muka”,dan “kehilangan muka”.

Semua frasa itu menunjukkan muka memiliki relevansi dengan jalinan yang memuat masalah gengsi individual, kehormatan sosial, dan keberadaban masyarakat. Bermain- main kata secara ceroboh pasti mengakibatkan “menepuk air di dulang, tepercik muka sendiri”. Siapa yang sebenarnya senang cari muka ataupun bertindak bodoh? Bahasa menunjukkan bangsa. Katakata memperlihatkan harga diri penuturnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar