Kamis, 19 Januari 2012

Demokrasi Sandal


Demokrasi Sandal
Rusmin Effendy, TENAGA AHLI DPR RI
Sumber : SUARA KARYA, 19 Januari 2012


Solidaritas masyarakat secara spontanitas mengumpulkan sandal jepit untuk membebaskan AAL (15 tahun), pelajar SMKN 3 Palu yang dituduh mencuri sandal jepit milik Briptu Ahmad Rusdi dan di vonis lima tahun, telah menjadi peristiwa politik yang maha dahsyat. Betapa tidak, kasus itu mampu menarik perhatian dunia internasional dan mengalahkan kegaduhan serta gonjang-ganjing perpolitikan di awal 2012.

Berbagai situs dan jejaring sosial dunia maya internasional merefleksikan peristiwa itu sebagai revolusi bangsa Indonesia melawan ketidakadilan dalam negara yang mengklaim menganut paham demokrasi. Ternyata, praktik demokrasi di Indonesia masih sebatas "Demokrasi Sandal" belum sepenuhnya mampu melaksanakan demokrasi sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.

Situs koran tertua di India, The Hindustan Times menulis, Indonesians fight injustice with sandals (rakyat Indonesia berjuang melawan ketidakadilan dengan sandal). Begitu pula dengan The Washington Post, Boston Globe, Hindustan Time, mendeskripsikan praktik diskriminasi dan perlawanan rakyat Indonesia melawan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan aparat penegak hukum.

Sementara, di dalam negeri muncul pelbagai aksi solidaritas berujung pada mengumpulkan sandal jepit sebagai ekspresi protes terhadap penegak hukum yang tidak manusiawi sekaligus kado tahun baru bagi Kapolri Jenderal Timur Pradopo. Sama halnya seperti aksi solidaritas koin Prita Mulyasari yang diperlakuan tidak manusia oleh RS Omni Internasional, ataupun koin buat Presiden SBY yang berkeluh kesah selama tujuh tahun tentang gajinya tidak pernah naik.

Terlepas apapun kesalahan AAL yang dinyatakan mencuri sepasang sandal jepit, putusan hakim PN Palu pantas disesalkan. Karena, hakim gagal menemukan hukum (rechts vinding) sekaligus menciptakan hukum (judge made law) dengan menyelami perasaan keadilan masyarakat. Putusan hakim hanya dilihat dari hukum formal sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP tentang Pencurian, tanpa mempertimbangkan berbagai aspek dan menggali di balik peristiwa yang terjadi. Padahal, sesuai UU No.3/1997 tentang Pengadilan Anak merupakan pengadilan khusus, sehingga hakim yang menangani perkara haruslah yang memahami psikologi anak-anak.

Dalam kejahatan yang dilakukan anak-anak (juvenile justice system), pemerintah sudah meratifiksi tiga konvensi PBB, yakni Konvensi Hak Anak melalui Keppres No. 36/1990 maupun Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia (Res. PBB No. 39/46 tahun 1984), Peraturan Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya (Res. No. 45/113/ 1990), UU No. 39/1999 tentang HAM serta UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak.

Konvensi tentang Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child), Resolusi No. 109 Tahun 1990 menyebutkan, Tidak seorang anak pun dapat dirampas kemerdekaannya secara tidak sah atau sewenang-wenang, menjadi sasaran penyiksaan atau perlakuan/penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, hukuman mati, atau hukuman seumur hidup. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan hukum dan hanya sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu yang sesingkat-singkatnya.

Disadari atau tidak, sebenarnya ingatan publik terhadap citra dan kewibawaan Polri belum sepenuhnya terhapus dengan rentetan pelbagai peristiwa dan insiden kekerasan seperti penembakan di Papua, Mesuji, Bima dan terakhir penembakan misterius (petrus) di Aceh yang ditengarai dilakukan oleh oknum Polri. Sayangnya, Polri masih saja mempertontonkan kekerasan yang sejatinya memberikan keteladanan, menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat (public order apparatus) sekaligus melayani dan mengayomi masyarakat (public service officer).

Kondisi seperti ini menimbulkan sikap apatis dan menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap perilaku dan perangai buruk Polri yang menjadi tumpuan masyarakat, seperti awal kelahirannya yang diadopsi dari nama besar Bhayangkara-pasukan sipil Mahapatih Gajah Mada yang gagah perkasa, heroik membela kebenaran dan keadilan. Ini akhirnya menjadi simbol dan lambang Polri.

Kasus pencurian sandal jepit ini semakin memperkuat asumsi bahwa reformasi Polri melalui Tap MPR No.VI/2000 tentang Pemisahan Polri dari TNI dan Tap MPR No.VII/2000 tentang Peranan Polri dan TNI serta buku biru Reformasi Menuju Polri yang Profesional telah gagal dilaksanakan. Kultur Polri yang berwatak represif, arogan, eksklusif dan merasa paling benar tak mampu berubah untuk melaksanakan norma-norma demokrasi di Polri menjadi equality, fairness, independen dan transparency sebagai pedoman kerja Polri.

Secara filosofis, nilai sebuah keadilan digambarkan melalui patung seorang dewi dalam Mitologi Romawi, dengan timbangan yang menggantung dari tangan kiri, dimana ia mengukur pembelaan dan perlawanan dalam sebuah kasus. Membawa pedang bermata dua yang menyimbolkan kekuatan Pertimbangan dan Keadilan. Mengenakan penutup mata, yang mengindikasikan bahwa keadilan harus diberikan secara objektif tanpa pandang bulu, blind justice & blind equality.

Dalam pratiknya, proses pencarian keadilan oleh masyarakat kecil menjadi sesuatu yang sangat kompleks. Keadilan hanya bisa dinikmati oleh mereka yang memiliki kekuasaan dan uang, sedangkan bagi rakyat kecil keadilan menjadi pisau tajam yang siap membunuh.

Kondisi yang dialami AAL adalah realitas politik dari rakyat kecil pencari keadilan yang head to head berhadapan dengan penegak hukum bermoral rendah, dan tidak memenuhi standar. Sehingga, keadilan menjadi barang mahal bagi para pencari keadilan khususnya rakyat kecil. Sejatinya, hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar