Peta
Jalan KPK
Teten Masduki, SEKRETARIS JENDERAL TRANSPARENCY INTERNATIONAL INDONESIA
Sumber : KOMPAS, 6 Desember 2011
Pimpinan
KPK jilid ketiga yang baru terpilih di DPR, puas tak puas, harus diterima
sebagai realitas politik.
Tak
ideal memang, tetapi tak terlalu buruk, di tengah pekatnya warna korupsi
politik dan wacana pembubaran KPK yang terus ditiupkan politisi DPR. Bahkan, di
luar dugaan, Bambang Widjojanto terpilih. Banyak harapan masyarakat dialamatkan
kepada pimpinan baru. Sejak berdiri 2003, KPK menunjukkan kerja mengagumkan
dibandingkan lembaga hukum konvensional lain, tetapi dampaknya belum cukup
berpengaruh. Efek jera belum bisa dihadirkan. Korupsi terus tumbuh bersamaan
gencarnya KPK memburu koruptor. Apalagi kini KPK kehilangan mitra utamanya,
pengadilan tipikor, yang belakangan menunjukkan gejala kehancuran dengan
banyaknya terdakwa korupsi dibebaskan, seperti lazimnya di pengadilan umum.
Sejak
berdiri hingga Oktober 2011, KPK baru menuntaskan 228 dari sekitar 50.000 kasus
yang dilaporkan masyarakat. Keuangan negara yang bisa diselamatkan Rp 135,3
triliun, Rp 896,68 miliar disetor ke kas negara dari hasil penindakan. Di
tengah korupsi menggurita, angka ini menunjukkan probabilitas koruptor diadili
sangat rendah. Hanya koruptor apes masuk penjara. Selama kemungkinan koruptor
tertangkap kecil, hukuman yang diterima ringan, dan dengan benefit besar yang
mereka nikmati, wajar koruptor tak takut dipenjara di negeri ini. Rata-rata
hukuman bagi koruptor di pengadilan tipikor cuma 4 tahun 3 bulan dan di bawah
dua tahun di pengadilan umum.
Realitas
ini harus dijawab dengan kerja keras dan cerdas oleh pimpinan baru KPK. Dari
sinilah KPK harus punya peta jalan serta strategi tepat dan efektif. Merujuk
keberhasilan ICAC di Hongkong yang legendaris, awalnya mereka mengarahkan
seluruh sumber daya fokus pada penegakan hukum yang efektif untuk membersihkan
aparat hukum. Baru belakangan mereka lebih memperbesar kerjanya mengintervensi
penyusunan rencana aksi pencegahan korupsi di badan-badan pemerintah prioritas
dan swasta, termasuk mengembangkan pendidikan publik untuk mengubah budaya
korupsi di masyarakat dan memperkuat dukungan masyarakat.
Sinergi
ketiga pendekatan harus bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi, indikator
keberhasilan pemberantasan korupsi yang hasilnya nyata bisa dinikmati
masyarakat, sehingga pemberantasan korupsi dapat dukungan luas. Dari statistik
kasus yang ditangani KPK, terlihat tak ada pilihan prakondisi tertentu yang
harus dibenahi lebih dulu untuk mengubah keadaan yang lebih luas. Kasus
menyebar, duta besar (4), mantan menteri (2), kepala lembaga/kementerian (6),
pejabat eselon (91), kepala daerah (36), hakim (3), anggota DPR/DPRD (46),
pimpinan komisi (7), swasta (54), dan lainnya (30).
Pilihan
random itu entah untuk menebar rasa takut di semua sektor atau dari segi
pembuktian relatif paling gampang. Belum lagi jika dikaji lebih dalam program
pencegahan dan pendidikan masyarakat yang sepintas tak sinergis satu sama lain.
Dengan sumber daya terbatas, ini menunjukkan buruknya manajemen dan organisasi.
Salah satu target capaian pembangunan nasional 2014 adalah Indeks Persepsi
Korupsi 5,0 (kini 3,0) dan peringkat Kemudahan Berusaha ke-75 (kini ke-129).
Untuk itu, agenda pemberantasan korupsi setidaknya harus diarahkan untuk mengurangi
transaksi suap dalam perizinan bisnis, pajak, dan bea cukai serta penegakan
hukum yang keras untuk membersihkan mafia hukum dan korupsi politik.
Ini
barangkali relevan untuk tipologi transaksi korupsi yang terfragmentasi secara
luas sejak era reformasi, yang hampir sulit menghadirkan efek deteren lewat
penegakan hukum meluas seperti ditangani KPK dan aparat hukum lain selama ini.
Tugas ini tak bisa seluruhnya bisa dialamatkan kepada KPK. Hanya masalahnya
kita tak bisa berharap banyak terhadap institusi kejaksaan dan kepolisian, yang
sampai saat ini masih belum pulih.
Di
negara dengan kualitas tata kelola pemerintahan buruk seperti Indonesia,
program antikorupsi yang punya dampak tinggi adalah reformasi kebijakan
ekonomi, rule of law, pemangkasan birokrasi, pengadilan yang independen,
kebebasan pers, dan perluasan partisipasi masyarakat (Huther and Shah, 2000).
Di luar itu hanya pemborosan waktu dan anggaran.
Pengembangan
institusi yang relatif baik pada era KPK jilid I mulai diabaikan pimpinan KPK
berikutnya. Dengan investigator kurang dari 100 orang, rasanya tak masuk akal
mengharapkan KPK dapat menebaskan pedangnya di mana-mana meski dengan dukungan
teknologi tinggi dan metode investigasi profesional. Kunci keberhasilan
pemberantasan korupsi Hongkong sangat ditentukan kecukupan sumber daya.
Perbandingan investigator dan pegawai negeri 1 : 200 dan dukungan anggaran 0,38
persen dari anggaran nasional atau 13 dollar AS per kapita (Kwok, 2011). Belum
lagi independensi penyidik dan penuntut KPK yang berasal dari kepolisian dan
kejaksaan, yang dalam hal tertentu untuk kepentingan karier mereka lebih loyal
ke institusi asal. Kita membangun KPK sejatinya untuk memutus mata rantai mafia
hukum, bukan mendaur ulang. Di sini batu ujian nyali pimpinan baru KPK untuk
merekrut penyidik dan penuntut sendiri. Pimpinan sebelumnya tak berani karena
takut menuai gugatan.
Imperioritas
dalam kadar tertentu diperlihatkan KPK terhadap kejaksaan dan kepolisian dalam
fungsi koordinasi dan pengawasan kepada kedua institusi. KPK sungkan mengambil
alih kasus korupsi yang macet di kedua institusi, padahal ada tendensi kasus
yang jadi kewenangan KPK diserobot kejaksaan dan kepolisian.
Kemandirian
terhadap politik adalah persoalan serius lain. Terbuka lubang sangat lebar bagi
campur tangan politisi di DPR terhadap KPK mulai dari proses seleksi,
perencanaan prioritas program dan anggaran. Orang per orang politisi
berkepentingan membangun relasi dengan pimpinan KPK. Pertemuan Nazaruddin dan
petinggi KPK contohnya.
Masalah
mendasar KPK selama ini adalah miskin dukungan politik tingkat tinggi. Pimpinan
KPK kurang memanfaatkan dukungan dari gerakan antikorupsi masyarakat yang besar
untuk menghadirkan dukungan politik formal. Dukungan masyarakat hanya digunakan
terbatas sebagai tameng dari serangan balik koruptor. KPK produk dari gerakan
sosial antikorupsi. Sekali mengingkari sejarah ini sama saja mengabaikan
kekuatan utamanya.
Dalam
jangka pendek, kehadiran pimpinan baru KPK harus segera terasa getarannya. Ini
bisa jika berhasil menuntaskan kasus-kasus korupsi besar yang tertunda
penyelesaiannya dan dicurigai publik ada pertimbangan tertentu di baliknya.
Keadaan harus diubah: koruptor harus gemetar terhadap KPK, bukan sebaliknya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar