LAPORAN OLAHRAGA AKHIR TAHUN 2011
Jalan
Terjal Menuju London 2012
Sumber : KOMPAS, 17 Desember
2011
Bagaimana proyeksi prestasi pebulu tangkis
kita di Olimpiade London 2012? Becermin dari raihan prestasi sepanjang musim
ini, peluang menjaga tradisi medali emas sejak di Barcelona 1992 agak sulit.
Harapan selalu ada, tetapi jalannya akan terjal dan berliku.
Perjalanan menuju London 2012 sebenarnya
sudah dimulai sejak 2 Mei lalu dan akan berakhir pada 29 April 2012. Pada
rentang waktu itu, pemain harus berlomba meraih poin kemenangan
setinggi-tingginya. Maksimal hanya hasil terbaik dari 10 turnamen yang akan
diperhitungkan.
Aturan dalam sistem kualifikasi Olimpiade
2012 menyebutkan, negara yang memiliki empat pemain di empat besar dunia sektor
tunggal dapat mengirimkan tiga wakil ke London. Jika para pemain itu ada di
rentang 16 besar, jatah yang diberikan adalah dua tiket.
Sementara di sektor ganda, dua pasangan dapat
melenggang ke olimpiade jika ada setidaknya dua tandem yang mengisi peringkat
delapan besar dunia. Menempatkan dua wakil di satu nomor bulu tangkis olimpiade
jelas menjadi keuntungan. Ini membuat peluang meraih medali emas menjadi kian
besar.
Di luar zona itu, satu tiket olimpiade bagi
setiap negara akan diurut berdasarkan peringkat dunia pemain setiap negara.
Merujuk aturan itu, posisi pemain Indonesia bisa dibilang jauh dari aman. Di
tunggal putra, hanya Simon Santoso dan Taufik Hidayat yang masuk posisi 16
besar (peringkat ke-8 dan ke-10).
Posisi tunggal putri jauh lebih
memprihatinkan. Peringkat tertinggi ditempati Fransiska Ratnasari, di posisi
ke-32. Sementara pemain pelatnas Lindaweni Fanetri, Adriyanti Firdasari, dan
Aprilia Yuswandari masing-masing berada di peringkat ke-38, ke-40, dan ke-47.
Di ganda putra, Indonesia berpeluang meloloskan
dua pasangan. Namun, peringkat pemain masih belum nyaman dan butuh upaya keras
untuk menaikkan peringkat di sisa waktu dan turnamen yang ada. Peringkat
tertinggi dipegang Bona Septano/Muhammad Ahsan di urutan keenam. Berikutnya
adalah Alvent/Hendra Gunawan di peringkat kesembilan. Juara Olimpiade 2008,
Markis Kido/Hendra Setiawan, berada di posisi ke-10.
Di ganda putri, hanya pasangan Greysia
Polii/Meiliana Jauhari yang masuk posisi delapan besar. Pasangan lain, Vita
Marissa/Nadya Melati, berada di peringkat ke-12, sedangkan Anneke Feinya/Nitya
Krishinda di posisi ke-19. Posisi paling mantap cuma pemain ganda campuran
Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir yang bertengger di empat besar. Secara realistis
pasangan ini menjadi harapan terbaik untuk olimpiade mendatang.
Meski baru dipasangkan, Tontowi/Liliyana
sudah mendapat hasil lumayan bagus dengan menjadi juara di Super Series India
dan di Singapura serta runner-up di Premier Super Series Indonesia Terbuka. Hal
lain yang juga melegakan, pasangan ini cukup kompetitif untuk menghadapi pemain
papan atas China, Korea, Taiwan, ataupun Denmark.
Kalah Bersaing
Bagaimana dengan pemain lain? Becermin dari
hasil turnamen sepanjang tahun 2011, hampir semua pemain kita kalah bersaing
dengan pemain negara lain di turnamen besar, seperti Super Series dan Premier
Super Series. Taufik Hidayat dan Simon Santoso bahkan tak mampu menjuarai
turnamen level Grand Prix Gold sekalipun.
Di sektor ganda putra, pasangan Bona
Septano/Muhammad Ahsan hanya mengoleksi satu gelar di GP Gold Indonesia
Terbuka. Sementara Alvent/Hendra AG prestasi tertingginya menjadi runner-up di
turnamen Singapura Terbuka. Markis Kido/Hendra Setiawan lebih apes. Hasil
terbaik mereka cuma sampai babak semifinal Premier Super Series di Denmark.
Hasil serupa terjadi di ganda putri. Pasangan
Greysia Polii/Meiliana Jauhari mengalami paceklik gelar. Greysia bahkan
mengalami cedera otot tangan yang memaksanya absen di beberapa turnamen,
termasuk SEA Games.
Lebih memprihatinkan lagi di sektor tunggal
putri. Pemain-pemain kita bukan cuma tak mampu meraih gelar, melainkan juga tak
mampu bersaing dengan pemain-pemain papan tengah.
Kehadiran pelatih asal China, Li Mao, belum
bisa mengangkat prestasi pemain-pemain tunggal. Li Mao, yang masuk pelatnas
Cipayung sejak awal 2011, datang dengan membawa konsep yang sederhana, yakni
perbaikan teknik dan strategi dalam pertandingan.
Dengan mengesampingkan faktor stamina dan
fisik, Li Mao begitu percaya diri dengan metodenya. Namun, faktanya pemain
tunggal kita juga tetap tidak bisa banyak bicara di setiap turnamen. Teknik dan
strategi permainan mereka tak berjalan sempurna karena stamina selalu
kedodoran. Sayangnya, Li Mao juga terkesan tidak mengevaluasi masalah ini
karena dia juga sangat jarang mendampingi pemain saat bertanding.
Dengan sisa waktu lima bulan dan masih
sekitar 32 turnamen yang bisa diikuti, sebenarnya peluang memenuhi kuota
maksimal masih terbuka. Strateginya, PBSI harus memaksimalkan prestasi pemain
di kelas kejuaraan yang memungkinkan perolehan poin setinggi mungkin. ●
(GATOT
WIDAKDO)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar