Memetakan
Persoalan Papua
A. Kardiyat Wiharyanto, DOSEN UNIVERSITAS SANATA DHARMA,
YOGYAKARTA
Sumber
: SUARA KARYA, 18 Januari 2012
Sewaktu Republik Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus
1945, Papua juga sudah ikut merdeka.
Masalah Papua mulai muncul ketika Belanda mengakui kedaulatan RI
(istilah pihak Belanda: penyerahan kedaulatan) tanggal 27 Desember 1949
berdasarkan hasil KMB (Konferensi Meja Bundar). Ketika itu Belanda tidak
serta-merta menyertakan Papua dalam pangkuan RI. Bahkan tersirat ungkapan bahwa
Belanda akan memberikan kemerdekaan sendiri bagi Papua. Sedangkan kepada pihak
Indonesia hanya disebutkan bahwa masalah Papua baru akan dirundingkan setahun kemudian.
Masalah penyerahan Papua ke pangkuan RI ternyata tidak semudah
sewaktu dilakukan kompromi, sebab Belanda terbukti ingin mempertahankan wilayah
itu sebagai tanah jajahannya. Karena itu, tuntutan yang dilancarkan pihak
Indonesia sesuai hasil kompromi tahun 1949 di atas terus mengalami jalan buntu.
Apalagi, Belanda malah memasukkan Papua ke dalam wilayah Belanda (1952),
sehingga Indonesia membatalkan Uni Indonesia-Belanda (1954). Kebijakan
Indonesia itu kemudian diikuti pembatalan secara sepihak hasil persetujuan KMB
oleh Indonesia pada 1956. Itulah sebabnya, pihak Indonesia lalu membentuk
Provinsi Papua dengan ibukota di Soasiu (Halmahera).
Dalam Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung (18-24 April 1955),
pihak Indonesia mendapat dukungan negara-negara peserta konferensi untuk
membebaskan Papua yang masih diduduki Belanda. KAA yang diseponsori Indonesia,
India, Burma, Pakistan dan Sri Lanka tersebut menolak segala bentuk penjajahan
dan menganggap bahwa penjajahan adalah suatu tindakan kejahatan.
Setelah dukungan internasional semakin meluas, rakyat Indonesia
mulai bangkit dengan menyelenggarakan rapat-rapat umum untuk membebaskan Papua.
Akibatnya, sikap anti Belanda semakin meningkat, buruh-buruh yang bekerja pada
perusahaan Belanda mogok, semua terbitan dan film yang menggunakan bahasa
Belanda dilarang, kapal-kapal terbang Belanda (KLM) juga dilarang mendarat dan
terbang di atas wilayah Indonesia, bahkan semua kegiatan konsuler Belanda di
Indonesia juga diminta untuk berhenti.
Suasana anti Belanda tersebut kemudian berkembang dengan adanya
pengambil-alihan modal milik Belanda di Indonesia. Pengambil-alihan yang semula
dilakukan secara spontan oleh rakyat itu kemudian diperkuat dengan peraturan
pemerintah sehingga sampai akhir 1958 semua perusahaan Belanda di Indonesia
sudah dinasionalisasikan.
Pada 1959, Pemerintah Indonesia membentuk Front Nasional untuk
menghimpun seluruh kekuatan bangsa Indonesia. Perjuangan lembaga tersebut
antara lain bertujuan untuk membebaskan dan mengembalikan Papua ke dalam wilayah
RI, di samping aktif melakukan perjuangan diplomasi lewat SU PBB setiap tahun.
Karena berbagai usaha diplomatik mengalami jalan buntu, maka
hubungan Indonesia-Belanda semakin tegang. Indonesia pun memutuskan hubungan diplomatik
dengan Belanda tanggal 17 Agustus 1960.
Untuk mendukung sikap tegas Indonesia terhadap Belanda, kekuatan
militer Indonesia ditingkatkan dengan berusaha mencari bantuan senjata ke luar
negeri. Mula-mula Indonesia mengharapkan bantuan senjata dari AS, tetapi gagal.
Indonesia lalu membeli senjata dari Uni Soviet (Rusia). Indonesia juga aktif
mendekati India, Pakistan, Australia, Selandia Baru, Muangthai, Inggris, Jerman
dan Perancis agar negara tersebut tidak mendukung Belanda jika di kemudian hari
benar-benar pecah perang RI-Belanda.
Melihat hubungan kedua negara semakin panas, maka dalam SU PBB
tahun 1961, masalah Papua diperdebatkan kembali. Dalam sidang itu Sekjen PBB, U
Thant, menganjurkan kepada Ellsworth Bunker (seorang diplomat AS) untuk mengajukan
usul tentang penyelesaian masalah Papua. Adapun isi pokok usul tersebut adalah
agar pihak Belanda menyerahkan wilayah itu kepada Indonesia melalui PBB dalam
waktu dua tahun.
Pada prinsipnya pihak Indonesia menerima usul itu dengan catatan
agar waktu pengembalian diperpendek. Namun, sebaliknya, Belanda hanya akan
melepaskan Papua kepada perwalian PBB dalam rangka membentuk negara Papua.
Melihat gelagat Belanda tersebut, Indonesia berkeyakinan bahwa Papua hanya bisa
kembali ke pangkuan RI lewat perjuangan fisik (perang). Karena itu, bertepatan
dengan ulang tahun Agresi Belanda II ke ibukota RI Yogyakarta yang ke-13,
tanggal 19 Desember 1961, Presiden Soekarno mengucapkan Tri Komando Rakyat
(Trikora) di alun-alun utara Yogyakarta untuk membebaskan wilayah itu dengan
kekuatan senjata.
Belanda pun langsung bereaksi dengan memperkuat tentaranya di
Papua, bahkan mengirimkan kapal induk Karel Doerman. Pada 15 Januari 1962
terjadi Pertempuran Laut Aru antara tiga kapal torpedo AL RI yang dipimpin
Komodor Yos Sudarso dengan kapal perusak dan fregat Belanda yang dibantu
pesawat udara. Pertempuran yang tidak seimbang itu berakhir dengan tenggelamnya
kapal Macan Tutul dan gugurnya Yos Sudarso dan kapten Wiratno.
Indonesia di bawah Mayor Jenderal Soeharto kemudian melakukan
infiltrasi ke pedalamam Papua. Pasukan payung Indonesia diterjunkan pada malam
hari di daerah-daerah hutan lebat dan rawa-rawa sambil menghadapi
hadangan-hadangan Belanda.
AS khawatir bahwa komunis akan mengambil keuntungan dalam konflik
Indonesia-Belanda itu. Karena itu, AS mendesak Belanda untuk berunding dengan
Indonesia.
Perundingan yang berlangsung di Markas Besar PBB, New York tersebut,
Indonesia diwakili Adam Malik dan Belanda diwakili Van Royen. Pada 15 Agustus
1962 dicapai Persetujuan New York yang antara lain mulai tanggal 1 Mei 1963
Papua kembali ke pangkuan RI.
Meski sejak 1963 Papua sudah kembali ke pangkuan RI, namun sampai
saat ini masih ada gejolak walaupun secara sporadis. Kerusuhan-kerusuhan
tersebut terjadi karena ketidakpuasan terhadap keadaan, kekecewaan, dan adanya
suatu kesadaran nasionalisme di Papua. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar