Sabtu, 17 Desember 2011

Pembinaan Olahraga Kita Jalan di Tempat


LAPORAN OLAHRAGA AKHIR TAHUN 2011
Pembinaan Olahraga Kita Jalan di Tempat
Sumber : KOMPAS, 17 Desember 2011


Kegembiraan masyarakat menyusul raihan gelar juara umum SEA Games XXVI/2011 belum pupus. Di dalam negeri, beberapa pemerintah daerah masih terus memberikan bonus kepada para atlet peraih medali.

Nyaris tiada suara sumbang terkait keberhasilan atlet-atlet kita di Jakarta dan Palembang itu. Kalaupun ada sedikit suara sumbang, tertelan kegembiraan yang terus meluap. Itu tecermin dalam pergelaran Musyawarah Olahraga Nasional (Musornas) KONI di Mataram, Nusa Tenggara Barat, awal bulan ini.

Namun, ke mana arah prestasi olahraga kita akan melangkah? Tiada seorang pun dapat menjawab. Menteri Pemuda dan Olahraga Andi A Mallarangeng hanya mengulang jawaban yang sama setiap kali ditanya soal ini. Dalam musornas pun pembahasan soal mempertahankan prestasi juara umum pada SEA Games XXVII/ 2013 di Myanmar bukan bahasan serius. Peserta lebih fokus pada pergantian ketua umum.

Belum Terdengar

Praktis, hingga kini belum pernah terdengar dan terlihat cetak biru pembinaan olahraga prestasi di Indonesia, baik dari KONI maupun Kantor Menpora. Rencana Strategis Kantor Menpora 2010-2014 hanya menyebutkan enam kegiatan prioritas untuk meningkatkan kualitas pembinaan olahraga prestasi. Hal itu mencakup, antara lain, mendukung peningkatan prestasi olahraga dan mengembangkan industri olahraga.

Padahal, sesuai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, Menpora berwenang mengatur, membina, mengembangkan, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan keolahragaan nasional. Namun, kewenangan itu belum dimanfaatkan secara maksimal mengingat Menpora tidak membuat detail sasaran prestasi yang harus diraih, walau bersama KONI Pusat, Menpora membentuk Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima) pada 2010 untuk membina dan mengembangkan atlet elite.

Pembinaan atlet elite sebenarnya dimulai dengan apa yang disebut Program Atlet Andalan (PAL) tahun 2008. Direktur PAL Achmad Sutjipto membuat penanganan atlet mulai bertumpu pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Setiap atlet memiliki jurnal atau log book untuk mencatat pola latihan dan pencapaian masing-masing. Jurnal itu secara periodik dievaluasi. Bahkan, mereka mengontrak ahli dari Australia.

Meski belum lancar, upaya ini dapat mendongkrak prestasi atlet, seperti tecermin pada perolehan medali pada SEA Games 2009 dan pemecahan rekor Asia Tenggara lari 100 meter putra di tangan Suryo Agung Wibowo menjadi 10,17 detik. Namun, KONI belum mau mengakui secara terbuka keberhasilan upaya yang dilakukan PAL.

Ketika PAL berganti nama menjadi Satlak Prima, penggunaan ilmu pengetahuan olahraga malah surut. Tak hanya itu, peran Satlak Prima menjelang dan selama pergelaran SEA Games juga belum optimal. Banyak persoalan di cabang tak segera diatasi atau terkesan dibiarkan Satlak Prima. Beberapa cabang tak dapat menggelar pelatnas dengan baik karena pengadaan peralatan latihan tersendat.

Anehnya, dalam musornas di Mataram, awal Desember lalu, untuk pembinaan olahraga di Tanah Air empat tahun ke depan tidak dibuatkan program jangka pendek atau panjang yang jelas. Padahal, mestinya ajang empat tahunan itulah tempat paling tepat untuk merumuskan rencana tersebut.

Sudah berulang kali dikatakan, arah prestasi olahraga Indonesia seharusnya sudah beranjak dari sekadar kawasan Asia Tenggara. Memegang gelar juara umum ini, pemangku olahraga dapat melirik prestasi lebih tinggi, semisal Asian Games.

Memang, kita harus sadar tak semua cabang olahraga prestasi dapat digenjot hingga mencapai level Asian Games. Sekadar menyebut beberapa contoh, mungkin bulu tangkis, angkat besi, dan beberapa cabang bela diri dapat berkompetisi di tingkat Asia.

Untuk renang, atletik, dan senam, kualitas atlet Indonesia di Asia masih jauh tertinggal dari negara-negara Asia Timur, seperti Jepang, Korea Selatan, dan China. Mereka bertaburkan atlet yang mampu berlaga pada olimpiade dan kejuaraan dunia. Rasanya, minimal untuk lima tahun ke depan, kita harus rela melepaskan cabang-cabang itu pada negara-negara tersebut.

Di olimpiade, Indonesia mulai meraih medali pada Olimpiade Seoul 1988. Ketika itu, trio pemanah putri membawa pulang sekeping perak. Pada Olimpiade Barcelona 1992, tradisi meraih emas bermula melalui bulu tangkis. Dibandingkan dengan prestasi negara lain di kawasan Asia Tenggara, Indonesia paling berkilau di olimpiade dengan dua emas dari bulu tangkis.

Namun, sejak Olimpiade Athena 2004, bukan Indonesia yang paling perkasa di antara negara-negara Asia Tenggara. Thailand mengambil alih dominasi tersebut dengan merebut tiga emas dari angkat besi dan tinju. Adapun Indonesia, sejak 2004, pada setiap olimpiade hanya merebut satu emas melalui bulu tangkis. Di Beijing 2008, Thailand juga meraih dua emas.

Bahkan, pada Olimpiade London 2012, Thailand, Malaysia, Filipina, dan Vietnam bakal mengejutkan. Mereka serius memasang target dan menempa diri demi ambisi tersebut.
Bagaimana dengan Indonesia? Negeri ini memiliki sumber daya atlet relatif banyak. Apalagi, di setiap provinsi ada Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) bagi pelajar yang berbakat di bidang olahraga. Dari data kontingen pada ajang PON dan SEA Games, bisa dibilang 60 persen atlet Indonesia adalah alumni PPLP, mulai atletik hingga sepak bola.

Jika negara lain serius mengembangkan olahraga dengan rutin menggelar kompetisi dan berambisi mengukir prestasi tertinggi serta aktif menawarkan diri sebagai tuan rumah pesta olahraga apa pun, mengapa Indonesia tidak? (MBA/TIA/ADP)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar