Kamis, 15 Desember 2011

Kerja Sama Kaya Problem

Kerja Sama Kaya Problem
Latif Adam, PENELITI PUSAT PENELITIAN EKONOMI (P2E)-
LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI)    
Sumber : SINDO, 15 Desember 2011



Dengan segala kekurangan yang dihadapi pemerintah dalam melakukan pembangunan, public private partnership (PPP) tampak menjadi solusi terbaik. Paling tidak terdapat tiga alasan yang mendasari mengapa negeri ini membutuhkan PPP.

Pertama, kualitas dan kuantitas infrastruktur yang tersedia sudah tidak memadai untuk mendukung akselerasi pembangunan.Kedua,kemampuan keuangan negara untuk membangun dan memperbaiki infrastruktur sangat terbatas. Ketiga, sektor swasta memiliki keahlian yang mumpuni untuk membangun infrastruktur secara efektif dan efisien.

Berdasarkan alasan di atas, pemerintah melakukan beberapa langkah untuk mendukung PPP. Indonesia Infrastructure Summit diadakan beberapa kali untuk menyosialisasikan, mempromosikan, dan mengundang keterlibatan swasta untuk bekerja sama dalam penyediaan infrastruktur melalui skema PPP. Beberapa institusi seperti PT Sarana Multi Infrastructure (SMI) dan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) dibentuk untuk memperkuat implementasi PPP.

Pemerintah juga telah menyusun nota kesepahaman antara Menteri PPN/Kepala Bappenas, Menteri Keuangan dan Kepala BKPM untuk memperkuat koordinasi dan memperjelas pembagian tugas serta mengharmoniskan langkah dan kegiatan dalam melakukan fasilitasi pelaksanaan PPP.

Sayangnya, berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah itu belum memberikan hasil yang memuaskan. Sektor swasta belum banyak yang tertarik untuk terlibat di dalam PPP.Sampai saat ini,dari target 100 proyek yang akan ditawarkan kepada sektor swasta pada periode 2010–2014, baru sekitar 4%-an yang baru berhasil ditenderkan.

Beragam Masalah

Terdapat indikasi yang cukup kuat bahwa lambatnya implementasi PPP di Indonesia merupakan akumulasi dari beberapa masalah. Pertama, pemerintah dan DPR terlambat menyediakan legal framework yang bisa mendukung percepatan pelaksanaan PPP. Misalnya,proses legislasi RUU Pengadaan Lahan berjalan lambat dan masih terdapat peraturan yang bersifat tumpang tindih di antara satu dengan yang lainnya.

Masalah itu kemudian membuat semakin tingginya ketidakpastian, risiko, dan biaya yang harus dipikul swasta jika mereka terlibat dalam pembangunan infrastruktur melalui PPP. Kedua, PPP belum dilengkapi dengan jaminan penggantian biaya investasi dari pemerintah bila proyek infrastruktur tersendat di tengah jalan karena problem pengadaan lahan ataupun munculnya konflik dengan masyarakat di sekitar proyek.

Ketiga, proyek infrastruktur yang ditawarkan kepada swasta tidak dipersiapkan secara matang.Penyebabnya, penanggung jawab proyek kerja sama (PJPK) di kementerian/ lembaga/pemda/ BUMN/BUMD belum punya pengalaman bagaimana mempersiapkan proyek yang akan ditawarkan kepada swasta. PJPK lebih terbiasa mempersiapkan proyek-proyek yang didanai APBN/ APBD.

Karena itu, dokumen studi kelayakan PJPK cenderung lebih teknis dan belum memasukkan isuisu yang terkait dengan masalah hukum, ekonomi dan keuangan, risiko, kebutuhan dan dukungan yang akan diberikan pemerintah, serta masalah yang mungkin muncul jika swasta terlibat dalam proyek PPP Keempat, di mata swasta, komitmen PJPK untuk menjaga kerja sama relatif masih rendah.

Tidak jarang kerja sama di antara pemerintah dan swasta berakhir di tengah jalan karena PJPK mengalihkan pembiayaan dari skema PPP menjadi skema APBN. Kondisi seperti ini membuat sektor swasta memiliki persepsi bahwa PJPK merupakan pihak yang tidak terlalu bisa dipercaya. Kelima, PJPK (birokrat) lebih suka menggunakan APBN daripada menawarkan kepada swasta untuk membangun beberapa jenis infrastruktur.

Pertimbangannya adalah PJPK mendapatkan kesempatan untuk memperoleh insentif dan fee (baik legal ataupun ilegal) dari setiap proyek yang dibiayai APBN. Karena itu, PJPK sering memilih proyek dengan rate of return on investment (RoI) relatif tinggi yang justru dikerjakan dengan pembiayaan APBN,sementara proyek dengan RoI relatif rendah malah ditawarkan kepada sektor swasta. Keenam, rendahnya RoI dari proyekproyek infrastruktur yang ditawarkan semakin membuat swasta tidak tertarik terlibat dalam PPP karena sampai saat ini PPP tidak dilengkapi dengan jaminan mengenai viability gap.

Artinya, di satu sisi, RoI dari proyek-proyek infrastruktur yang ditawarkan kepada sektor swasta berada di kisaran 14%-an.Di sisi lain,sektor swasta menghitung agar mereka mendapat keuntungan yang layak, maka RoI harus berada pada level 18%-an. Ketujuh, kapasitas kelembagaan di beberapa kementerian belum terbangun secara solid karena adanya dualisme pengelolaan proyek.

Misalnya, di Kementerian Pekerjaan Umum, terdapat BPJT yang bertanggung jawab dalam pengelolaan jalan tol dan Binamarga yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan jalan umum. Masalahnya adalah Badan Penyelenggara Jalan Tol (BPJT) dan Binamarga sering kali bekerja secara tidak harmonis. Artinya, ketika BPJT membangun satu ruas jalan tol, Binamarga justru membangun jaringan jalan yang berdekatan dan menjadi alternatif dari jalan tol.

Kedelapan, pola pikir pemerintah, khususnya pemerintah daerah, mengenai PPP belum terbangun secara baik. Pemerintah daerah masih sering mengasumsikan PPP sebagai salah satu sumber pendapatan sehingga menerbitkan berbagai macam peraturan yang membebani sektor swasta.

Agenda Prioritas

Pengalaman beberapa negara menunjukkan bahwa PPP memiliki peran penting untuk mendukung pembangunan kuantitas dan kualitas infrastruktur. Beberapa negara seperti Amerika,Inggris,Belanda, Australia, dan India sudah sejak puluhan tahun yang lalu mengadopsi dan mendapatkan manfaat dari kebijakan ini.

Misalnya, di Australia, melalui PPP, pemerintah negara itu mampu membangun dan menyediakan infrastruktur yang dibutuhkan masyarakat dan pelaku bisnis tanpa terlalu membebani keuangan negara (Foster,2010).Terdapat indikasi bahwa implementasi PPP di negara lain memberikan manfaat yang sifatnya simbiosis mutualisme bagi pemerintah dan sektor swasta yang terlibat.

Mengacu pada pengalaman negara-negara seperti di atas, ada baiknya pemerintah,DPR, dan stakeholders lainnya lebih fokus dan serius mengatasi berbagai masalah sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Karena itu, pemerintah dan DPR perlu segera menyelesai kan proses legislasi UU Pengadaan Lahan, meminimalkan overlapping beberapa peraturan, menyiapkan sistem insentif (seperti viability gap dan jaminan penggantian biaya investasi bila proyek infrastruktur tersendat di tengah jalan), serta meningkatkan kualitas dan kapabilitas PJPK.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar