Sabtu, 17 Desember 2011

Sepak Bola dan PSSI yang Terkoyak


LAPORAN OLAHRAGA AKHIR TAHUN 2011
Sepak Bola dan PSSI yang Terkoyak
Sumber : KOMPAS, 17 Desember 2011


Cerita sepak bola Indonesia 2011 di lapangan tidaklah buruk. Di tengah konflik PSSI, pemain Indonesia lolos ke putaran ketiga Pra-Piala Dunia 2014 bersama 19 negara Asia dan lolos ke final SEA Games. Namun, ceritanya lain di balik dinding kantor PSSI, klub-klub, ruang-ruang rapat, dan kongres.

Pencapaian timnas Pra-Piala Dunia 2014 yang selalu kalah di putaran kedua dan medali perak SEA Games 2011 memang tidak memenuhi harapan publik. Namun, mengingat hadir saat krisis sepak bola mendera negeri ini, dua pencapaian itu tidak buruk.

Di level yunior, prestasi itu tidak menggembirakan. Diwakili tim SAD yang tampil di kompetisi Uruguay, Indonesia kembali gagal lolos ke Piala Asia U-19 2012. ”Merah Putih Junior” juga gagal tampil di Piala Asia U-16 2012. Negeri ini memang tidak punya fondasi pembinaan usia muda.

Di tengah perkembangan sepak bola negara-negara Asia lain yang berlari kencang, sepak bola negeri ini jalan di tempat dan kian tertinggal. Di level klub, pada Liga Champions Asia (LCA), ceritanya setali tiga uang. Arema Indonesia mengikuti jejak Persipura Jayapura musim sebelumnya, yang jadi lumbung gol.

Persipura kebobolan 29 gol dari enam laga, sedangkan Arema kemasukan 22 gol! Keduanya mencatat rekor kebobolan gol terbesar di penyisihan grup yang diikuti 32 klub top Asia.

LCA jauh di atas level klub-klub kita. Mereka baru mampu bersaing di level bawahnya, Piala AFC. Di ajang ini, Persipura lolos ke perempat final dan Sriwijaya ke babak 16 besar.

Di level usia muda, cerita manis ditorehkan pemain Indonesia usia di bawah 15 tahun (U-15) yang menjuarai Piala Pelajar Asia 2011. Pemain muda bibit-bibit sepak bola negeri ini juga ambil bagian pada ajang lain.

SSB Hasanuddin mewakili Indonesia tampil dan menempati peringkat ke-33 dari 40 negara di Piala Danone 2011. Lalu, tim Indonesia ASIOP-Apacinti bertahan hingga 16 besar Gothia Cup, yang sering disebut Piala Dunia mini karena selalu diikuti lebih dari 80 negara, di Swedia.

Begitulah, apa pun hasilnya, cerita sepak bola di lapangan tetap mengasyikkan. Permainan kulit bundar selalu menjadi daya tarik dan hiburan, terlebih lagi jika kemenangan bisa diraih. Namun, tidak demikian jika berbicara sepak bola di luar lapangan dengan pengurus PSSI, klub, atau pengurus daerah (provinsi dan cabang) sebagai ”pemainnya”.

Cerita Memilukan

Mengikuti sepak terjang pengurus sepak bola itu sangat memilukan dan, di tahap tertentu, menjijikkan. Sepak bola negeri ini tidak diurus lewat pendekatan dan prinsip-prinsip keolahragaan (sportsmanship), tetapi dikelola seperti mengurus partai politik.

Kita mulai cerita menjijikkan ini dari awal tahun 2011, Januari akhir, saat PSSI menggelar kongres di Bali. Kongres berlangsung sekitar dua pekan setelah kick-off Liga Primer Indonesia (LPI), kompetisi yang bergulir sebagai ketidakpuasan atas liga resmi PSSI pimpinan Nurdin Halid selama hampir delapan tahun.

Seperti kongres-kongres sebelumnya, forum itu ”bersahabat”. Tak satu pun anggota PSSI bersuara kritis. Bahkan, sekadar abstain pun tidak. Diakui terbuka, forum itu ditunggangi untuk melanggengkan rezim Nurdin.

Seperti sulap, sikap anggota PSSI berubah total bulan-bulan berikutnya, yang—singkat cerita—berujung lengsernya Nurdin dan lahirnya pengurus baru dipimpin Djohar Arifin Husin.

Transisi kepemimpinan PSSI itu, seperti kita catat, berjalan tak mulus dan tak normal. FIFA turun tangan, membekukan Komite Eksekutif PSSI dan menunjuk Komite Normalisasi. Empat kongres telah berlalu: di Bali, Pekanbaru, Jakarta, dan Solo.
Satu hal yang dilupakan, termasuk oleh FIFA, dan tak pernah tersentuh, yakni pertanggungjawaban pengurus PSSI era Nurdin Halid. Ibarat sebuah lagu, PSSI seperti di-restart, berakibat komplikasi persoalan sana-sini dengan segala eksesnya hari ini.

PSSI melakukan blunder pertama, mencopot Alfred Riedl dengan alasan kontraknya dengan pengurus PSSI lama bermasalah (tiga versi). Mencopot pelatih hal biasa dalam sepak bola. Namun, pada kasus Riedl, itu tak dilakukan memadai dan bijak. Andai berpikir jernih, PSSI bisa saja menegosiasi ulang kontraknya dan, jika tak ada titik temu, apa boleh buat mungkin harus stop.

Blunder serupa terulang saat PSSI akan me-restart kompetisi dari titik nol, mengacu lima kriteria yang ditetap Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC), yakni legal, finansial, infrastruktur, personel, dan sporting. Akan tetapi, proses penilaian (assessment) itu tidak dijalankan memadai dan tahu-tahu muncul nama-nama klub pada divisi teratas.

Andai saja, sekali lagi andai saja, proses penilaian itu berlangsung fair, transparan, profesional, dan bukan hanya verifikasi dokumen, tetapi juga verifikasi lapangan—berapa pun jumlah klub yang diperoleh atau jika tak ada yang memenuhi syarat, klub dengan skor tertinggi yang lolos—boleh jadi tak sekisruh kini.

Walhasil, publik sepak bola kini disuguhi dua kompetisi: Liga Prima Indonesia yang diakui PSSI dan Liga Super Indonesia peninggalan pengurus PSSI lama. Polemik seputar kasus tercoretnya Persipura dari Piala AFC adalah ekses persoalan itu.

Klub-klub anggota PSSI dan para pengurus daerah (provinsi dan cabang) juga setali tiga uang. Keputusan AFC yang merilis tak satu pun klub Indonesia memenuhi syarat tampil di Liga Champions Asia adalah bukti pengurus klub tidak berbuat apa-apa untuk memajukan klub mereka. Pengurus daerah juga berpangku tangan tidak memutar kompetisi usia muda yang idealnya harus mereka gelar di level regional.

Akumulasi semua persoalan itu berujung pada tidak kunjung majunya sepak bola negeri ini. Sekadar pengingat, awal tahun ini, Indonesia di posisi ke-126 peringkat FIFA. November lalu, peringkat itu anjlok ke-144.

”Quo Vadis”?

Ya, quo vadis (ke mana hendak melangkah) sepak bola Indonesia? Tahun 2012 terbentang di depan mata. Sejumlah agenda telah terpampang nyata, bahkan hingga 2014. Untuk 2012 saja, mulai September bergulir kualifikasi Piala Asia 2015 Australia.
Pada Desember juga berlangsung Piala AFF di Malaysia dan Thailand. Di level antarklub Asia, pertengahan Maret, Arema berlaga di Piala AFC. Belum lagi kalender laga internasional timnas senior yang tidak kurang 11 kali setahun ke depan meski Indonesia telah tersingkir saat dijamu Bahrain, 29 Februari.

Untuk keluar dari karut-marut, jika mau mencontoh Nelson Mandela di Afrika Selatan saat negeri itu ganti rezim, seharusnya ada ruang rekonsiliasi bagi pengurus sepak bola yang kini bertikai bak pengurus parpol.

Tanpa rekonsiliasi, kapan lagi kita benar-benar membangun sepak bola? Ataukah memang ingin semua tenggelam bersama dalam keterpurukan tanpa ujung?
(MH SAMSUL HADI)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar