Politik
Ketakutan Putin
Awaludin Marwan, PENELITI DARI SATJIPTO RAHARDJO INSTITUTE;
PEMERHATI POLITIK INTERNASIONAL
Sumber
: SUARA
MERDEKA, 15
Desember 2011
TIADA
jalan lain, selain menebarkan teror bagi penguasa diktator untuk melanggengkan
kekuasaannya. Bermodalitas teror semuanya bisa dijinakan. Media yang seharusnya
menjadi simbol kebebasan ditaklukkan oleh Vladimir Putin. Demikian tulis
Aljazeera Oktober lalu. Begitu disiplinnya kekuasaan Putin sehingga sistem
ekonomi, politik, dan hukum dikendalikan efektif. Demonstrasi pada hari Sabtu
diikuti lebih dari 60 ribu orang merupakan pukulan berat baginya. Rezim
otoritarianis kembali terlihat warnanya manakala lebih dari 1.600 demonstran
ditangkap.
Dengan dalih keamanan, adanya tahanan politik adalah penanda (signifier) yang mencerminkan konstruksi politik rezim diktator, ungkap John Elster dalam Political Psychology: 1993. Demonstran yang meluber dengan kekuatan massa besar hanya bisa ditangani dengan model mediasi dan komunikasi proseduralistik.
Putin tampaknya tidak menghitung ekses dari penangkapan membabi-buta demonstran itu. Aksi represif militer itu menurunkan elektabilitasnya dalam pilpres yang diajukannya sendiri pada 4 Maret tahun depan. Partainya, United Russia pada Minggu lalu mendapatkan peruntungan 49,5 sehingga mendapatkan 238 kursi.
Perolehan yang jauh jika dibandingkan dengan kubu oposisi karena Partai Komunis mendapatkan 92 kursi dan Partai Liberal Demokrasi 56 kursi. Meski legitimasi politik pemilu dipertanyakan, hasil akhir masih mendudukkan partai Putin dalam peringkat wahid. Posisi Putin sebenarnya di atas angin. Namun kondisi politik yang kian memanas bisa membalikkan posisinya. Apalagi dengan arogansinya, bisa jadi ia terpuruk, bahkan lebih mengerikan jika dijebloskan dalam skandal kekerasan negara.
Di seberang jalan, ruang dunia internasional telah menanti dengan godamnya untuk meluluhlantakkan kekuasaan Putin hanya dengan hitungan hari. Hillary Clinton sudah menyerukan pidato tentang problem aksi represif Putin terhadap demonstran sebagai masalah yang diperhatikan serius. Adapun kubu Barat, dengan Organization for the Secuirty and Co-operation in Europe (OSCE), sudah memasang kuda-kuda perang.
Rezim otoriter telah menjadi momok menakutkan bagi rezim demokrasi. Demokrasi telah menjadi kekuasaan itu sendiri. Sebagaimana diungkapkan oleh Foucault sebagai taksonomi politik. Atas nama demorasi, banyak korban jiwa bergelimpangan. Bahkan bagi Zizek lebih percaya negara paling demokratis seperti Amerika memiliki terornya sendiri dengan simbol Guantanamo.
Tebar Teror
Tuduhan Putin bahwa Amerika mendalangi protes rakyat terhadapnya agak berlebihan. Ia harusnya berkaca terlebih dahulu karena dia sendiri yang membangun dinasti dalam tubuh politik negara. Namun tentu saja etika politik mengatakan hal yang berseberangan, jika demokrasi itu mengharuskan pula sirkulasi penguasa, bukan penguasa yang mapan dan tak tergantikan.
Putin membangun kastil, seperti ditulis Sean Guillory dalam artikelnya ‘’The ‘New Desembrists’ Face off Against Putin’’.
Dengan dalih keamanan, adanya tahanan politik adalah penanda (signifier) yang mencerminkan konstruksi politik rezim diktator, ungkap John Elster dalam Political Psychology: 1993. Demonstran yang meluber dengan kekuatan massa besar hanya bisa ditangani dengan model mediasi dan komunikasi proseduralistik.
Putin tampaknya tidak menghitung ekses dari penangkapan membabi-buta demonstran itu. Aksi represif militer itu menurunkan elektabilitasnya dalam pilpres yang diajukannya sendiri pada 4 Maret tahun depan. Partainya, United Russia pada Minggu lalu mendapatkan peruntungan 49,5 sehingga mendapatkan 238 kursi.
Perolehan yang jauh jika dibandingkan dengan kubu oposisi karena Partai Komunis mendapatkan 92 kursi dan Partai Liberal Demokrasi 56 kursi. Meski legitimasi politik pemilu dipertanyakan, hasil akhir masih mendudukkan partai Putin dalam peringkat wahid. Posisi Putin sebenarnya di atas angin. Namun kondisi politik yang kian memanas bisa membalikkan posisinya. Apalagi dengan arogansinya, bisa jadi ia terpuruk, bahkan lebih mengerikan jika dijebloskan dalam skandal kekerasan negara.
Di seberang jalan, ruang dunia internasional telah menanti dengan godamnya untuk meluluhlantakkan kekuasaan Putin hanya dengan hitungan hari. Hillary Clinton sudah menyerukan pidato tentang problem aksi represif Putin terhadap demonstran sebagai masalah yang diperhatikan serius. Adapun kubu Barat, dengan Organization for the Secuirty and Co-operation in Europe (OSCE), sudah memasang kuda-kuda perang.
Rezim otoriter telah menjadi momok menakutkan bagi rezim demokrasi. Demokrasi telah menjadi kekuasaan itu sendiri. Sebagaimana diungkapkan oleh Foucault sebagai taksonomi politik. Atas nama demorasi, banyak korban jiwa bergelimpangan. Bahkan bagi Zizek lebih percaya negara paling demokratis seperti Amerika memiliki terornya sendiri dengan simbol Guantanamo.
Tebar Teror
Tuduhan Putin bahwa Amerika mendalangi protes rakyat terhadapnya agak berlebihan. Ia harusnya berkaca terlebih dahulu karena dia sendiri yang membangun dinasti dalam tubuh politik negara. Namun tentu saja etika politik mengatakan hal yang berseberangan, jika demokrasi itu mengharuskan pula sirkulasi penguasa, bukan penguasa yang mapan dan tak tergantikan.
Putin membangun kastil, seperti ditulis Sean Guillory dalam artikelnya ‘’The ‘New Desembrists’ Face off Against Putin’’.
Publik Rusia sebenarnya sudah mengetahui sejak awal adanya trik politik hingga puncaknya di Stadion Luzhniki akhir November, Putin memperoleh nominasi calon presiden. Namun kenapa demonstrasi besar-besaran di kota Vladivostok, Novosibirsk, Arkhangelsk, Kaliningrad, St Petersburg, dan kota lain itu baru terjadi setelah pemilu?
Tuntutannya
demonstran yang diwakili oleh Vladimir Ryzhkow yang menginginkan pemilu ulang,
pembubaran komisi pemilihan, dan pembebasan tahan politik tampaknya tak
digubris oleh status quo. Malah Putin memberikan instruksi penambahan aparat
kepolisian dalam jumlah besar untuk berjaga-jaga mengamankan situasi chaos.
Dalam situasi konflik ini, mediasi merupakan sarana paling manjur ketimbang insiden militer. Kita tahu bersama Rusia pernah beberapa kali mengalami revolusi bersenjata, dari transisi Grand Duchy Mosko 1283, Kerajaan Tzar Rusia 1547, Kekaisaran Rusia 1721, hingga puncaknya Revolusi Bolshevik 1917. Bedanya, sejarah zaman dulu belum ada koordinasi tiap-tiap bangsa yang membangun kekaisarannya sendiri.
Namun sekarang, Yves Dezalay dan Madsen kekaisaran sudah terbangun dalam peradaban dunia dalam era posindustrial dan posteknologi, yang dikawal oleh Amerika dan Eropa sehingga segala keputusan di dunia ditentukan oleh kepentingan-kepentingan negara adidaya tersebut. ●
Dalam situasi konflik ini, mediasi merupakan sarana paling manjur ketimbang insiden militer. Kita tahu bersama Rusia pernah beberapa kali mengalami revolusi bersenjata, dari transisi Grand Duchy Mosko 1283, Kerajaan Tzar Rusia 1547, Kekaisaran Rusia 1721, hingga puncaknya Revolusi Bolshevik 1917. Bedanya, sejarah zaman dulu belum ada koordinasi tiap-tiap bangsa yang membangun kekaisarannya sendiri.
Namun sekarang, Yves Dezalay dan Madsen kekaisaran sudah terbangun dalam peradaban dunia dalam era posindustrial dan posteknologi, yang dikawal oleh Amerika dan Eropa sehingga segala keputusan di dunia ditentukan oleh kepentingan-kepentingan negara adidaya tersebut. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar