Kamis, 15 Desember 2011

Paradigma Administrasi Pelayanan Haji


Paradigma Administrasi Pelayanan Haji
Irfan Ridwan Maksum, GURU BESAR TETAP ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FISIP UNIVERSITAS INDONESIA; KETUA PROGRAM MIA-SPS-UMJ    
Sumber : SINDO, 15 Desember 2011



Tidak terasa musim haji telah berlalu. Jamaah haji Indonesia pun sudah pulang ke Tanah Air. Keluhan terhadap segala hal mengenai kegiatan pergi haji masyarakat Indonesia yang diatur dan diurus oleh pemerintah tidak pernah sepi dari kritik, kajian, analisis, baik oleh akal sehat maupun secara ilmiah di berbagai diskusi politik,pidato tokoh politik,dan forum-forum resmi maupun tidak resmi.

Pergi haji masyarakat Indonesia sama tuanya dengan usia bangsa Indonesia. Sejarahnya bersifat khas, mulai diurus secara privat, oleh pemerintah jajahan Hindia-Belanda, oleh kongsi-kongsi Hindia-Belanda sampai di masa kemerdekaan kini oleh Pemerintah RI dan swasta. Saat ini pergi haji tersebut menjadi komoditas politik yang tidak bisa dipandang sebelah mata yang ternyata selalu bermasalah.Tentu membutuhkan curahan pikiran kita semua agar dicari jalan keluar terbaik.

Barang Publik?

Dari kacamata administrasi negara, memperbaiki pelayanan pergi haji ini tidak bisa dilepaskan dari karakter barang /jasa yang terjadi. Secara teoretis, jenis barang (jasa) dapat diperinci menurut dua dimensi (Savas: 1985). Pertama, pola konsumsinya.Kedua, dari sifat eksklusivitasnya. Suatu barang (jasa) dikatakan barang publik jika pola konsumsinya dapat bersama-sama (kolektif) dan sifat eksklusivitasnya tidak ada. Sebaliknya barang yang pola konsumsinya berpola individual dan sifat eksklusivitasnya nyata dikatakan sebagai barang privat (pribadi).

Di sini terdapat barang antara, yakni adanya kecenderungan dari dua dimensi tersebut bersifat campuran atau bisa dominan salah satunya dan tidak ekstrem serta memiliki dampak (eksternalitas). Di antara kedua jenis barang terdapat barang jenis tol (toll goods),yakni dari pola konsumsinya bersifat kolektif, tetapi eksklusivitasnya muncul karena harus bersaing untuk mendapatkannya, contohnya di sini adalah jalan tol.

Di samping itu ada barang jenis wadah-bersama (common-pool-goods),yakni jika bersifat tidak eksklusif, tetapi pola konsumsinya individual, contohnya adalah air bawah tanah. Sebuah bangsa yang umumnya berhaluan sosialis dapat menggerakkan segala jenis barang (jasa) yang dikonsumsi masyarakatnya menjadi barang publik jika untuk mendapatkannya semua disediakan negara tanpa perlu bersaing, baik dikonsumsi secara individual maupun secara kolektif.

Jadi di negara tersebut hanya terdapat barang publik murni dan barang “wadah bersama”. Sebaliknya di negara-negara kapitalis, negara mengatur sedemikian rupa beberapa barang (jasa), diperoleh dengan bersaing. Terciptalah yang semula barang publik menjadi barang tol, bahkan barang pribadi. Pergi haji dari sisi jenis barang (jasanya) dikonsumsi secara kolektif dan karena terdapat paket pesawat terbang, penginapan,dan lain-lain yang dikonsumsi secara pribadi dan harus bersaing, tampak jenis barang (jasa) pergi haji ini cenderung ke arah toll goods.

Kecenderungan seperti ini menjadikan haji tidak harus dikelola dari A hingga Z oleh pemerintah sendiri. Jika dilakukan pemerintah, secara teoretis akan membuat tidak efisien dari sisi pengelolaannya. Jika hal itu terjadi,berapa banyak pajak akan tersedot untuk hal-hal yang sebetulnya dikonsumsi secara individu. Terdapat ketidakadilan bagi masyarakat luas, kepentingan negara yang lebih luas pun dapat terganggu.

Jika pemerintah tetap mengandalkan ongkos pergi haji dari jamaah (charging) pun jelas akan mengaburkan sumber pembiayaan negara.Yang ideal dari jenis toll goods ini adalah pemerintah menjadi fasilitator atau regulator yang bertindak dengan pola steering rather than rowing. Dengan demikian,pelayanan pergi haji dari pendanaan oleh sumber pajak hanya untuk soal strategis, tidak perlu sampai operasional- teknis. Kemungkinan operasional-teknis, kalaupun ada, adalah dalam rangka pengawasan oleh pemerintah.

Pergeseran Paradigma Pelayanan

Sifat internasional dalam pergi haji adalah poin utama dalam pelayanan ini pula sehingga mau tidak mau membawa intervensi negara. Di dalam negeri,Asosiasi Muslim Penyelenggara Umrah dan Haji (Amphuri) harus menjadi operator. Pemerintah harus menjadi pengawas yang mumpuni. Paradigma pelayanan saat ini adalah ke arah new public services, yaitu masyarakat harus diberdayakan.

Negara harus kuat dalam fungsinya sebagai law enforcer. Negara harus mampu menjadi penyambung lidah bangsa Indonesia ke Pemerintah Arab Saudi.Kepentingan ini untuk mendapatkan kuota haji. Negara dalam hal ini Kementerian Agama adalah regulator dan fasilitator.Kuota ini harus di-share per daerah. Kementerian Agama juga yang mengatur standar ongkos haji. Ongkos ini dipantau, jika ada biro haji yang melanggar, harus ditindak dengan tegas tanpa pandang bulu.

Dari segi ongkos ini, negara dapat memberikan subsidi mengingat dana haji sejak lama telah terkumpul sampai tak terbatas, bahkan ada wakaf tanah para haji Indonesia di Arab Saudi yang hingga kini dapat digunakan. Tapi subsidi negara ini tetap perlu dihitung dengan cermat agar tidak terjadi pemborosan uang negara. Dalam hal ini akhirnya jamaah haji dalam mengurus pergi hajinya hanya berurusan dengan biro haji swasta saja.

Selebihnya biar biro tersebut berurusan dengan Kementerian Agama sebagai pengatur. Biro tersebut bekerja menurut domisilinya. Sifat toll goods ini menjadi alat ukur bahwa konsumen (jamaah-haji) tidak berurusan dengan negara, tetapi dengan operator.Operator yang efektif dalam toll goods dari praktik berbagai negara dan berbagai jenis barang cenderung oleh vendor di luar institusi pemerintah, kalaupun pemerintah berupa badan usaha. Dengan demikian tidak cocok pula pergi haji diurus oleh sebuah badan pemerintah. Kalaupun akan ada badan pemerintah, sebaiknya hanya sebagai regulator-law-enforcer semata.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar