Adakah
Asa di KPK?
Ikrar Nusa Bhakti, PROFESOR RISET DI LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA BIDANG INTERMESTIC
AFFAIRS
Sumber : KOMPAS, 6 Desember 2011
Terkejut,
kecewa, curiga, marah. Begitulah rentetan ungkapan yang muncul setelah Komisi
III Bidang Hukum Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menentukan Abraham
Samad sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi 2011-2015 lewat voting kedua,
pekan lalu.
Abraham
Samad menang mutlak dengan 43 suara, mengalahkan Busyro Muqoddas (5), Bambang
Widjojanto (4), Zulkarnain (3), dan Adnan Pandupraja (1).
Abraham
Samad disebut ”hanyalah” anak muda daerah dari Makassar yang prestasinya belum
menonjol. Selain itu, ia juga dituduh menjadi pendukung penerapan Syariat Islam
di Sulawesi Selatan dan amat dekat dengan kelompok garis keras Islam, seperti
Majelis Mujahidin Indonesia dan Laskar Jundulah (The Jakarta Post, 3/12/2011).
Pandangan
itu dibantah Abraham Samad melalui pernyataan di Metro TV, Sabtu (3/12/2011)
petang, bahwa ia adalah nasionalis sejati, anak pejuang 45, yang akan membela
tegaknya NKRI sampai akhir hayatnya.
Bukan
Pilihan Panitia
Kekecewaan
terjadi karena tokoh-tokoh nasional yang sudah banyak dikenal masyarakat dan
memiliki rekam jejak lebih baik di bidang hukum dan pemberantasan korupsi malah
tidak terpilih menjadi anggota dan atau ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Bahkan,
dari empat besar calon ketua dan anggota KPK versi Panitia Seleksi Anggota dan
Ketua KPK—Bambang Widjojanto, Yunus Husein, Abdullah Hehamahua, dan Handoyo
Sudradjat—hanya Bambang Widjojanto yang masuk ke jajaran pimpinan KPK.
Permainan politik macam apa lagi yang dilakukan DPR untuk melemahkan KPK?
Kecurigaan
muncul karena proses pemungutan suara yang mundur panjang. Seharusnya
berlangsung pukul 09.00, tetapi diundur menjadi pukul 14.00 karena adanya upaya
Partai Demokrat untuk mengegolkan Yunus Husein sebagai anggota dan ketua KPK.
Lobi-lobi
yang dilakukan Partai Demokrat justru semakin memperkuat kecurigaan banyak
pihak akan adanya kedekatan Yunus Husein dengan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dan Partai Demokrat. Padahal, seperti diungkapkan oleh Yunus Husein,
seharusnya orang mencurigai dirinya lebih dekat dengan mantan Presiden Megawati
Soekarnoputri yang dahulu mengangkat dia sebagai Ketua Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan ketimbang dengan Presiden SBY.
Pemilihan
Abraham Samad dinilai dimotivasi kepentingan politik para anggota Dewan.
Bagaikan mengulang voting saat sidang paripurna DPR tahun lalu terkait hak
angket skandal Bank Century, ada enam partai politik (Partai Golkar, PDI-P,
PKS, PPP, Partai Hanura, dan Partai Gerindra) yang fraksi-fraksinya di Komisi
III secara aklamasi sepakat memilih empat nama baru unsur pimpinan KPK: Abraham
Samad, Bambang Widjojanto, Adnan Pandupraja, dan Zulkarnain.
Enam
fraksi itu juga sepakat memilih Abraham Samad sebagai ketua baru KPK (Kompas,
3/12/2011). Tak heran bila Komisi III DPR dinilai menerapkan model perwakilan
politik bertipe wali (karena memutuskan sesuatu tanpa berkonsultasi dengan
konstituen) dan politico (karena keputusan politik itu adalah cermin dari
kepentingan partai dan bukan kepentingan masyarakat).
Apa
yang diinginkan enam fraksi di Komisi III DPR itu sebenarnya tidak jelek-jelek
amat, yaitu agar KPK di bawah kepemimpinan baru bersedia mengusut empat kasus
besar: skandal pemberian dana talangan kepada Bank Century, korupsi pembangunan
wisma atlet di Palembang (dan tentunya pusat olahraga di Bogor), mafia pajak,
dan pemberian cek perjalanan pada pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank
Indonesia Miranda Goeltom pada 2004.
Namun,
menjadi perlu diwaspadai bila dilihat dari adanya motivasi politik yang
mengaitkan penyelesaian kasus Bank Century sebagai senjata pamungkas untuk
melakukan ”leadership challenge” sebelum Pemilu 2014 (The Jakarta Post,
3/12/2011).
Kita
tidak tahu pasti apa yang dimaksud dengan ”leadership challenge”. Apakah
sebatas usulan pergantian ketua DPR ataukah pergantian pimpinan pemerintahan?
Jika ucapan Achmad Basarah dari Fraksi PDI-P benar, kita sangat menyayangkan
penggunaan kasus hukum yang ditangani KPK sebagai alat manuver politik di DPR.
Masih
Ada Asa
Lepas
dari adanya berbagai kelemahan Abraham Samad, ada nilai-nilai positif dari
pemilihan dirinya sebagai Ketua KPK.
Pertama,
inilah kesempatan bagi anak-anak muda yang berkarya untuk bangsa di daerah
untuk berperan lebih besar secara nasional sebagai ketua KPK. Pada masa lalu,
Bambang Widjojanto adalah tokoh pejuang HAM di Tanah Air yang naik pangkat
menjadi Ketua Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBH) di Jakarta setelah berkarya
nyata sebagai Ketua LBH Jayapura pertengahan 1980-an.
Ketua
Mahkamah Konstitusi Mahfud MD dan Ketua KPK Busyro Muqoddas juga anak-anak
daerah yang menjadi dosen di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, sebelum
ke Jakarta.
Amien
Rais juga dosen di Universitas Gadjah Mada sebelum menjadi Ketua Umum PP
Muhammadyah—menggantikan Ahmad Syafii Maarif—sekaligus motor penggerak gerakan
reformasi 1997/1998. Ia kemudian menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat
pertama era reformasi hasil Pemilu 1999.
Kedua,
meski pendekatan budaya bukan hal penting dalam menentukan tingkah laku
seseorang, Abraham Samad adalah orang Bugis/Makassar yang mengagungkan budaya
siri untuk mempertahankan martabat. Dalam budaya siri juga terkandung rasa malu
jika ia tidak mampu menjalankan tugas. Tidaklah mengherankan jika Samad
bersedia mengundurkan diri jika dalam setahun tidak ada karya monumental
sebagai Ketua KPK.
Ketiga,
Abraham Samad tidak saja telah menandatangani pakta integritas yang disodorkan
Partai Hanura, tetapi juga berjanji akan menumpas habis korupsi tanpa pandang
bulu, tanpa tebang pilih, bahkan sampai ke jajaran DPR dan Istana sekalipun.
Keempat,
bila pimpinan KPK menjadi lima serangkai yang kompak dan saling mengisi, bukan
hal mustahil KPK generasi ketiga ini mampu meningkatkan kembali kepercayaan dan
kepuasan publik. Saat ini KPK berada di titik nadir (32 persen), jauh di bawah
tingkat kepuasan publik yang dicapai KPK pada Februari 2009, yang sempat
mencapai 61,4 persen.
KPK
juga diharapkan dapat meningkatkan indeks korupsi Indonesia dari saat ini
berada pada level 3 dari skala 0-10 (0 sangat buruk dan 10 sangat bersih) ke
level 5 atau bahkan 7 dalam kurun waktu 5 tahun mendatang.
Kelima,
bila Abraham Samad sebagai anggota dan Ketua KPK termuda dapat bersinergi
dengan para seniornya di KPK, bukan mustahil pimpinan KPK periode 2011-2015
adalah yang paling solid yang pernah dimiliki KPK. Jika pandangan penulis ini
benar, bukan saja masih ada asa kita kepada KPK, melainkan kita telah melihat
secercah sinar di ujung terowongan panjang yang gelap dalam persoalan
pemberantasan korupsi di negeri yang kita cintai ini.
Mudah-mudahan
ini bukan suatu impian semusim! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar