Selasa, 17 Januari 2012

Pembatasan BBM


Pembatasan BBM
Pri Agung Rakhmanto, DOSEN FAKULTAS TEKNOLOGI KEBUMIAN DAN ENERGI UNIVERSITAS TRISAKTI; PENDIRI REFORMINER INSTITUTE
Sumber : KOMPAS, 17 Januari 2012


Meski terus-menerus dikritik, pemerintah bersikukuh menerapkan pembatasan BBM. Pemerintah mengklaim pembatasan akan menekan konsumsi BBM bersubsidi sehingga menghemat anggaran puluhan triliun rupiah.

Untuk mengantisipasi potensi kebocoran, pemerintah menguji coba penggunaan alat canggih radio frequency identification (RFID) di trayek angkutan kota Senen-Kampung Melayu. Sejalan dengan itu, pemerintah juga gencar mengampanyekan proyek penggunaan bahan bakar gas (BBG) untuk transportasi.
BBG yang harganya lebih murah dikampanyekan sebagai pilihan bagi masyarakat yang tidak mampu membeli pertamax dan sejenisnya saat kebijakan pembatasan BBM diterapkan 1 April mendatang. Intinya, pemerintah merasa siap menjalankan kebijakan itu.

Mengimbau Pemerintah

Tulisan ini tak hendak membahas secara ”berat” sisi positif-negatif dari kebijakan pembatasan BBM itu. Tak juga hendak membandingkannya dengan pilihan kebijakan lain yang oleh banyak kalangan dikatakan lebih rasional, yaitu menaikkan harga BBM. Sudah terlalu banyak yang membahasnya dan sudah terlalu lelah dan jenuh pula kita membacanya. Tulisan ini hanya ingin menyampaikan sedikit catatan (atau imbauan) berikut.

Pertama, jika pemerintah memang lebih memilih menerapkan pembatasan BBM daripada menaikkan harga BBM, sebaiknya diakui saja bahwa hal itu lebih karena pertimbangan politis (popularitas dan pencitraan) dan bukan karena secara substansi kebijakan pembatasan BBM itu lebih rasional dan lebih membawa perbaikan fundamental dibandingkan menaikkan harga BBM. Tidak perlu membungkusnya dengan beraneka argumen yang memusingkan masyarakat.

Kedua, jangan terlalu yakin dan jangan membuai masyarakat bahwa alat canggih RFID akan efektif menanggulangi potensi kebocoran yang hampir pasti akan terjadi. Apalagi yang dilakukan baru sebatas mencoba di satu jalur trayek, itu pun evaluasinya belum jelas.

Lebih baik secara apa adanya menyampaikan bahwa salah satu kelemahan mendasar yang melekat pada kebijakan pembatasan ini adalah rawan terjadi kebocoran. Apalagi dengan perbedaan harga antara BBM subsidi dan nonsubsidi yang saat ini saja sudah hampir dua kali lipat. Belum nanti kalau harga minyak terus naik karena ketegangan geopolitik Iran-Amerika Serikat.

Ketiga, sebaiknya tidak usah menjanjikan bahwa masyarakat yang tidak mampu membeli pertamax dan sejenisnya akan dapat menggunakan gas sebagai alternatif. Sebab, ketersediaan infrastruktur gas untuk transportasi pada April 2012, bahkan 2-3 tahun ke depan, masih akan sangat jauh dari memadai.

Beda dengan Konversi

Mendorong pemakaian gas di sektor transportasi tidak sama dengan konversi minyak tanah ke elpiji 3 kilogram. Di negara yang sudah lebih maju dalam penggunaan gas untuk sektor transportasi, seperti Pakistan, Argentina, dan Brasil, dibutuhkan lebih kurang 10 tahun untuk membuat gas benar-benar memasyarakat di sektor transportasi. Itu pun dengan catatan kebijakan tersebut dijadikan program nasional, dengan koordinasi dan dukungan semua pemangku kepentingan dari hulu hingga hilir. Mulai dari produsen gas, pengembang infrastruktur, industri otomotif, perbankan, perpajakan, masyarakat, hingga bengkel perawatan.

Jika baru sebatas ”proyek” percontohan di tiga kota dengan skala cakupan hanya 200–300 kendaraan, yang juga belum jelas keberlanjutannya ke depan, sebaiknya tak usah dibicarakan berlebihan. Apalagi dikatakan sebagai alternatif bagi yang tidak mampu membeli pertamax dan sejenisnya. Jelas masih jauh panggang dari api.

Jadi, jika memang akhirnya tetap akan memaksakan penerapan pembatasan BBM 1 April 2012, ya silakan saja, karena memang pemerintah punya kekuasaan untuk itu. Namun, sebaiknya pemerintah buka-bukaan saja dengan mengatakan bahwa pembatasan BBM artinya mobil pelat hitam harus beralih ke pertamax dan sejenisnya. Itu saja. Tidak perlu diembel-embeli kebohongan kepada rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar