Selasa, 06 Desember 2011

Lingkaran Pemodal, Media, Penguasa


Lingkaran Pemodal, Media, Penguasa
Agus Sudibyo, ANGGOTA DEWAN PERS; WAKIL DIREKTUR YAYASAN SET JAKARTA
Sumber : KOMPAS, 6 Desember 2011


Ketika berbicara tentang kedudukan pers dalam rezim yang demokratis, mau tak mau kita harus selalu berangkat dari yang ideal tentang lembaga sosial yang independen dan imparsial, terutama saat menghadapi kontestasi politik yang kompleks.

Independensi media, pun sulit mewujudkannya, harus selalu jadi titik tolak bagi setiap perbincangan tentang peran politik media. Ketika belakangan ini DPR membahas perubahan UU Pemilu, salah satu persoalan yang muncul: bagaimana pengaturan peran media dalam pemilu.

Pada saat yang sama terjadi konsolidasi politik melibatkan pemilik media. Beberapa pemilik media merapatkan diri ke parpol atau beberapa aktor politik mengakuisisi media yang sudah mapan. Perkembangan ini tentu menimbulkan pertanyaan tentang independensi media. Benarkah independensi pers kita sudah mapan sebagaimana diyakini banyak pihak atau jangan-jangan masih sangat rentan?

Di satu sisi, pers Indonesia kini secara politis sangat independen. Tiada kekuatan resmi yang mampu memaksakan kehendaknya secara langsung kepada pers. Pemerintah, DPR, dan lembaga yudikatif selalu jadi bulan-bulanan kritik pedas dan kadang-kadang tidak proporsional dari pers. Namun, di sisi lain muncul keraguan apakah kritisisme itu juga berlaku ketika media berhadapan dengan pemiliknya atau partai politik wadah sang pemilik bergabung.

Panggung kepada Pemilik

Kita perlu menunggu pemilu berlangsung untuk mendapat jawaban pasti. Namun, beberapa fakta dapat dipertimbangkan. Pertama, sulit menemukan media nasional ataupun lokal yang berani kritis memberitakan dan mendiskusikan kasus atau skandal yang melibatkan pemilik media itu. Media sangat kritis terhadap kasus KKN, tetapi berbeda urusannya jika tersua keterlibatan pemilik media di dalamnya.

Kedua, muncul kecenderungan beberapa media memberikan panggung kepada pemiliknya untuk menyampaikan klarifikasi kasus atau agenda politik. Dalam beberapa momentum, pemilik media bahkan melakukan one man show di media yang ia miliki. Di beberapa daerah lazim terjadi foto pemilik media terpampang di halaman utama sedang berjabat tangan dengan pejabat negara atau figur publik tertentu.

Ketika musim pemilu tiba, masalahnya lebih rumit. Yang dihadapi bukan sekadar kasus yang melibatkan pemilik media, melainkan juga partai politik dan politisi yang dekat dengannya. Yang perlu diberitakan secara menguntungkan bukan hanya pemilik media, juga jaringan politiknya. Maka, peraturan tentang peran media dalam pemilu mendesak dirumuskan komprehensif dan transparan. Tujuannya menciptakan keseimbangan antara lembaga sosial dan lembaga bisnis pada diri media, mereduksi praktik instrumentalisasi media, dan penggunaan media sebagai sepenuhnya properti pribadi.

Di dalam diri media selalu bersemayam sekaligus entitas sebagai lembaga bisnis dan lembaga sosial. Konsekuensinya media tak seharusnya diperlakukan sebagai properti pribadi. Media harus berdiri di tengah-tengah para kontestan politik yang sama-sama berkepentingan memasarkan politik atau pencitraan diri melalui media. Media profesional harus selalu membentengi pemberitaannya dari infiltrasi motif pribadi atau kelompok dan memastikan bahwa kepentingan publik jadi prioritas utama.

Sesungguhnya tak salah jika media memanfaatkan momentum pemilu untuk keuntungan bisnis. Namun, perlu pengaturan agar iklan-iklan politik tak mencederai prinsip ruang publik yang harus adil kepada semua pihak, menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan kelompok, dan memperhatikan benar ihwal akuntabilitas dana iklan politik.

Sejak Pemilu 1999, iklan politik jadi andalan kontestan menjaring preferensi publik. Namun, gegap gempita iklan politik selalu meninggalkan tanda tanya. Publik tak tahu apakah gebyar iklan pemilu benar-benar steril dari penyalahgunaan anggaran publik (APBN atau APBD), dari beroperasinya duit pengusaha hitam atau pejabat bermasalah yang ingin cari perlindungan politik.

Tak Memadai

Aturan main pemilu tak memadai untuk menghadapi masalah ini. Menurut UU Pemilu lama, hanya biaya kampanye parpol yang harus dilaporkan kepada KPU. Tak jelas bagaimana transparansi dana sumbangan dari simpatisan. UU Pemilu juga hanya menyatakan ”materi kampanye meliputi visi, misi, dan program” (Pasal 94). Padahal, kampanye pemilu dapat dilakukan dengan slogan partai, warna khas partai, dan profil tokoh partai.

Ruang lingkup kampanye yang tak komprehensif mempermudah manipulasi dan munculnya iklan terselubung. Sementara itu, transparansi dana kampanye hanya diwajibkan kepada parpol dan tak eksplisit diwajibkan kepada media dan biro iklan yang berurusan langsung dengan pemasang iklan. Peraturan tentang peran politik media harus mengantisipasi munculnya lingkaran politik yang secara eksklusif hanya melibatkan pemodal, media, dan penguasa politik.

Lingkaran politik ini akan memfasilitasi praktik instrumentalisasi ruang publik media dan penggunaan media sebagai properti pribadi. Masyarakat pun teralienasi dari ruang publik media. Masyarakat hanya jadi penonton pasif dari apa yang dipanggungkan para elite politik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar